MKD Bukan Kita
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI;
Presidium Nasional KAHMI
2012-2017
|
KORAN
SINDO, 14 Desember 2015
Lain yang dibicarakan, lain yang
dikerjakan. Lain yang direkam, lain yang ditanya. Begitulah kira-kira yang
terekam di benak publik. Orang Betawi bilang “Jaka Sembung bawa golok” alias
“Ngga nyambung jeblok!”.
Perilaku beberapa anggota Yang
Mulia Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), baik di dalam maupun di luar
persidangan etik skandal Papa Minta Saham memang sangat memprihatinkan dan
mengancam mencoreng wajah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) sebagai lembaga
tinggi negara yang terhormat.
Sebagai anggota DPR RI, sebagian
besar dari kami hampir tidak bisa lagi menyembunyikan rasa marah dan rasa
malu atas perilaku beberapa anggota MKD yang mempertaruhkan harkat, martabat,
dan kehormatan kami semua sebagai anggota DPR. MKD bukan kita! Barangkali
itulah kata-kata yang tepat untuk membuat garis demarkasi antara mereka dan
kami. MKD adalah alat kelengkapan DPR yang berfungsi menjaga dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat DPR.
Alih-alih dijunjung dan
dilindungi, kehormatan tertinggi itu justru dicampakkan dan dijajakan. Karena
ulah para anggotanya, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI itu justru
kehilangan kehormatannya sendiri. Sungguh tidak mudah memulihkan wibawa DPR
sebagai lembaga tinggi negara.
Tidak hanya masyarakat, sebagian
besar anggota DPR pun meradang ketika melihat dan menyikapi tiga agenda
sidang MKD yang menelusuri dugaan pelanggaran etika oleh anggota DPR dalam
skandal “Papa Minta Saham”. Selain perilaku para anggota MKD yang tidak
proporsional, tiga agenda sidang MKD itu nyata-nyata digiring untuk keluar
dari inti atau konteks persoalan.
Hal ini terjadi karena mayoritas
Yang Mulia anggota MKD gagal atau tidak mampu mengambil posisi independen.
Karena kepentingan sempit, banyak anggota MKD memihak. Gelagat buruk sudah
terlihat sejak MKD menetapkan dan mengumumkan jadwal sidang mendengarkan
keterangan pelapor dan saksi pelapor. Pergantian anggota MKD dilakukan dengan
tiba-tiba.
Status sidang, terbuka atau
tertutup, pun menjadi materi perdebatan yang alot. Gelagat buruk itu menjadi
kenyataan ketika sidang pertama digelar. Sejumlah anggota MKD terang-terangan
menunjukkan sikap emosional mereka. Demikian emosionalnya sehingga mereka
lupa pada sebuah aspek yang sangat prinsipiil, independensi.
Pasal 11 Peraturan DPR No. 1/2015
tentang Kode Etik DPR menetapkan bahwa anggota MKD harus bersikap independen
dan bebas dari pengaruh fraksinya atau pihak lain dalam melaksanakan fungsi,
tugas, dan wewenangnya. Anggota MKD juga telah bersepakat untuk tidak
berhubungan atau berkomunikasi dengan semua pihak terkait (pelapor, terlapor,
dan saksi) demi objektivitas mahkamah.
Kontroversi dan kegaduhan akibat
skandal “Papa Minta Saham” memuncak ketika MKD memutuskan sidang ketiga
tertutup saat mendengarkan keterangan terlapor. Situasi saat itu tampak sangat
konyol dan kacau balau. Pertama, karena terlapor memasuki ruang sidang dengan
cara mengecoh awak pers. Kedua, kendati ditetapkan sebagai sidang tertutup,
keterangan terlapor di hadapan MKD tetap saja bisa ditayangkan sebuah stasiun
televisi.
“Pembocoran” keterangan terlapor
itu bisa terjadi karena ada anggota MKD yang merekam dan menyerahkannya
kepada awak pers. Pembocoran keterangan terlapor itu menggambarkan betapa
sengitnya adu kuat di antara sesama anggota MKD. Juga semakin memperjelas
terbelahnya MKD.
Sebagian pro terlapor, lainnya
kontra terlapor. Tertutupnya sidang hari itu juga menunjukkan kepada publik
bahwa pro terlapor mayoritas. Kencangnya arus pendapat publik yang mendorong
MKD menetapkan sidang terbuka untuk agenda mendengarkan keterangan terlapor
sama sekali tidak digubris. Entah kekuatan apa yang begitu dahsyat sehingga
MKD bisa bersikap tega dan dengan sangat berani membuat ketetapan yang
mengecewakan publik.
Atribut Wakil Rakyat yang melekat
langsung pada setiap anggota DPR benar-benar kehilangan makna karena saat itu
institusi DPR seperti tersandera. Ragam isu berseliweran jelang sidang hari
itu. Paling menyita perhatian adalah isu tentang saweran miliaran rupiah agar
MKD mau memenuhi permintaan terlapor untuk membuat sidang tertutup.
Dari isu itu, berlanjut dengan isu
“Yang Mulia Masuk Angin”. Terlepas dari benar tidaknya ragam isu tersebut,
publik melihat dan kecewa karena sidang itu tertutup. Dari ketertutupan
sidang itu, ada anggota MKD yang minta kasus “Papa Minta Saham” ini ditutup.
Luar biasa!
Salah
Gunakan Kekuasaan
Sidang pertama, kedua, dan ketiga
untuk skandal “Papa Minta Saham” yang digelar MKD melahirkan ragam tafsir di
benak publik. Paling ekstrem adalah tafsir tentang penyalahgunaan kekuasaan
atau kewenangan oleh beberapa anggota MKD. Pemandangan dari tiga tahapan
sidang MKD itu bukan hanya melukai rasa keadilan masyarakat, tetapi juga
menimbulkan ketakutan.
Beberapa anggota MKD berusaha
memutarbalikkan fakta untuk menjungkirbalikkan apa yang benar menjadi salah
dan sebaliknya. Inilah bahaya dan risikonya jika sekumpulan orang picik
menggenggam kekuasaan atau wewenang yang besar. Beberapa anggota MKD lebih
menitikberatkan aspek teknis untuk menggugurkan esensi persoalan.
Hal itu bisa dilihat dari
perdebatan tentang legal standing pelapor sehingga MKD harus menghadirkan
seorang ahli bahasa. Artinya, ada keinginan dari beberapa anggota MKD untuk
menutup kasus hanya karena pelapor tidak memenuhi syarat. Pendekatan seperti
itu terasa sangat ekstrem. Orang-orang itu menggunakan kekuasaannya untuk
menutup sebuah kasus, padahal kasus permufakatan jahat itu didukung bukti dan
adanya saksi.
Beberapa anggota MKD berusaha
memperlemah saksi pelapor dengan tuduhan melakukan penyadapan atau rekaman
ilegal. Diasumsikan bahwa karena rekaman itu ilegal maka esensi pembicaraan
yang mengarah pada permufakatan jahat itu patut dianggap tidak pernah ada.
Lagi-lagi terlihat kecenderungan beberapa anggota MKD menyalahgunakan
wewenang mereka.
Rekaman itu menggambarkan
keterlibatan Ketua DPR dalam pembicaraan tentang prospek perpanjangan kontrak
PT Freeport Indonesia. Seharusnya, dugaan pelanggaran kode etik tidak mungkin
digugurkan karena ketua DPR mengurusi sesuatu yang bukan menjadi bidang
tugasnya. Bahkan, sebagaimana bisa dibaca dari kronologi peristiwa, pertemuan
ketiga itu pun merupakan inisiatif ketua DPR.
Apalagi dilakukan sendiri dan
tertutup, alias tidak pernah diagendakan sebagai kegiatan resmi Ketua DPR
yang dicatatkan di Sekretariat DPR. Padahal, semua orang paham bahwa isu
perpanjangan kontrak Freeport Indonesia sangatlah sensitif sehingga harus
dikelola pemerintah dengan sangat berhati- hati. Dari logika seperti itu
saja, dugaan pelanggaran etika rasanya sudah terpenuhi.
Perkembangan selanjutnya memang
sangat memprihatinkan dan meluluhlantakkan wibawa DPR. Upaya MKD untuk
mendapatkan rekaman asli pada ponsel milik saksi pelapor (Maroef Sjamsoeddin)
gagal. Saksi pelapor menolak meminjamkan ponselnya karena tidak percaya lagi
pada MKD yang sudah masuk angin.
Bagaimanapun, MKD itu representasi
DPR. Ketidakpercayaan saksi pelapor terhadap MKD adalah tamparan bagi DPR.
MKD sudah kehilangan kehormatannya. Tidak hanya dihujani kecaman oleh
masyarakat, tetapi juga sudah tidak dipercaya. Lakon MKD dalam kasus Papa
Minta Saham otomatis berdampak pada citra institusi DPR. Itu sebabnya
sejumlah anggota DPR ikut mengecam MKD.
Semua anggota MKD seharusnya
menjunjung dan menjaga kehormatan yang melekat pada mereka. Sayang,
kehormatan yang tinggi itu sudah dicampakkan oleh tuan-tuan Yang Mulia
tersebut. Dan MKD, jelas bukan kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar