Rabu, 16 Desember 2015

MKD Bukan Kita

MKD Bukan Kita

Bambang Soesatyo  ;  Anggota Komisi III DPR RI;
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
                                                KORAN SINDO, 14 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Lain yang dibicarakan, lain yang dikerjakan. Lain yang direkam, lain yang ditanya. Begitulah kira-kira yang terekam di benak publik. Orang Betawi bilang “Jaka Sembung bawa golok” alias “Ngga nyambung jeblok!”.

Perilaku beberapa anggota Yang Mulia Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), baik di dalam maupun di luar persidangan etik skandal Papa Minta Saham memang sangat memprihatinkan dan mengancam mencoreng wajah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) sebagai lembaga tinggi negara yang terhormat.

Sebagai anggota DPR RI, sebagian besar dari kami hampir tidak bisa lagi menyembunyikan rasa marah dan rasa malu atas perilaku beberapa anggota MKD yang mempertaruhkan harkat, martabat, dan kehormatan kami semua sebagai anggota DPR. MKD bukan kita! Barangkali itulah kata-kata yang tepat untuk membuat garis demarkasi antara mereka dan kami. MKD adalah alat kelengkapan DPR yang berfungsi menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR.

Alih-alih dijunjung dan dilindungi, kehormatan tertinggi itu justru dicampakkan dan dijajakan. Karena ulah para anggotanya, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI itu justru kehilangan kehormatannya sendiri. Sungguh tidak mudah memulihkan wibawa DPR sebagai lembaga tinggi negara.

Tidak hanya masyarakat, sebagian besar anggota DPR pun meradang ketika melihat dan menyikapi tiga agenda sidang MKD yang menelusuri dugaan pelanggaran etika oleh anggota DPR dalam skandal “Papa Minta Saham”. Selain perilaku para anggota MKD yang tidak proporsional, tiga agenda sidang MKD itu nyata-nyata digiring untuk keluar dari inti atau konteks persoalan.

Hal ini terjadi karena mayoritas Yang Mulia anggota MKD gagal atau tidak mampu mengambil posisi independen. Karena kepentingan sempit, banyak anggota MKD memihak. Gelagat buruk sudah terlihat sejak MKD menetapkan dan mengumumkan jadwal sidang mendengarkan keterangan pelapor dan saksi pelapor. Pergantian anggota MKD dilakukan dengan tiba-tiba.

Status sidang, terbuka atau tertutup, pun menjadi materi perdebatan yang alot. Gelagat buruk itu menjadi kenyataan ketika sidang pertama digelar. Sejumlah anggota MKD terang-terangan menunjukkan sikap emosional mereka. Demikian emosionalnya sehingga mereka lupa pada sebuah aspek yang sangat prinsipiil, independensi.

Pasal 11 Peraturan DPR No. 1/2015 tentang Kode Etik DPR menetapkan bahwa anggota MKD harus bersikap independen dan bebas dari pengaruh fraksinya atau pihak lain dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya. Anggota MKD juga telah bersepakat untuk tidak berhubungan atau berkomunikasi dengan semua pihak terkait (pelapor, terlapor, dan saksi) demi objektivitas mahkamah.

Kontroversi dan kegaduhan akibat skandal “Papa Minta Saham” memuncak ketika MKD memutuskan sidang ketiga tertutup saat mendengarkan keterangan terlapor. Situasi saat itu tampak sangat konyol dan kacau balau. Pertama, karena terlapor memasuki ruang sidang dengan cara mengecoh awak pers. Kedua, kendati ditetapkan sebagai sidang tertutup, keterangan terlapor di hadapan MKD tetap saja bisa ditayangkan sebuah stasiun televisi.

“Pembocoran” keterangan terlapor itu bisa terjadi karena ada anggota MKD yang merekam dan menyerahkannya kepada awak pers. Pembocoran keterangan terlapor itu menggambarkan betapa sengitnya adu kuat di antara sesama anggota MKD. Juga semakin memperjelas terbelahnya MKD.

Sebagian pro terlapor, lainnya kontra terlapor. Tertutupnya sidang hari itu juga menunjukkan kepada publik bahwa pro terlapor mayoritas. Kencangnya arus pendapat publik yang mendorong MKD menetapkan sidang terbuka untuk agenda mendengarkan keterangan terlapor sama sekali tidak digubris. Entah kekuatan apa yang begitu dahsyat sehingga MKD bisa bersikap tega dan dengan sangat berani membuat ketetapan yang mengecewakan publik.

Atribut Wakil Rakyat yang melekat langsung pada setiap anggota DPR benar-benar kehilangan makna karena saat itu institusi DPR seperti tersandera. Ragam isu berseliweran jelang sidang hari itu. Paling menyita perhatian adalah isu tentang saweran miliaran rupiah agar MKD mau memenuhi permintaan terlapor untuk membuat sidang tertutup.

Dari isu itu, berlanjut dengan isu “Yang Mulia Masuk Angin”. Terlepas dari benar tidaknya ragam isu tersebut, publik melihat dan kecewa karena sidang itu tertutup. Dari ketertutupan sidang itu, ada anggota MKD yang minta kasus “Papa Minta Saham” ini ditutup. Luar biasa!

Salah Gunakan Kekuasaan

Sidang pertama, kedua, dan ketiga untuk skandal “Papa Minta Saham” yang digelar MKD melahirkan ragam tafsir di benak publik. Paling ekstrem adalah tafsir tentang penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan oleh beberapa anggota MKD. Pemandangan dari tiga tahapan sidang MKD itu bukan hanya melukai rasa keadilan masyarakat, tetapi juga menimbulkan ketakutan.

Beberapa anggota MKD berusaha memutarbalikkan fakta untuk menjungkirbalikkan apa yang benar menjadi salah dan sebaliknya. Inilah bahaya dan risikonya jika sekumpulan orang picik menggenggam kekuasaan atau wewenang yang besar. Beberapa anggota MKD lebih menitikberatkan aspek teknis untuk menggugurkan esensi persoalan.

Hal itu bisa dilihat dari perdebatan tentang legal standing pelapor sehingga MKD harus menghadirkan seorang ahli bahasa. Artinya, ada keinginan dari beberapa anggota MKD untuk menutup kasus hanya karena pelapor tidak memenuhi syarat. Pendekatan seperti itu terasa sangat ekstrem. Orang-orang itu menggunakan kekuasaannya untuk menutup sebuah kasus, padahal kasus permufakatan jahat itu didukung bukti dan adanya saksi.

Beberapa anggota MKD berusaha memperlemah saksi pelapor dengan tuduhan melakukan penyadapan atau rekaman ilegal. Diasumsikan bahwa karena rekaman itu ilegal maka esensi pembicaraan yang mengarah pada permufakatan jahat itu patut dianggap tidak pernah ada. Lagi-lagi terlihat kecenderungan beberapa anggota MKD menyalahgunakan wewenang mereka.

Rekaman itu menggambarkan keterlibatan Ketua DPR dalam pembicaraan tentang prospek perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Seharusnya, dugaan pelanggaran kode etik tidak mungkin digugurkan karena ketua DPR mengurusi sesuatu yang bukan menjadi bidang tugasnya. Bahkan, sebagaimana bisa dibaca dari kronologi peristiwa, pertemuan ketiga itu pun merupakan inisiatif ketua DPR.

Apalagi dilakukan sendiri dan tertutup, alias tidak pernah diagendakan sebagai kegiatan resmi Ketua DPR yang dicatatkan di Sekretariat DPR. Padahal, semua orang paham bahwa isu perpanjangan kontrak Freeport Indonesia sangatlah sensitif sehingga harus dikelola pemerintah dengan sangat berhati- hati. Dari logika seperti itu saja, dugaan pelanggaran etika rasanya sudah terpenuhi.

Perkembangan selanjutnya memang sangat memprihatinkan dan meluluhlantakkan wibawa DPR. Upaya MKD untuk mendapatkan rekaman asli pada ponsel milik saksi pelapor (Maroef Sjamsoeddin) gagal. Saksi pelapor menolak meminjamkan ponselnya karena tidak percaya lagi pada MKD yang sudah masuk angin.

Bagaimanapun, MKD itu representasi DPR. Ketidakpercayaan saksi pelapor terhadap MKD adalah tamparan bagi DPR. MKD sudah kehilangan kehormatannya. Tidak hanya dihujani kecaman oleh masyarakat, tetapi juga sudah tidak dipercaya. Lakon MKD dalam kasus Papa Minta Saham otomatis berdampak pada citra institusi DPR. Itu sebabnya sejumlah anggota DPR ikut mengecam MKD.

Semua anggota MKD seharusnya menjunjung dan menjaga kehormatan yang melekat pada mereka. Sayang, kehormatan yang tinggi itu sudah dicampakkan oleh tuan-tuan Yang Mulia tersebut. Dan MKD, jelas bukan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar