Tragedi
Manusia Berkebudayaan Plastik
Riduan Situmorang ; Aktif berkebudayaan di Pusat
Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF)
|
KORAN
SINDO, 07 April 2018
Di Jerman, kami pernah
menampilkan sebuah teater dengan beragam plastik dibuat sebagai latar
belakangnya. Meski sebagai latar belakang, plastik itu menjadi tema utama.
Kami mencoba menghimpun
kekuatan bahwa musuh orang-orang yang berada dalam gedung pertunjukan itu
(mulai dari penonton hingga pemain) adalah plastik. Kami “memprovokasi” agar
seluruh manusia memusuhi plastik. Mengapa? Karena plastik itu sampah abadi.
Tas kresek, misalnya, akan terurai pada kurun waktu 10- 20 tahun. Sendok
plastik sekitar 100 tahun ke atas.
Bahkan botol plastik konon
tak akan terurai. Memahami itu, men jadi sangat menge rikan jika membayangkan
betapa tiap hari kita membuang sampah plastik. Apalagi konon dalam sebuah
rilisnya, Time pernah mengangkat sebuah analisis bahwa plastik tidak hanya
akan sulit terurai, tetapi juga akan merusak perairan dan me nimbulkan bibit
penyakit.
Artinya, jika sedang
membawa plastik, pada saat itu kita juga sebenarnya sedang menimbun sampah
abadi dan menabung bibit penyakit di sekitar kita. Ironisnya, saban hari
plastik menjadi keseharian dan rutinitas kita. Tiada hari tanpa plastik.
Pergi ke mal dengan tangan kosong, pulangnya pasti sudah membawa plastik.
Pergi ke pertemuan, pulangnya membawa botol-botol plastik. Akibat hal ini,
saya jadi berimajinasi liar: ke depan, jika anak-cucu kita menjadi arkeolog,
satu-satunya yang mereka gali adalah timbunan sampah plastik.
Imajinasi
Liar
Padahal arkeolog kita saat
ini banyak menemukan harta karun, menemukan Boro budur, dan menemukan
jejak-jejak kesempurnaan masa silam. Saya juga membayangkan, jika anak-cucu
kita jadi petani, tanah yang mereka gali pun hanya timbunan plastik. Mereka
tak bisa bertani lagi. Tanah sudah rusak.
Kemana mereka ber tani? Ke
mana mereka mencari nasi? Jika mereka menjadi nelayan, jala mereka pun akan
selalu tersangkut plastik. Besar kemungkinan, ikannya juga sudah menjadi
ikan-ikan kerdil karena memakan plastik. Ya, imajinasi ini memang sangat
liar, malah terkesan mengada-ada. Namun, saya tegaskan, ini bukan imajinasi
tanpa alasan dan pijakan il miah.
Pada 2015 lalu, Jurnal
Science setidaknya sudah me n catat bahwa sebanyak 12,7 juta ton plastik
dibuang ke laut tiap tahunnya. Indonesia sen diri berada pada pering kat
kedua. Bayangkan, plastik ini akan menjadi sampah abadi di laut an. Laut akan
tercemar. Ikan terdampak penyakit. Bahkan, seperti di simpulkan LIPI, ikan
teri saja su dah memakan sisasisa plas tik.
Ini terjadi karena ada
plas tik yang terurai hingga ukuran 0,2 mm. Inilah yang sudah di konsumsi
ikan teri. Bayang kanlah, ikan teri di piring kita sudah memakan plastik.
Kelak, anak-cucu kita juga akan ikut “mengonsumsi” plastik. Sa ngat
mengerikan! Mereka akan menjadi generasi-generasi berpenyakitan. Ini akibat
ulah kita yang doyan plastik.
Keseharian kita
bergelimang plastik: di kamar tidur, di kebun, di kamar mandi, di ruang
pertemuan, juga di ruang ibadah. Mari memeriksa hasil survei Badan Pusat Statistik
(BPS) pada Maret 2017. Pada survei itu disebutkan bahwa hanya 9,29% rumah
tangga saja yang selalu membawa tas sendiri k etika belanja, tidak sampai
sepersepuluh.
Padahal, pada mereka yang
tak membawa tas belanja dapat dipastikan, se pulang dari belanja, plastik
akan dibuat menjadi “oleh-oleh” wajib. Ini belum dihitung dengan berapa kali
masyarakat belanja dalam sehari. Ini juga bahkan belum dihitung dengan semua
jenis makanan ringan yang di kemas dalam bentuk plastik. Jika ini sudah
dihitung, tak terelakkan lagi, plastik akan semakin membludak.
Efek tu runannya, tak
dapat dimungki ri lagi, sampah “abadi” akan menggunung, tanah tercemar, air
terdampak, dan sebagainya, dan sebagainya. Entah sampai kapan ini berakhir.
Dan, maafmaaf saja, saya harus mengata kannya dengan sangat jujur bahwa
dengan posisi regulasi saat ini, kebiasaan ini tidak akan berakhir.
Sama sekali tidak akan
berakhir. Rakyat akan tetap gemar menggunakan plas tik. Pengusaha juga akan
nyaman, bahkan menyaman kan diri untuk selalu menggunakan plastik. Ini sudah
terbukti. Kita masih ingat ketika pemerintah mengujicobakan kebi jakan
plastik-berbayar. Saat itu ha silnya gemilang.
Asosiasi Peng usaha Ritel
Indonesia (Aprin do) mencatat penggunaan plas tik langsung berkurang drastis
hingga 30%. Ma sa lahnya, menurut Aprindo, perusahaan dan toko mengalami
perlam batan pertumbuhan. Aprindo lan tas kembali menggratiskan plastik.
Dampaknya, tolehlah ke sekeliling, kita kem bali ke rutinitas: berangkat
tanpa tas belanja, pulangnya mem bawa kantong plastik.
Maaf, tulisan ini ba
rangkali terlalu pesimistis bahwa kebiasaan ini tidak akan berhenti.
Pasalnya, bagaimana kita akan tetap optimistis jika tak ada kebijakan yang
dibuat? Bagai mana pula kita akan tetap opti mistis jika setelah di buat ke
bijakan, hasilnya nyata-nyata gemilang segemilang-ge mi lang nya, tetapi kebi
jakan itu malah di men tahkan sementah-men tah nya di tengah jalan?
Ibaratnya, kita sudah berjalan pada rel yang be nar. Namun hanya karena
jalannya agak me nan jak, kita memilih jalan datar yang lurus, tetapi tak
diketahui ke mana ujungnya.
Pelecut
Kesadaran
Saya sangat menyesal
ketika pemerintah kembali meng izinkan Aprindo menarik kebijakan plastik
berbayar. Pemerintah semestinya mengambil posisi sebagai pihak yang berpikir
visioner bahwa plastik itu sampah abadi. Pemerintah harusnya mengambil peran
sebagai pelecut kesadaran, bukan pemanja masyarakat. Bagaimanapun kesadaran
itu sangat sukar tumbuh. Seseorang bisa saja sudah sadar agar berhemat
plastik.
Namun, ketika seseorang
itu melihat orang gemar memakai plastik, kesadaran orang tersebut akan goyah.
Ini sudah saya rasakan. Saya tak pernah membuang sampah sembarangan selama di
Eropa karena saya melihat, tak satu pun orang membuang sampah sembarangan.
Sepulang dari Eropa, seminggu dua minggu, saya juga sangat patuh lalu lintas.
Namun, ketika orang lain
saling serobot, saya malah ikutikutan serobot-serobot. Kesadaran saya goyah
karena ketidak sadaran orang lain. Intinya, kesadaran itu bisa di bentuk.
Cara membentuknya bisa dengan mengondisikan, bisa pula dengan “memaksa”.
Hukum menjadi salah satu alat “me maksa“.
Bayangkan jika negara
tanpa hukum yang “me maksa”, pasti umat akan saling membantai. Hukum itu, mi
sal nya, bisa dengan menerapkan plastik ber bayar. Hukum ini bisa disertai
dengan edukasi ber ke sinambungan. Dengan “paksaan” dan edukasi, ke sa da ran
akan gampang dibentuk. Inggris, misalnya, mendadak sadar karena mereka “di
paksa” hukum.
Hasilnya, da lam tem po
delapan bulan sejak hu kum diber lakukan, penggunaan plastik menurun drastis:
85%. Yang teramat penting, semoga pemerintah mengambil posisi sebagai pelecut
kesadar an warganya.
Andai tidak, saya tak bisa
menghentikan imajinasi liar saya bahwa ke depan, jika anak cucu kita menggali
tanah layaknya arkeolog, mereka akan jatuh pada simpulan bahwa kita (nenek
moyangnya) adalah manusia yang hanya bisa memproduksi plastik. Mereka juga
akan jatuh pada tesis bahwa kebudayaan kita adalah kebudayaan plastik. Oh ! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar