Ghost
Fleet di Kawasan Indo Pasifik
Abdul Halim ; Analis Geopolitik dan Diplomasi
Internasional;
Direktur Eksekutif Pusat Kajian
Maritim untuk Kemanusiaan, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 06 April 2018
Polemik Ghost Fleet: a Novel of the Next World War
yang tengah ramai diperbincangkan di Indonesia justru menuai reaksi negatif
khalayak luas.
Padahal, jika disimak
secara saksama, buku bergenre novel setebal 315 halaman yang ditulis oleh Peter
Warren Singer dan August Cole tersebut menggambarkan adanya pertarungan para
raksasa dunia dalam memperebutkan supremasi militer dan ekonomi di kawasan
Indo Pasifik.
Menariknya, wilayah yang
tengah diperebutkan di dalam kontestasi tersebut di antaranya adalah
Indonesia.
Di dalam novel itu, Singer
dan Cole menyebut Indonesia sedikitnya tujuh kali dan seluruhnya bernada
peyoratif. Kenapa demikian? Meski memiliki nilai geopolitik yang serba
strategis dengan empat alur laut Kepulauan Indonesia yang terhubung dengan
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, negeri zamrud khatulis tiwa ini tak
terlalu di perhitungkan di tengah pelbagai kepentingan global.
Situasi ini membuat
Amerika Serikat, China, dan India berlomba-lomba men jalin kemitraan
strategis, baik bilateral maupun multilateral, guna mengamankan kepen tingan
dagangnya. Sejarah mencatat, sejak November 2002, Amerika Serikat beserta
negara sekutunya, seperti Prancis, Spanyol, Italia, dan Jepang, telah
membangun pangkalan militernya di Seychelles.
Belakangan, Presi - den
Trump kembali memper - tegas bahwa, “Amerika Serikat bakal mengalihkan
perhati an - nya dari Asia-Pasifik ke Indo Pasifik” saat berkunjung ke
Jepang, Korea Selatan, China, Vietnam, dan Filipina pada November 2017.
Setali tiga uang, China dan India juga sangat bergantung pada akses bebas dan
terbuka pada jalur pelayaran dan per - dagangan di Samudera Hindia.
Terlebih lagi, sepanjang
2016, diperkirakan sekitar 40 juta barel minyak per hari disalur - kan dari
Timur Tengah ke Asia, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan via Samudera
Hindia, termasuk melalui Selat Hormuz, Selat Malaka, dan Bab el-Mandeb.
Saking strategisnya, China juga menjalin kerja sama ekonomi dan militer
dengan Republik Djibouti yang berada di Afrika bagian timur atau ujung barat
laut Samudera Hindia.
Puncaknya, pada 21 Januari
2018, Angkatan Laut China di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping membangun
pang - kalan militer pertamanya yang berdekatan langsung dengan Bab
el-Mandeb, salah satu jalur pelayaran tersibuk dunia dan
palingkrusialketigadiSamudera Hindia. Selain di Djibouti, China tak
mengabaikan pentingnya men - jalin kerja sama dengan Seychelles.
Meski luasnya hanya 459
kilometer persegi, negara yang terdiri dari 115 gugusan pulau kecil tersebut
juga bernilai amat strategis bagi inisiatif pembangunan infra struktur “One
Belt One Road” (OBOR) yang diusung oleh Beijing. Betapa tidak, Seychelles
terletak di jantung Samudra Hindia yang menghubungkan Afrika, Semenan jung
Arab, dan anak benua India.
Lebih dari itu, Seychelles
juga ber ada di pusat Jalur Sutra Mari tim, dari selatan China dan Myanmar
hingga Afrika dan EropamelaluiTerusan Suez. Masifnya pergerak an China di
Samudera Hindia men dorong New Delhi untuk bergerak lebih maju. Apalagi se
kitar 95% vo lume dan 70% nilai perda gang an India, juga didatangkan melalui
Samudera Hindia.
Apa yang dilakukan oleh
Perdana Menteri Narendra Modi?
Per tama, India menan da
tangani kese pakatan kerja sama dengan Seychelles un tuk membangun pangkalan
mili ternya di Pulau Assumption, berjarak 1.650 kilometer dari daratan Afrika
Timur.
Kedua, Oman dan Singa pura
telah bersepakat de ngan India untuk mem berikan akses ekstra ke Pe labuhan
Duqm yang ber dekat an dengan Selat Hormuz dan Pelabuhan Changi yang berhadapan
langsung dengan Selat Malaka dan Laut China Selatan.
Pendek kata, India pun
menempatkan Samudera Hindia sebagai be - ran da utama dari kepentingan
nasionalnya. Perlombaan ekonomi dan militer antara Amerika Serikat, China,
dan India di kawasan Indo Pasifik menggambarkan betapa signifikannya pe
nguasa - an atas laut sebagai jalur pela - yaran dan perdagangan dunia.
Lantas, bagaimana dengan
situasi Indonesia belakangan ini? Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan
(Maret 2018) mencatat, permasalahan men dasar berkaitan dengan upaya
menjadikan Indonesia sebagai poros ma - ritim dunia.
Pertama, disorientasi
kebijakan kemaritiman.
Seperti diketahui, sejak
dibentuk pada Oktober 2014, pelbagai kebijak an yang diambil justru kian men
jauhkan rakyat dari laut nya. Contohnya adalah keinginan melanjutkan proyek
properti reklamasi di Teluk Jakarta dan tarik-ulur kewenangan menerbitkan
rekomendasi impor garam.
Salah satu nya melalui pe
nerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 ten tang Tata Cara Pengendalian
Impor Komoditas Per ikanan dan Komoditas Per garam an se bagai Bahan Baku dan
Bahan Penolong Industri. Lebih parah lagi, sepanjang 2014-2017 telah terjadi
se dikit - nya 33 tragedi kecelakaan pe - layaran di laut.
Sebagian besar diakibatkan
oleh kelebihan muat an dan kerusakan mesin yang berujung pada kebakaran
danteng - gelamnya kapal. Akibatnya, 158 orang dinyatakan hilang atau me -
ninggal dunia dan 24 orang lainnya meng alami luka-luka.
Ironisnya, meski alokasi
APBN Kemen - terian Perhubungan mengalami kenaikan, yakni Rp28,7 triliun pada
2014 dan meningkat men - jadi Rp48,2 triliun pada 2018, namun fokus
pemerintah se - batas mem bangun pelabuhan dan mem berikan subsidi. Semen
tara penguatan armada pelayaran rakyat diabaikan. Inilah ironi bangsa
kelautan terbesar di dunia.
Kedua, tata kelola sumber
daya laut yang terlampau terbuka dan pro terhadap kepentingan asing.
Faktanya, 11 pulau kecil
telah dikelola oleh swasta asing dengan nilai investasi Rp11,046 triliun pada
2014-2015. Angka ini belum termasuk 75 pulau kecil lainnya yang ditargetkan
untuk dikelola investor asing pada 2016-2019. Belum lagi perluasan kawasan
konservasi laut yang ditarget kan bertambah 700.000 hektare dalam APBN 2018.
Jika tidak dikoreksi,
praktik ini ber implikasi terhadap kian menyusutnya jangkauan wilayah tangkap
an nelayan tradisional dan semakin leluasanya kepentingan asing.
Pertanyaannya, sejauh mana negara bisa berperan saat kepentingan asing
merajalela di setiap jengkal teritorial bangsa kepulauan ini? Inilah
sesungguhnya ancaman kolektif republik yang sering kali dipandang sebelah
mata.
Berkebalikan dengan
Indonesia, China dan India justru berekspansi ke banyak negara untuk terlibat
langsung di dalam pengelolaan sumber daya alam yang berpotensi memberikan
kesejahteraan bagi rak - yatnya. Bahkan, mereka sering kali memboyong
warganya untuk ikut bekerja di pelbagai proyek strategis negara lain.
Hal ini pula yang tengah
marak terjadi di Banten, Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di
samping itu, China dan India juga mempercayai bahwa menguasai laut adalah
kunci memenangkan supremasi militer dan ekonomi di kawasan Indo Pasifik.
Apalagi sepanjang 2016 telah terjadi praktik pe - rompakan dan perampokan ber
senjata sebanyak 314 insi - den di Asia, Afrika Timur, dan Afrika Barat.
Seperti dilaporkan oleh
Ocean Beyond Piracy bahwa akibat insiden ini, 4.749 pelaut mengalami
penyerangan dan nilai kerugian yang ditimbulkan senilai USD2,5 miliar. Semen
- tara pada kuartal pertama 2017, sebanyak 19 insiden perom pak - an dan
perampokan bersenjata terjadi di perairan Indonesia.
Dengan demikian, pere but
- an supremasi militer dan ekonomi di kawasan Indo Pasifik bukanlah
halusinasi Singer dan Cole. Lantas, apa yang perlu dilakukan oleh Indonesia?
Sun Tzu di dalam buku berjudul “The Art of War” sebagaimana dikutip di dalam
novel Ghost Fleet pernah berujar, “Anda bisa berperang sepanjang waktu atau
menjadikan bangsamu jauh lebih tangguh.
Karena Anda tidak bisa
melakukan keduanya”. Maka penguatan armada laut yang diintegrasikan de ngan
tata kelola administrasi negara, sistem politik, angkatan bersen jata, dan
ekonomi maritim menjadi pekerjaan rumah yang mendesak untuk dituntaskan.
Akhirnya, Lord Haversham
pernah berpesan, “Armada laut dan kepentingan dagang memiliki relasi yang
sangat erat dan saling memengaruhi. Pasalnya, armada laut merupakan pelindung
utama kepentingan dagang sebuah negara. Dengan cara itulah, Inggris menuai
kesejahteraan, kedigdayaannya pada abad XVII dan XVIII”. Inilah sejatinya
pesan yang terurai di setiap halaman Ghost
Fleet: a Novel of the Next World War. Mengabaikannya bisa berdampak pada
bubarnya sebuah negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar