Menguatkan Politik Luar Negeri Indonesia
Hikmahanto Juwana ; Guru Besar Hukum Internasional UI
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Desember 2015
DI banyak negara meski sebuah negara memiliki politik luar
negeri yang tunggal, setiap kali pemerintahan berganti politik luar negeri,
negara tersebut akan mengalami penerjemahan ulang (reinterpretation). Indonesia bukan pengecualian.
Setelah Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai presiden,
politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif mendapat penerjemahan ulang.
Tahun 2015 merupakan tahun diketahuinya bagaimana pemerintahan Jokowi
menjalankan politik luar negeri. Ada sejumlah kebijakan luar negeri yang
dapat digambarkan terkait dengan implementasi politik luar negeri bebas
aktif.
Pertama, pemerintahan Jokowi menunjukkan ketegasan saat
kedaulatan dan kepentingan nasional menjadi taruhan. Di awal tahun, ketika
Indonesia hendak melakukan eksekusi hukuman mati atas terpidana narkoba,
termasuk warga negara asing, sejumlah negara asal pelaku menekan Indonesia.
Protes pun disampaikan, duta besar ditarik, sejumlah bantuan dihentikan,
hingga Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa turut memberi pernyataan terhadap
Indonesia.
Semua tidak digubris karena Indonesia hendak melaksanakan
kedaulatan hukumnya.Indonesia sedang mengalami darurat narkoba dan Indonesia
tidak ingin menjadi negara tujuan narkoba dari mancanegara. Berbagai tindakan
dari negara sahabat akhirnya cair kembali pascadilakukan eksekusi hukuman
mati. Hanya satu negara, yaitu Brasil, yang presidennya belum selesai kemarahannya.
Tindakan di luar kewajaran dunia diplomatik berupa tidak menerima surat
kepercayaan dari Duta Besar Indonesia saat segala sesuatu telah dipersiapkan,
hingga kini belum jelas apakah akan diterima atau tidak.
Ketegasan pemerintahan Jokowi juga ditunjukkan saat
dilakukannya penenggelaman sejumlah kapal berbendera asing yang tertangkap
mencuri ikan (illegal fishing).
Berbagai negara mengajukan keberatan atas kebijakan tersebut. Keberatan lebih
karena peliputan media dari penenggelaman yang menyebut nama negara asal
kapal maupun kewarganegaraan awak kapal. Nama negara terbawa-bawa meski
mereka tidak bisa berbuat banyak karena kapal dan awak kapal asal negara
mereka melanggar hukum di perairan Indonesia.
Bahkan, ketegasan Presiden Jokowi tecermin dalam pidatonya
di Konferensi Asia Afrika yang mengkritik lembaga keuangan internasional,
seperti Bank Dunia dan International
Monetary Fund (IMF), yang memanfaatkan fungsinya sebagai kreditur untuk
melakukan intervensi kedaulatan hukum negara penerima pinjaman.
Ada perbedaan
Dalam konteks ini, penerjemahan politik luar negeri bebas
aktif di bawah pemerintahan Jokowi berbeda dengan pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Pada masa pemerintahan SBY, interpretasi politik luar negeri
bebas aktif ialah seribu teman nol musuh (thousand
friends zero enemy). Sementara di era pemerintahan Jokowi, penafsirannya
menjadi semua negara adalah teman, hingga kedaulatan dan kepentingan
Indonesia dirugikan (all nations are
friends, until Indonesia's sovereignty and interest is jeopardized).
Penafsiran politik luar negeri pemerintahan Jokowi
diapresiasi masyarakat Indonesia. Namun, tidak demikian dengan masyarakat
internasional. Ketegasan Indonesia tak dapat dihindari, tidak saja untuk
merefleksikan apa yang dikehendaki publik Indonesia, tetapi juga untuk
mencerminkan Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power).
Ini yang harus dipertahankan pemerintahan Jokowi pada 2016
dan tahun-tahun selanjutnya. Bahkan, oleh siapa pun yang akan memegang tampuk
pemerintahan di kemudian hari. Namun, demikian Indonesia, pada 2015 banyak
dipertanyakan oleh sejumlah negara terkait dengan konsistensinya menjalankan
politik luar negeri bebas aktif. Indonesia di bawah pemerintahan Jokowi
dianggap lebih condong dan dekat dengan Tiongkok. Berbagai proyek
infrastruktur di Indonesia mendapat pinjaman dari Tiongkok, termasuk kereta
cepat Jakarta Bandung.
Berbagai pinjaman ini sebenarnya menguntungkan Tiongkok.
`Negeri Tirai Bambu' itu di samping dapat memutar uang yang dimilikinya, juga
mensyaratkan tenaga kerja kasarnya untuk dapat bekerja dalam proyek-proyek
yang dilakukan di Indonesia. Tiongkok memang harus memutar otak untuk dapat
memberikan pekerjaan bagi angkatan kerjanya.
Kedekatan ini oleh Amerika Serikat dipertanyakan.
Kunjungan Presiden Jokowi ke AS pun harus dilihat dalam perspektif hendak
mengembalikan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Di tahun-tahun
mendatang yang perlu dipastikan oleh pemerintahan Jokowi ialah politik bebas
aktif tetap dijalankan secara konsisten. Perlu dipahami keberpihakan atau
condong ke satu negara tidak hanya merugikan Indonesia, tetapi juga akan
memunculkan reaksi dari negara lain.
Masalah lain yang menjadi topik pada 2015 ini ialah
integrasi ekonomi. Dalam pertemuan puncak ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur,
Presiden Jokowi dan kepala pemerin tahan ASEAN lainnya menandatangani
deklarasi sebagai pengumuman berdirinya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Saat berkunjung ke AS, Presiden Jokowi pun menyampaikan
niat Indonesia dalam Trans Pacific Partnership (TPP). Indonesia seolah tidak
mau tertinggal dengan tren baru dunia berupa integrasi ekonomi. Padahal,
pemerintah seharusnya melihat hal ini secara bijak. Dalam integrasi ekonomi
ada dua unsur penting, yaitu pasar dan tempat berproduksi.
Memang Indonesia merupakan pasar yang sangat menjanjikan
keuntungan bagi siapa pun pelaku usaha. Itu menjanjikan karena Indonesia
memiliki jumlah penduduk yang besar dan kelas menengah yang terus berkembang,
kesukaan (preference) konsumen
Indonesia yang mudah diubah dengan iklan, serta tidak ada pelaku usaha lokal
yang berarti untuk bersaing.
Hanya saja, bila pasar yang besar tidak berkolerasi dengan
pembukaan lapangan pekerjaan, ini berarti barang impor justru membanjiri
pasar Indonesia. Kalaulah pasar Indonesia sangat menjanjikan, sudah
seharusnya lapangan pekerjaan terbuka di Indonesia. Lapangan pekerjaan di
Indonesia tidak terbuka karena Indonesia di mata pelaku usaha bukanlah negara
yang ideal untuk dijadikan tempat berproduksi. Iklim investasi di Indonesia
banyak dikeluhkan pelaku usaha luar maupun dalam negeri. Keluhan mulai dari
kelambanan birokrasi dalam mengeluarkan izin, berbagai pungutan liar dan
semiliar, kepastian hukum dan kepastian berusaha, frekuensi, serta alasan
berdemo para pekerja dan banyak lagi.
Berpotensi dirugikan
Keluhan ini bila tidak diperhatikan dan dibenahi akan
membuat Indonesia dirugikan dalam MEA. Di samping itu, di era MEA, Indonesia
berpotensi dirugikan karena adanya lembaga supranasional yang membuat
kebijakan-kebijakan terkait dengan pasar tunggal ASEAN dan tempat
berproduksi. Dirugikan karena bila para birokrat Indonesia tidak mampu
memberi warna dalam pembuatan kebijakan. Bisa jadi, negara dengan pasar kecil
seperti Singapura justru menentukan kebijakan ASEAN yang di dalamnya ada
Indonesia yang memiliki pasar sangat besar.
Dalam konteks inilah pemerintah perlu memastikan bahwa MEA
tidak akan merugikan Indonesia, terutama dalam pembukaan lapangan pekerjaan.
Bila MEA ternyata membuat Indonesia sulit membuka lapangan pekerjaan, siapa
pun yang akan menjadi presiden pada 2019 akan memaksa Indonesia keluar dari
MEA. Ini tentu akan merepotkan posisi Indonesia sebagai pendiri ASEAN dan
peserta dari Piagam ASEAN.
Iklim investasi yang tidak kondusif yang harus menjadi
pertimbangan pemerintah ketika Indonesia benar-benar akan masuk TPP. Di sini,
TPP tidak banyak memberi keuntungan bagi Indonesia. Terlebih, Indonesia tidak
turut dalam perundingan perjanjian TPP. Tidak ada warna kepentingan Indonesia
dalam TPP.
Terakhir, isu yang menghangat pada 2015 terkait dengan
masalah luar negeri yang berdampak pada Indonesia ialah perekrutan warga
menjadi anggota Islamic State (IS).
IS pun telah melakukan aksi teror di Paris, Prancis. Aksi ini dikhawatirkan
akan meluas ke negara lain. Tentu, ini harus menjadi kewaspadaan bagi
pemerintah, dan harus mampu mencegah warga asal Indonesia untuk bergabung
dengan IS. Saat mereka dapat digagalkan, tentu harus dipikirkan bagaimana
memperlakukan mereka. Demikian pula bagi warga yang kembali. Bagaimana
memastikan agar mereka tidak melakukan tindakan teror di Indonesia.
Di sini pentingnya kerja sama internasional antara
Indonesia dan berbagai negara untuk memastikan penyebaran terhadap IS.
Masyarakat perlu disadarkan tentang bahaya ikut dalam IS. Aparat penegak
hukum pun harus menggunakan instrumen hukum yang tepat untuk dapat menjerat
mereka yang kembali dari tempat pertempuran.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dari pemerintahan
Jokowi ialah keterlibatan Indonesia dalam masalah-masalah regional, seperti
Laut China Selatan dan multilateral. Pada era pemerintahan Jokowi,
keterlibatan Indonesia dalam masalah regional dan multilateral dianggap
kurang. Ini yang akan menjadi tantangan agar pemerintahan Jokowi tidak
menurunkan standar yang telah dibuat pemerintahan SBY. Sejumlah hal di atas
mendominasi politik luar negeri Indonesia serta harus mendapat perhatian pada
2016 dan tahun-tahun mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar