Terapi
Cuci Otak dan Efek Plasebo
A Fauzi Yahya ; Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah; Anggota IDI
|
KOMPAS,
11 April
2018
Publik saat ini sedang disuguhi
kontroversi terapi cuci otak yang diperkenalkan oleh dokter Terawan.
Kegaduhan muncul saat tersebar amar keputusan Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran (MKEK) yang menyatakan ahli radiologi intervensi itu melakukan
pelanggaran etik serius dan menetapkan sanksi pemecatan sementara.
Sanksi berlaku selama satu tahun
disertai dengan pencabutan surat izin praktik. Kontroversi tidak segera
mereda walaupun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menunda amar keputusan
tersebut. Apakah kegaduhan ini bersumber pada terapi cuci otak yang dianggap
mengada ada dan bersifat plasebo?
Plasebo biasanya didefinisikan
sebagai terapi obat-obatan maupun prosedur medis tanpa memiliki kandungan
terapi namun berperan menghilangkan atau meredakan keluhan pasien.
Termasuk dalam plasebo adalah
bentuk komunikasi, situasi lingkungan, sentuhan tangan, dan sikap-sikap lain
yang menyentuh emosi pasien. Efek plasebo bersifat subyektif dan berperan
meringankan kecemasan, depresi, serta keluhan sakit.
Efek
plasebo
Plasebo baik obat maupun tindakan
medis tidak mengubah perjalanan penyakit atau pun menurunkan kematian akibat
penyakit itu. Jadi bila kita kembali ke terapi cuci otak untuk mengatasi
pembuluh yang tersumbat di otak maupun jantung, tindakan yang bersifat
plasebo tidak efektif memperbaiki aliran darah namun berpotensi meringankan
keluhan yang ada.
Plasebo berperan mengurangi derita
efek samping kemoterapi kanker namun tidak menghambat pertumbuhan tumor.
Plasebo meringankan secara dramatis sesak asma namun tidak memengaruhi tes
faal paru. Keluhan pingsan atau dalam medis disebut syncope dapat mereda
dengan terapi plasebo.
Riset klinis terbaru membuktikan
bahwa efek plasebo sebenarnya merupakan fenomena biopsikososial. Saat ini
studi genetik mulai mampu mengidentifikasi pasien yang sangat responsif
terhadap plasebo.
Efek plasebo berkaitan dengan
mekanisme komplek neurobiologis yang melibatkan neurotransmitter (endorphin,
cannabinoids dan dopamine). Plasebo dapat menstimulasi respons psikologis
mulai dari laju jantung, tekanan darah hingga aktivitas berbagai area di
otak.
Tongkat
Perkins
Kemujaraban plasebo dalam
mengatasi derita penyakit telah dikenal berabad lalu. Kisah paling terkenal
adalah tentang tongkat ajaib dokter Elisha Perkins yang muncul pada akhir
abad 18.
Dokter Perkins mampu membuat orang
sakit yang terbaring lama bangkit kembali berdiri dan berjalan. Belum pernah
ada dokter Connectitute-Amerika Serikat, yang mampu melakukan hal demikian
sebelumnya. Rahasia kemampuan dokter Perkins terletak pada tongkat baja
ajaib. Tongkat itu bila disentuhkan pada area tubuh yang sakit maka ‘sim
salabim” rasa sakit itu menghilang.
Keajaiban tongkat Perkins bergema
seantero Amerika hingga Eropa Barat. Masyarakat berduyun duyun mencari
penyembuhan. Tidak kurang 5.000 orang tersembuhkan dan proses penyembuhan itu
tersertifikasi oleh 8 profesor, 40 dokter dan 30 pendeta termasuk presiden
Amerika kala itu. Namun, asosiasi kedokteran Connectitut memecat Perkins dari
keanggotaan karena menganggap terapi Perkins adalah bualan.
Dokter John Haygarth asal Inggris
mengganti tongkat metal itu dengan tongkat kayu yang mirip metal dan ternyata
memiliki efek serupa dengan tongkat Perkins. Haygart memastikan tongkat
Perkins tak lebih dari plasebo. Ia kemudian menulis buku berjudul Imagination as a Cause and as a Cure of
Disorders of the Body.
Cerita lama tongkat Perkins ini
diangkat kembali oleh Johann Hari dalam bukunya Lost Connection yang
diterbitkan pada Januari 2018.
Terkait untuk menguji apakah efek
terapi dokter Terawan itu plasebo atau bukan, diperlukan suatu disain uji
klinis yang tepat untuk menjawab segala keraguan. Dokter Terawan akan jadi
ikon kebanggaan bangsa bila terapi ini memang benar-benar berperan dalam
mengatasi dan bahkan mencegah stroke yang menjadi salah satu penyebab
kematian tertinggi di Indonesia.
Intervensi
pembuluh darah
Eforia dunia atas keberhasilan
tindakan renal denervation yaitu intervensi pembuluh darah ginjal dalam
mengatasi hipertensi membandel segera surut saat Dr Deepak L Bhatt dan kawan
kawan mempublikasi studi Symplicity HTN-3.
Studi yang dimuat di The New
England Journal of Medicine pada 2014 itu membuktikan penurunan tekanan darah
pada kelompok pasien yang mendapat terapi invasif tidak berbeda dengan
kelompok pasien dengan prosedur plasebo (sham control).
Berdasar studi tersebut, renal
denervation tidak lagi direkomendasikan untuk intervensi hingga ada bukti
berikutnya.
Dunia kedokteran jantung belum
lama ini juga dikejutkan dengan hasil studi Orbita oleh Dr Rasha Al-Lamee dan
kawan kawan yang termuat di Lancet pada akhir 2017. Para peneliti Inggris ini
membuktikan adanya efek plasebo pemasangan stent pada penderita penyakit
jantung koroner stabil.
Para peneliti tidak mendapati
perbedaan hasil dalam kurun enam minggu pada mereka yang menjalani pemasangan
stent jantung dan mereka yang menjalani pemasangan stent pura pura (sham
control). Studi Al-Lamee dan kawan-kawan memang belum menisbikan studi-studi
besar peran intervensi koroner. Namun, tak urung studi ini menegaskan profesi
medis selalu berhak meragukan manfaat terapi walaupun terapi tersebut sudah
berjalan empat dekade pada jutaan pasien di dunia.
Kesempatan
baik
Terkait untuk menguji apakah efek
terapi dokter Terawan itu plasebo atau bukan, diperlukan suatu disain uji
klinis yang tepat untuk menjawab segala keraguan. Dokter Terawan akan jadi
ikon kebanggaan bangsa bila terapi ini memang benar-benar berperan dalam
mengatasi dan bahkan mencegah stroke yang menjadi salah satu penyebab
kematian tertinggi di Indonesia.
Tim Health Technology Assessment
(HTA) Kementerian Kesehatan berperan menilai terapi metode cuci otak ini.
Bila Kemenkes memandang terapi ini bermanfaat tentu peserta BPJS berpotensi
menikmati terapi ini. Bukan sekadar mereka yang punya uang.
Keriuhan terapi cuci otak ini
merupakan kesempatan baik bagi kalangan medis dari berbagai institusi untuk
membuktikan tanggung jawab dan profesionalisme dalam memberikan perlindungan
kepada masyarakat.
Profesi medis tidak terkokohkan
dengan dukungan jenderal dan tidak terlemahkan dengan cibiran politikus.
Keterbatasan profesi medis kerap terungkit dari dalam profesi sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar