Siapa
Penantang Jokowi?
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute;
Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 11 April 2018
KINI, parpol berpacu dengan waktu.
Proses kandidasi capres dan cawapres semakin mendaki fase menentukan.
Pendaftaran kandidat akan dibuka 4-10 Agustus 2018. Oleh karena itu, beragam
manuver dilakukan hampir seluruh parpol untuk mengonsolidasikan diri
sekaligus mencari mitra berkongsi. Yang pasti, Jokowi akan kembali bertarung
di gelanggang kontestasi elektoral 2019 sebagai petahana.
Bagi Jokowi, saat ini tinggal
menentukan yang akan mendampinginya. Modal sebagai kandidat untuk melampaui
presidential threshold sudah dilampauinya. Dukungan PDIP, Golkar, NasDem,
PPP, dan Hanura berkisar di angka 51,9% kursi DPR atau 52,21% suara nasional
memastikan satu kaki Jokowi sudah berada di gelanggang. Yang menarik dibaca
saat ini ialah siapa penantang Jokowi di 2019?
Peluang
kandidat
Hampir setiap hari, kita melihat
para elite utama parpol melakukan komunikasi politik. Ada yang terbuka,
setengah terbuka, dan sangat mungkin juga berjumpa di panggung belakang yang
tak terekspos oleh media.
Terakhir perjumpaan yang
mengundang tanya adalah manuver Luhut Binsar Pandjaitan yang bertemu dengan
Prabowo Subianto, di salah satu hotel di Jakarta, Jumat (6/4). Mungkinkah
mereka berdua hanya ngobrol biasa? Tentu saja tidak. Salah satu topik
perjumpaan di antara mereka, sulit mengabaikan irisannya dengan Pemilu 2019.
Banyak orang mengaitkan perjumpaan
Prabowo-Luhut dengan potensi peluang kongsi Gerindra dengan kubu Jokowi.
Bacaan ini, menurut hemat saya, kecil kemungkinannya untuk tidak mengatakan
mustahil dalam bacaan konstelasi politik 2019. Pertama, di luar Jokowi yang
tingkat elektabilitasnya tinggi sebagai capres ialah Prabowo sehingga Prabowo
akan mengelola sumber daya politik yang sudah dibangunnya sebagai sosok di
luar kekuasaan sejak dikalahkan Jokowi di 2014.
Kedua, penyelenggaraan pemilu
legislatif dan pemilu presiden bersamaan waktunya menyebabkan partai-partai
politik berupaya berhitung cermat untuk bisa untung bersamaan di dua
gelanggang pertarungan. Bagi Gerindra, arus utama akar rumput yang mendukung
partai ini sejak 2014, tentu saja kelompok pemilih yang tidak suka, dan tidak
akan memilih Jokowi. Oleh karenanya, basis konstituen ini akan sangat
dipertimbangkan Gerindra karena menyangkut kesadaran kolektif yang dijadikan
sebagai tema atau agenda bersama yang kerap disebut sebagai konvergensi
simbolis.
John F Cragan, Understanding
Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998),
menjelaskan konvergensi simbolis sebagai kekuatan komunikasi di balik
penciptaan kesadaran umum atau realitas simbolis yang disebut sebagai visi
retoris. Prabowo bagi Gerindra bukan semata-mata ketua umum partai, melainkan
juga ikon dan simbol penantang untuk Jokowi.
Sangat wajar, banyak pihak
memprediksi suara Gerindra akan berpotensi naik di Pemilu Legislatif 2019
karena adanya coat-tail effect atau pengaruh pesona individual Prabowo
sebagai capres pada tingkat keterpilihan partai di pemilu legislatif.
Oleh karena itu, sulit
membayangkan risiko bagi Gerindra jika tiba-tiba putar haluan dan berkongsi
dengan Jokowi. Tentu muncul disonansi kognitif atau keberbedaan apa yang
dipikirkan dan membuat inkonsistensi logis dalam persepsi pemilih Gerindra.
Dari bacaan itu, kongsi Prabowo dengan Jokowi jauh panggang dari api untuk
terealisasi.
Peluang
sosok lain
Dari manuver elite justru yang
harus dicermati ialah pergerakan mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Sosok
Gatot tidak bisa diabaikan begitu saja dari konstelasi Pilpres 2019. Meskipun
elektabilitas masih rendah, berpotensi mendinamisasi pasar pemilih terutama
jika ada kongsi partai yang bersedia mengusungnya.
Argumennya Gatot sudah menyatakan
kesediaannya untuk melaju baik sebagai capres maupun sebagai cawapres. Posisi
itu membuatnya lebih fleksibel untuk merapat ke kedua kubu yang saat ini
diposisikan berhadapan, yakni kubu Jokowi dan kubu Prabowo.
Gatot bisa saja merapat ke Prabowo
jika diposisikan sebagai cawapres. Pun demikian, dia masih juga mungkin
persuasif ke kubu Jokowi di tengah susahnya mengisi slot cawapres dari
partai-partai yang saat ini sudah memosisikan para ketua umum mereka sebagai
capres meskipun peluang merapat ke kubu Jokowi lebih kecil.
Peluang lain pun masih mungkin
diraih Gatot, yakni jika Prabowo memutuskan diri beralih peran menjadi king
maker. Hal ini masih sangat mungkin terjadi dengan dua syarat. Pertama,
adanya restu Prabowo. Sebagai figur utama, Prabowo tentu punya kuasa penuh
atas dirinya dan kebijakan Gerindra untuk memajukan siapa. Tanpa restu
Prabowo, tak mungkin Gatot punya perahu bernama Gerindra.
Memastikan Prabowo menjadi king
maker bukan pekerjaan mudah bagi Gatot. Selain dia harus menunjukkan potensi
suara atau modal dasar elektoral, biasanya ada ruang lobby dan negosiasi di
'belakang panggung' yang lazim ada dalam perspektif kepentingan elite.
Kedua, Gatot dan Prabowo harus
memikirkan cara paling aman dalam mengelola coat-tail effect dari capres jika
penantang Jokowi di luar sosok Prabowo, mengingat Gatot bukan kader dan
pengurus Gerindra. Arus utama di internal Gerindra tentu menginginkan Prabowo
sebagai capres karena lebih memudahkan para pengurus dan caleg mengelola
insentif elektoral capres pada pileg jika ketum mereka menjadi capres.
Bersediakah Gatot menjadi kader
atau pengurus Gerindra? Bisa diterimakah sosok Gatot di internal partai
Gerindra dan calon mitra koalisinya, yakni PKS, jika melaju menjadi capres?
Jika Gatot deadlock dalam
negosiasi politik dengan Gerindra, peluang terakhirnya ada di potensi poros
ketiga. Meskipun peluang ini lebih kecil, bukan berarti harus diabaikan dari
bacaan. Peluang poros ketiga hanya mungkin diinisiasi Demokrat, PKB, dan PAN.
Kumulasi ketiga partai ini 27% kursi DPR atau 26,82% suara. Benar,
kemungkinan paling besar ketiga partai itu sulit menerapkan strategi zero sum
game!
Demokrat sedang membuat panggung
untuk AHY di 2019 sehingga jika ada peluang, sepertinya AHY lebih nyaman
gabung ke kubu Jokowi. Pun demikian dengan PKB, yang juga berpotensi
mengamankan posisi saat ini sekaligus membaca peluang untuk berada di kubu
petahana yang diprediksi lebih besar peluang menangnya.
Sementara itu, PAN berpotensi
merapat dengan Gerindra dan PKS. Sekalipun kalau lihat gaya Ketum PAN
Zulkifli Hasan, partai ini masih juga berpotensi merapat ke kubu Jokowi
sekalipun kemungkinannya lebih kecil. Jika politik akomodasi di kubu Jokowi
terhadap tiga partai ini mengalami kebuntuan, bisa saja poros ketiga
terbentuk dan Gatot bisa berkomunikasi untuk meyakinkan paket baru di luar
Jokowi dan Prabowo.
Masalahnya, Gatot harus bisa
diterima dan bisa menjembatani ego sektoral tiap partai itu. Yang pasti,
komunikasi politik dan safari mencari siapa penantang Jokowi masih akan
berlangsung hingga akhir Juli, atau bahkan hingga awal Agustus saat
pendaftaran dibuka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar