Mengembalikan
Rasionalitas ke Ranah Politik
Afriadi Rosdi ; Ketua Pusat Studi Literasi
Media;
Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi
Politik STIKOM-InterStudi, Jakarta
|
DETIKNEWS,
19 Maret
2018
Himbauan
menghentikan penyebaran kebencian dan hoax di media sosial semakin gencar
keluar dari mulut banyak pihak. Dari pihak pemerintahan, Menko Polhukam
Wiranto, Mendagri Tjahjo Kumolo, Kapolri, sampai Presiden tak bosan-bosannya mengulang-ulang
pesan ini dalam banyak kesempatan. MUI juga sudah mengeluarkan fatwa bahwa
ujaran kebencian dan hoax adalah haram, dan juga mengulang-ulangnya dalam
banyak kesempatan.
Indonesia
memang sedang mengalami fakta pahit dalam dinamika kehidupan politiknya, di
mana rasionalitas menjauh dalam kehidupan politik, ditukar oleh faktor emosi
dan "kebenaran saya". Sudah marak sejak kontestasi Pilkada DKI
Jakarta 2017 lalu, dan tak pernah berhenti hingga sekarang. Semakin marak dan
canggihnya ujaran kebencian dan hoax di media sosial adalah indikasi kasat
mata.
Penangkapan
aktor-aktor MCA (Muslim Cyber Army) oleh kepolisian seakan membuka kotak
pandora betapa rasionalitas sudah begitu tumpul. Bahkan akademisi dan dosen,
kelompok masyarakat yang kehidupan kesehariannya, harusnya, kental dengan
rasionalitas dan objektivitas, ikut terlibat dalam MCA.
Indonesia
tertinggal sekitar satu tahun dibanding negara Amerika dan Eropa dalam
fenomena raibnya rasionalitas dalam politik ini. Kedengarannya masih mending,
tapi tetap tak bisa diterima. Amerika Serikat, negara pesohor kiblat bagi
penelitian ilmu-ilmu sosial politik, sudah terjangkit penyakit ini ketika
pemilu Presiden 2016. Terpilihnya Donald Trump, yang berkampanye dengan
mengangkat isu-isu sentimen ras, agama, dan warna kulit dinilai sebagai
tonggak menyingkirnya rasionalitas dalam politik.
Di
Eropa, fenomena ini ditandai dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa
(Brexit), dukungan yang berkembang untuk partai politik seperti Front
Nasional Prancis, yang dipimpin oleh Marine Le Pen, atau Partai Liberal
Belanda (PVV) yang dipimpin oleh Geert Wilders, dan sebagainya.
Raibnya
rasionalitas dalam politik melahirkan sebuah istilah populer dalam
perbendaharaan kamus politik, yaitu Post-Truth. Kata ini digelari word of the
year 2016 oleh Oxford Dictionary. Menurut Llorente (2017) istilah post-truth
merujuk pada kondisi sosial-politik di mana "objectivity and rationality
give way to emotions, or to a willingness to uphold beliefs even though the
facts show otherwise" (objektivitas dan rasionalitas memberi jalan
kepada emosi, atau keinginan untuk berpihak pada keyakinan meskipun fakta
menunjukkan sebaliknya.)
Di era
post-truth, kata Fransisco Rosales (2017), apa yang tampaknya benar, menjadi
lebih penting daripada kebenaran itu sendiri. Kebenaran yang dimaksud di sini
adalah sesuatu yang bersumber pada rasio, fakta, dan objektivitas. Sementara
"benar" adalah kategorisasi yang berdasarkan pada keyakinan diri,
emosi. Tolok ukurnya adalah "kebenaran saya", tak perlu melalui
tahapan uji publik dan diskursus. Akhirnya, fakta objektif kurang berpengaruh
terhadap opini publik daripada seruan terhadap emosi dan kepercayaan.
Dalam
keadaan situasi politik bersumber pada "kebenaran saya", maka
sesuatu yang bertentangan dengan "kebenaran saya" itu boleh dibasmi
dengan cara apapun termasuk dengan cara menyebarkan kebencian, persekusi, dan
hoax. Itu berarti adalah awal mula dari lahirnya barbarisme dalam politik,
sumber bagi kekacauan sosial. Dan, ketika kondisi "kebenaran saya"
itu dimanfaatkan oleh politisi demagogis, tokoh populisme (baik yang berada
di kekuasaan maupun dalam masyarakat), maka yang akan terlihat adalah
realitas sosial politik yang sangat buruk bagi kenyamanan
sosial-kemasyarakatan.
Anak Kandung Demokrasi
Rasionalitas
sejatinya adalah anak kandung demokrasi, sistem politik yang dipakai oleh
negara-negara yang terjangkit penyakit post-truth tersebut, termasuk
Indonesia. Demokrasi berjalan sehat ketika terjadi perang ide dan program,
yang berbasis pada kekuatan argumentasi dan rasio-logis, dalam upaya
mewujudkan cita-cita demokrasi, yaitu mewujudkan kesejahteraaan
seluas-luasnya untuk rakyat.
Demokrasi
nihil tanpa rasionalitas. Rasionalitas pun sulit berkembang dalam dunia
politik tanpa demokrasi. Demokrasi tanpa rasionalitas akan terjerumus kepada
diktatoriat dan fasisme. Dalam pemerintahan diktator yang berlaku adalah
kekuasaan yang powerfull, memaksa, menindas. Tak ada tempat bagi suara yang
mengritik pemerintah. Dalam fasisme yang dituntut adalah kepatuhan. Ide dan
argumentasi tak dibutuhkan dalam dikatoriat dan fasisme. Rakyat boleh
berpendapat kalau diminta, tapi ide tersebut tak boleh dilempar ke publik
kecuali sudah disetujui oleh yang berkuasa.
Merujuk
Jurgen Habermas, filosof Jerman, kekuatan argumen yang bersandar pada
rasionalitas merupakan roh bagi demokrasi. Prinsip dasarnya, kekuasaan dalam
sistem demokrasi mendapatkan legitimasinya ketika semua keputusannya lolos
uji dalam diskursus publik sehingga dapat diterima secara intersubjektif oleh
semua warga negara. Hal ini mengandaikan adanya warga negara yang rasional,
cerdas, dan argumentatif dalam menguji dan membincang keputusan-keputusan
pemerintah tersebut.
Jadi
dalam praksis demokrasi, terjadinya diskursus (adu argumentasi yang sehat dan
objektif) dan tersedianya warga negara yang rasional dalam melahirkan
diskursus merupakan prasyarat bagi lahirnya kehidupan demokrasi yang sehat.
Ruang publik adalah tempat semua kebijakan diuji oleh warga negara, itu dalam
artian pasif. Dalam artian aktif, warga negara dengan kekuatan rasio dan
argumentasinya, juga bisa menyodorkan opini dan program kepada pemerintah
melalui saluran demokrasi yang tersedia.
Di
kala rasionalitas lebih mengemuka, maka pertentangan opini di tengah
masyarakat berjalan dinamis, penuh warna dan menggairahkan. Perdebatan
melahirkan gagasan brilian untuk kepentingan umum dan kesejahteraan rakyat.
Kebenaran ujaran agama, bahwa perbedaan itu rahmat, akan kita temui dalam
diskursus rasional ini.
Antisipasi
Kita
bersyukur ada ketegasan dari pemerintah untuk mengantisipasi efek buruk
menipisnya rasionalitas ini. Mengendalikan stabilitas sosial politik dan
harmonisasi kehidupan bernegara dengan menindak tegas para penyebar ujaran
kebencian dan hoax. Itu bagus tapi harus diakui tak cukup. Itu masih bersifat
pekerjaan memadamkan letupan-letupan. Tapi sumber apinya sendiri masih sangat
besar dalam relung-relung politik Indonesia.
Hal
yang perlu dilakukan adalah gerakan penyadaran kepada masyarakat tentang
betapa super-bahayanya mengedepankan emosionalitas dan "kebenaran
saya" dalam politik. Pertama, mengancam keutuhan NKRI. Kemerosotan
gagasan dan nilai kebenaran dalam politik merupakan bahaya bagi masyarakat.
Skenario sosial politik yang paling mungkin terjadi adalah meningkatnya intoleransi
dan keterbelahan dalam masyarakat.
Dan,
itu sesuatu yang tak produktif bagi keberlansungan keutuhan bangsa Indonesia
yang terdiri dari beragam suku, agama, bahasa, warna kulit, dan identitas
politik ini. Seringkali disampaikan oleh banyak pihak, bahwa Indonesia bisa
bubar jalan sebagai negara, hancur berkeping seperti negara Soviet dan
Yugoslavia dulu, kalau keragaman ini tidak dipelihara dan dimenej dengan
baik.
Kedua,
kekacauan yang disebabkan oleh hilangnya rasional merupakan stimulasi bagi
kembalinya totalitarianisme. Demokrasi Indonesia masih dalam tahap
konsolidasi. Pekerjaan konsolidasi demokrasi kita belum selesai.
Elemen-elemen penyangga demokrasi masih dalam tahap penguatan dan
penyempurnaan. Bolongnya masih banyak.
Tapi,
kita bersyukur ada niat baik untuk terus memperbaiki diri, sehingga
indikasinya semakin baik, terlihat dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).
Seperti dilansir oleh BPS, IDI tahun 2016 mencapai 70,09 dalam skala indeks
0-100, meski turun dibanding IDI pada 2015, yang mencapai 72,82.
Politik
kebencian dan hoax yang sangat potensial mengacaukan stabilitas itu bisa
menjadi bumerang bagi demokrasi yang semakin terkonsolidasi ini. Keutuhan dan
stabilitas bangsa adalah segalanya. Sementara demokrasi hanya salah satu cara
dalam mengelola negara. Cara lain adalah totalitarianisme, dan kita sudah
pernah melewati itu. Totalitarianisme itu bisa dikembalikan lagi oleh militer
sekiranya masyarakat dan pemerintah gagal mengelola keragaman sehingga
berbahaya bagi keutuhan bangsa.
Tak
bisa dibantah bahwa elite-elite politik ikut bermain memanfaatkan emosi dan
keyakinan warga negara. Demi tujuan-tujuan politik pribadi dan kelompoknya,
hilangnya rasionalitas di tengah warga negara dimanfaatkan sebagai jembatan
merebut sumber-sumber kekuasaan. Kebenaran dimanipulasi, emosionalitas
diaduk, penafsiran agama diselewengkan.
Sudah
saatnya para elit menyadari betapa berbahayanya permainan politik emosi ini.
Bisa dipastikan bahwa eskalasi kebencian dan hoax di tengah masyarakat akan
tereliminasi, makin lama makin hilang, jika para elite politik, atau
kompetitor di pilkada, pemilu legislatif (pileg) serta pilpres memainkan
politik rasional, adu program dan gagasan dalam merebut simpati dan suara
masyarakat. Monggo! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar