Senin, 21 Desember 2015

Memikirkan (lagi) Pendidikan bagi Difabel

Memikirkan (lagi) Pendidikan bagi Difabel

Agus Wibowo  ;  Pemerhati Pendidikan; Dosen Fakultas Ekonomi UNJ
                                           MEDIA INDONESIA, 07 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETIAP Desember, kita memperingati Hari Penyandang Disabilitas Sedunia. Sudahkah kaum penyandang disabilitas, atau difabel, mendapat pendidikan yang layak di negeri ini? Sudahkah pemerintah membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi mereka? Pertanyaan ini menjadi penting mengingat peringatan Hari Penyandang Disabilitas lebih sering sekadar rutinitas dan seremonial tanpa makna. Buktinya, diskriminasi bagi penyandang disabilitas masih sering terjadi di dunia pendidikan negeri ini.

Data teranyar yang dirilis Kementerian Sosial (2014) menyebut jumlah penyandang disabilitas masih sekitar 11% dari total penduduk Indonesia. Tingginya angka penyandang disabilitas itulah yang membuat prihatin Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, Presiden Jokowi berjanji akan mengeluarkan kebijakan yang memihak penyandang disabilitas; baik di bidang pendidikan, sosial, maupun kesehatan. Janji Presiden Jokowi itu patut diapresiasi positif, sekaligus ditunggu realisasi dan eksekusinya.

Difabel, atau penyandang disabilitas, menurut The American with Disabilities Act (2014) merupakan sebutan bagi mereka yang mengalami cacat, baik bawaan sejak lahir (given), atau lantaran bencana, kecelakaan, dan sebagainya. Menjadi penyandang disabilitas itu bukan pilihan.

Aneka kebijakan dengan maksud memperlakukan penyandang disabilitas secara manusiawi memang sudah dicanangkan. Misalnya Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN, 2000) sebagai penerapan UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Namun, kenyataannya, UU itu belum efektif mengubah nasib penyandang disabilitas di akar rumput. Itu terlihat dengan sikap masyarakat yang masih menganggap penyandang disabilitas sebagai `sampah' yang layak menerima ketidakadilan.

Di dunia pendidikan, diskriminasi bagi penyandang disabilitas masih kental terasa. Pada tahun akademik 2014/2015 misalnya, masih ada beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) yang mensyaratkan mahasiswa baru tidak menyandang disabilitas; netra, rungu, dan buta warna total. Ada lagi jurusan yang mensyaratkan calon mahasiswa tidak tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa, dan buta warna total.Kebijakan tersebut anehnya justru direspons positif oleh pemerintah waktu itu.

Lepas kewajiban

Bagi penyandang disabilitas perempuan, nasib lebih mengenaskan karena ditolak mengikuti pendidikan di sekolah, bahkan di perguruan tinggi. Alasannya sekolah tidak memiliki guru khusus, kekurangan fasilitas, dan sebagainya.
Diskriminasi di perguruan tinggi terjadi, selain masyarakat yang cenderung memandang rendah terhadap perempuan difabel, karena pimpinan sekolah/universitas dan staf akademisnya tidak mempersiapkan dan memperhitungkan bahwa ternyata terdapat beberapa calon mahasiswa penyandang disabilitas yang memiliki kemampuan akademis cukup baik, bahkan terkadang lebih baik jika dibandingkan dengan kemampuan orang normal.

Kebijakan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas pada persyaratan masuk pendidikan dasar hingga perguruan tinggi mengisyaratkan negara lepas kewajiban. Menurut UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, khususnya Pasal 12, kewajiban negara ialah memberikan pendidikan bagi warganya tanpa diskriminasi. Sudah seharusnya pemerintah segera mencabut aneka aturan yang kontradifabelitas.

Benar ada program studi tertentu yang tidak bisa diikuti penyandang disabilitas. Bukan karena tidak boleh, melainkan karena tidak mungkin. Kendati demikian, ketika membuat keputusan diterima-tidaknya penyandang disabilitas sebagai peserta didik/mahasiswa, itu tidak dilakukan secara sepihak. Artinya, komunikasi dengan calon peserta didik/mahasiswa penyandang disabilitas mesti dilakukan dengan baik, bukan asal tolak! Pun begitu dengan kurikulum, materi pelajaran, dan model evaluasi, mesti sesuai dan dapat diakses peserta didik/mahasiswa penyandang disabilitas (Agus Wibowo, 2014).

Belajar dari beberapa negara maju, mereka justru menga komodasi dan memberikan fasilitas khusus bagi warganya yang menyandang disabilitas. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, ada UU khusus untuk melindungi kaum penyandang disabilitas yang bernama The American with Disabilities Act. UU itu berisi kewajiban negara untuk memberikan perlindungan bagi penyandang disabilitas di bidang pendidikan. AS bahkan melengkapi perlindungan untuk mahasiswa/mahasiswi penyandang disabilitas dengan yayasan yang bernama The Learning Disabilities Association of Amerika. Dengan adanya perlindungan itu, di beberapa kampus AS seperti St Francis Xavier University dan juga University of Washington, melindungi dan membantu mahasiswa/mahasiswi penyandang disabilitas untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.

University of Washington sejak 1978 sudah memodifikasi sedemikian rupa lingkungan kampus mereka agar ramah penyandang disabilitas. Misalnya kondisi jalanan yang rata dan tidak berbukit-bukit, serta fasilitas mobil jemputan khusus untuk memudahkan penyandang disabilitas yang memiliki kesulitan mobilitas, kemudahan dalam mengakses teknologi baik di laboratorium maupun perpustakaan khusus yang membantu penyandang tunanetra dan tunarungu, parkir khusus, dan konseling akademis. Bahkan, DSO ini juga membuka dan membantu tersedianya sukarelawan yang dengan sukarela membantu mahasiswa penyandang disabilitas untuk menuliskan catatan dan sebagainya.

Terlihat jelas kampus di negara-negara maju memang sudah didesain seramah mungkin bagi penyandang disabilitas. Akses pendidikan juga dibuka seluas-luasnya tanpa ada diskriminasi. Pendek kata, di negara-negara maju, penyandang disabilitas diperlakukan secara ramah, diberi akses seluas-luasnya untuk mendapat pendidikan, dan dilindungi hak-haknya tanpa terkecuali sebagaimana warga negara yang normal.

Memihak penyandang disabilitas

Di Indonesia sampai saat ini masih sedikit kampus yang benar-benar ramah dan tidak menyulitkan bagi penyandang disabilitas. Gedung-gedung tinggi menjulang, orang normal saja masih kesulitasn mengaksesnya, apalagi penyandang disabilitas?

Sudah saatnya aneka kebijakan yang membatasi akses pendidikan penyandang disabilitas dihapus. Mereka juga warga negara yang berhak memilih pendidikan sesuai dengan bakat dan potensi masingmasing. Negara sudah semestinya mengakomodasi dan memberikan kesempatan yang luas.Di sisi lain perlu segera dihapus paradigma yang menyudutkan penyandang disabilitas dengan menganggap rendah, terbatas, dan tak perlu diperhitungkan kemampuannya.

Kemendikbud dan Kemenristek-Dikti dituntut segera membentuk dan menerapkan UU pendidikan khusus, yang melindungi dan memberikan kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk mengakses pendidikan secara layak. Pendidikan yang layak itu bukan bertujuan menjadikan penyandang disabilitas superior di antara warga negara lain. Kelayakan yang penulis maksud ialah suatu sarana, prasarana, dan fasilitas pendukung pen didikan yang meminimalkan adanya hambatan bagi penyandang disabilitas untuk dapat belajar di perguruan tinggi.

Mulai SD hingga perguruan tinggi pembelajaran di kelas juga mesti memihak penyandang disabilitas. Selama memberikan tugas perkuliahan misalnya, para dosen hendaknya memberikan perhatian khusus. Itu dilakukan agar para mahasiswa penyandang disabilitas bisa mengikuti perkuliahan dan mengerjakan tugas sesuai dengan keterbatasan mereka. Para dosen dan mahasiswa lain juga diajak untuk peduli dan turut membantu mahasiswa penyandang disabilitas.
Para guru di sekolah baik umum maupun inklusi hendaknya memiliki empati dan kesabaran lebih. Kesediaan untuk senantiasa mendampingi dan menjadi orang terdekat untuk berbagi memang bukan perkara mudah. Jika tidak sabar, bisa jadi guru akan kesulitan memperlakukan anak didik penyandang disabilitas. Perlu ditanamkan komitmen bahwa anak penyandang disabilitas butuh perhatian khusus, tetapi jangan berlebihan. Itu menjadi penting agar tidak timbul kesan anak penyandang disabilitas dimanjakan sehingga membuat mereka `terasing' di kelas. Perlakuan dan perhatian yang kesannya berlebihan justru akan membatasi anak didik penyandang disabilitas bergaul dengan teman-teman mereka.

Sudah saatnya segenap pihak memikirkan lagi pendidikan bagi penyandang disabilitas. Sangatlah tidak manusiawi dan tentu saja berdosa jika kita terus membiarkan penyandang disabilitas menjalani hidup dengan penderitaan yang menumpuk lantaran kita membatasi akses pendidikan mereka. Pendidikan sebagai salah satu kunci bagi penyandang disabilitas menatap indah dunia, dan bekal untuk menghadapi aneka tantangan zaman. Selamat Hari Penyandang Disabilitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar