Puisi,
Politik, dan Agama
Bagong Suyanto ; Guru Besar FISIP Universitas
Airlangga
|
KORAN
SINDO, 06 April 2018
SEINGAT saya puisi adalah
produk orang yang sedang kasmaran. Puluhan tahun silam, ketika para remaja
sedang jatuh cinta, cara mengungkapkan perasaan yang paling dalam menurut
pengalaman banyak teman adalah melalui puisi. Puisi adalah ruang ekspresi
dan media menyalurkan perasaan cinta yang terpendam. Tetapi, puisi tidak
melulu berbicara soal cinta.
Berbeda dengan remaja yang sedang kasmaran, yang dalam sehari bisa membuat puluhan puisi untuk memuja-muji kekasihnya, bagi para pejuang dan orang-orang yang berpikir kritis, puisi sering menjadi alat perjuangan politik. Melalui puisi, aspirasi yang terpendam, gelora untuk bangkit dari ketertindasan, dan perasaan tertekan dengan mudah diekspresikan. Puisi dan politik adalah dua hal yang kerap saling berangkulan sebagai alat perjuangan melawan penindasan. Bagi para seniman yang kritis, puisi sering menjadi alat yang efektif untuk menggugat penderitaan, kepongahan, dan ketidakadilan dalam kehidupan politik. Apakah hal yang sama juga terjadi dalam hubungan puisi dan agama? Apa yang terjadi ketika puisi, politik, dan agama saling berkelindan? Ketika puisi, cinta dan politik sering saling menyapa, apakah puisi, politik dan agama juga dapat terintegrasi dalam ruang yang sama? Kontroversi Puisi Sukmawati Soekarnoputri berjudul Ibu Indonesia adalah sebuah produk budaya. Sebagai seorang seniwati, sah-sah saja Sukmawati membuat puisi untuk mengekspresikan yang ia pikir dan rasakan. Tetapi, di tahun politik seperti sekarang ini puisi yang di dalamnya menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan syariah agama ternyata bisa memicu tanggapan yang berbeda. Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, misalnya, menyesalkan puisi Sukmawati karena dianggap berpotensi menimbulkan konflik. Puisi Sukmawati yang dibacakan dalam acara "29 Tahun Anne Avantie Berkarya" di Indonesia Fashion Week 2018 dinilai terlalu jauh masuk dalam wilayah yang dianggap sakral. Wakil Ketua Umum PAN ini menilai puisi Sukmawati bisa menimbulkan reaksi dari umat Islam. Hal tersebut lantaran puisi itu menyinggung soal cadar dan azan. Taufik meminta ke depan Sukmawati lebih berhati-hati. Metafora, kata bersayap, dan curahan hati yang terekspresi dalam kata-kata indah dalam puisi memang selalu sifatnya multitafsir. Bagi Sukmawati, apa yang dia sampaikan dalam puisinya tak lebih dari potret realitas sosial yang dia lihat dan rasakan. Di tengah kondisi masyarakat yang heterogen, tidak semua selalu memahami agama dalam pengertian yang sama. Tetapi, ketika sebagian masyarakat merasa isi puisi Sukmawati seolah ingin membenturkan Islam dan Indonesia, maka wajar jika ada pihak yang khawatir puisi itu menimbulkan kesan yang keliru. Menulis sebuah puisi dengan berbasis pada apa yang dia rasakan dan lihat di lapangan tentu merupakan hak personal Sukmawati. Tidak ada bedil dan tidak pula penjara yang bisa mengerangkeng hasrat orang berkesenian, termasuk menulis puisi. Di kalangan masyarakat yang nonmuslim, misalnya, mungkin saja apa yang dikatakan Sukmawati mengacu pada realitas sosial yang dilihatnya di sana. Cuma masalahnya: di batas mana sebetulnya hubungan antara puisi, politik, dan agama bisa ditarik demarkasi yang tegas? Puisi yang dibacakan dalam ruang publik (dan bisa dibaca siapa pun karena teknologi informasi dan internet memang memungkinkan hal itu terjadi), tentu tidak lagi sekadar media ekspresi orang per orang yang sifatnya personal. Sebuah puisi, yang kata-kata puitisnya merambah ke wilayah agama, maka jangan kaget jika sebagian orang mungkin merasa terganggu.
Dalam kehidupan beragama,
ada yang disebut keyakinan. Berbeda dengan kebenaran dalam ilmu pengetahuan
yang bisa diperdebatkan, keyakinan adalah sesuatu yang given , yang sudah
dianggap final. Keyakinan adalah sesuatu yang dilaksanakan, dianggap benar,
dan tidak seharusnya diragukan.
Counter Discourse Keyakinan seseorang pada ajaran agama, termasuk keyakinan terhadap syariat Islam, tentu merupakan hal yang harus dihormati: tidak dipertanyakan, apalagi dinista. Seseorang yang merasa keyakinannya diusik, bisa saja tersinggung, bahkan membawa persoalan itu ke ranah hukum. Seperti dilaporkan di media massa, gara-gara puisinya Sukmawati kini diadukan ke aparat penegak hukum. Ke arah mana perkara puisi Sukmawati ini bakal bergulir, dan bagaimana ujung dari kasus ini? Tentu kita masih harus menunggu waktu. Sukmawati sendiri telah menggelar konferensi pers dan sambil mencucurkan air mata telah meminta maaf kepada umat Islam yang merasa tersinggung dengan kata-kata dalam puisinya. Tokoh seperti Buya Syafii Maarif pun telah mengimbau kepada umat Islam agar tidak memperpanjang masalah ini dan bersedia memaafkan Sukmawati. Bagi saya pribadi, daripada membawa kasus ini ke ranah hukum, saya justru lebih bersimpati dengan apa yang dilakukan Ustaz Felix Siauw. Ustaz yang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia ini membalas dan mengkritik puisi Sukmawati dengan membuat hal yang sama, sebuah puisi berjudul Kamu Tak Tahu Syariat. "Kalau engkau tak tahu syariat Islam, seharusnya engkau belajar bukan berpuisi, harusnya bertanya bukan malah merangkai kata tanpa arti," demikian kutipan puisi Ustaz Felix yang ia posting melalui akun Facebook-nya. Berdiskusi dan mencoba mencari batas demarkasi tentang mana hal yang tabu, dan mana yang seharusnya tidak atau boleh dilakukan melalui forum yang sama, menurut saya hasilnya akan lebih positif. Meski pun dalam akun Facebooknya Felix Siauw tidak menyatakan puisi yang dibuatnya ditujukan kepada Sukmawati. Namun, kata-kata puitis yang ditulis Felix dalam puisinya menjadi counter discourse yang seimbang atas puisi karya putri proklamator Soekarno itu. Gaya berpolemik dan saling melontarkan kritik melalui puisi, menurut saya, terasa indah dan tidak menakutkan. Daripada berkontestasi tentang sebuah wacana melalui aksi turun ke jalan, menempuh jalur hukum, dan sebagainya, bukankah lebih baik jika ditempuh jalan keluar yang bersahabat, namun tak kalah menohok? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar