Kebangsaan; Refleksi dan Harapan
Budi Susilo Soepandji ; Guru Besar Universitas Indonesia; Bekerja
di Lemhannas
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Desember 2015
ADA yang menarik dalam World Order,
buku terbaru yang ditulis Henry Kissinger. Dalam pengantar bukunya, mantan
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat periode 1973-1977 dan pemenang Nobel Perdamaian
1973 itu mengungkapkan keteraturan dunia lahir dari keseimbangan antara dua
hal yang terkadang digambarkan sebagai dua kutub yang saling bertentangan,
tapi saling tergantung dan memengaruhi, yaitu order dan freedom. Order (keteraturan) tanpa freedom (kebebasan) pada akhirnya akan
membawa kekacauan atau pemberontakan, sedangkan kebebasan tidak dapat
dipertahankan tanpa kerangka ketertiban untuk menjaga perdamaian itu sendiri.
Ungkapan tersebut merupakan analisis dan kesimpulan filosfofis terhadap
dinamika geopolitik di berbagai kawasan dunia.
Geopolitik
global, regional
Pandangan tersebut tentu perlu
dijadikan bahan pembelajaran sekaligus perenungan terhadap perubahan tatanan
dunia dalam berbagai aspeknya yang saat ini tengah terjadi di berbagai
belahan dunia, termasuk di Tanah Air. Sepanjang 2015, kawasan Afrika, Eropa,
dan Asia disibukkan dengan ekses konflik berkepanjangan yang terjadi di ka
wasan Timur Tengah. Tidak hanya membanjirnya pengungsi ke kawasan Eropa dan
Asia, tapi juga meluasnya radikalisme global yang disertai kekerasan
bersenjata yang telah mengancam dan mengguncang stabilitas keamanan
negara-negara di kawasan Eropa, Amerika, dan kawasan Asia, termasuk
Indonesia. Tindak terorisme di berbagai lokasi di Paris (13/11) menimbulkan
kekhawatiran baru tentang semakin meluasnya tindak serupa di berbagai belahan
dunia.
Di sisi lain, dinamika geopolitik
yang terjadi di kawasan regional yang mencakup Asia Tenggara, Asia Timur, dan
Asia Pasifik tidak lepas dari pengaruh radikalisme global menunjukkan
meningkatnya intensitas ketegangan politik kawasan yang semakin tinggi. Sengketa
Laut China Selatan antara Tiongkok dan lima negara ASEAN telah melibatkan ne
gara-negara ekstra kawasan, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Jepang,
dengan agenda politik dan ekonomi masing-masing. Sementara itu, sengketa
perbatasan di kawasan Asia Timur dan Semenanjung Korea yang melibatkan
negara-negara ekonomi maju semakin menegaskan potensi instabilitas politik,
ekonomi, dan keamanan di kawasan.
Dalam aspek ekonomi, kerja sama
ekonomi dan perdagangan kawasan yang mendorong kompetisi antarbangsa semakin
tidak terbendung dan terbuka lebar. Sebut saja, AFTA (ASEAN Free Trade Area),
ACFTA (ASEAN China Free Trade Area), RCEP (Regional Comprehensif Economic
Partnership), dan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada akhir 2015 yang
merupakan bentuk kerja sama ekonomi dan perdagangan yang digadang-gadang
mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional dan nasional masing-masing.
Belum lagi keberadaan kerja sama ekonomi antarkawasan, seperti TPP (Trans Pacific Partnership), yang
menjanjikan peningkatan ekonomi bagi negara-negara anggotanya.
Dari berbagai dinamika tersebut,
secara langsung maupun tidak langsung, tentu akan memengaruhi kehidupan
berbangsa di Tanah Air. Tekanan politik, ekonomi, sosial, dan keamanan
sebagai dampak perubahan geopolitik global maupun regional merupakan suatu
hal yang tidak dapat diabaikan dan dikesampingkan oleh kehidupan politik
nasional yang ingar-bingar tidak tentu arah.
Pusaran geopolitik global dan
regional harus dihadapi bersama dalam satu kesatuan pandangan dan persepsi
yang berbasis kebangsaan. Kita harus belajar dari kekacauan politik dan
keamanan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang disebabkan
tercerabutnya karakter dan jati diri karena dibenturkan dengan narasi-narasi
bangsa lain. Itulah hal mendasar yang perlu dijadikan pelajaran oleh para
pemegang amanah di negeri ini.
Dinamika
kehidupan berbangsa
Untuk menjadi catatan bersama,
sepanjang 2015, kehidupan berbangsa kita telah tersandera oleh dinamika
politik yang tidak sehat serta menguras waktu, tenaga, dan pikiran.
Komunikasi politik para pemegang amanah hanya berkutat pada kepentingan
kelompok yang kontraproduktif bagi kemakmuran rakyat. Derap langkah
pemerintah untuk membangun fondasi dasar yang kukuh dalam menjalankan visi
dan misinya terhambat oleh manuver-manuver politik jangka pendek dan
politisasi berbagai isu klasik, seperti korupsi, penegakan hukum, dan
penurunan nilai tukar. Pembangunan ekonomi seolah tidak bergerak maju bila
dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi negara tetangga. Sementara itu,
tantangan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah di depan mata.
Kegaduhan politik seakan
membutakan nurani dan intuisi para pemegang amanah terhadap berkembangnya
ancaman perang proksi yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi melalui jejaring internet ataupun media sosial.
Merebaknya pola rekrutmen
simpatisan dan pengikut IS melalui dunia maya maupun peretasan portal
pemerintah dipandang sebatas informasi semata yang tidak membangkitkan
kewaspadaan kolektif sebagai bangsa yang berdaulat.
Walaupun sebagian kalangan
tergerak untuk melakukan langkah-langkah antisipatif, hal tersebut belum
mencerminkan sebagai langkah kolektif yang didasarkan pada kesadaran politis
bersama.
Saat ini penyelenggara negara di
tingkat pusat maupun daerah dan masyarakat disibukkan oleh pilkada serentak
di 269 daerah yang berlangsung di sembilan daerah provinsi, 224 kabupaten,
dan 36 kota.
Dengan demikian, hajatan demokrasi
terbesar dalam sejarah Indonesia ini akan membawa perubahan konstelasi
kepemimpinan yang baru di daerah secara bersamaan dengan segala konsekuensi
yang tentu saja akan memengaruhi terselenggaranya kehidupan berbangsa di
daerah maupun dalam lingkup nasional.
Dinamika kehidupan nasional yang
kita rasakan saat ini mengusik munculnya pertanyaan besar apakah para
pemegang amanah menyadari besar dan beratnya tantangan yang dihadapi
Indonesia? Dapatkah para pemegang amanah bersatu dalam kebangsaan sebagai
negarawan-negarawan yang mengabdikan diri untuk seutuhnya bagi kemajuan
bangsa dan negara serta kesejahteraan rakyat?
Benteng
pertahanan
Perlu dipahami bahwa dalam kancah
geopolitik global mendatang Indonesia akan terpengaruh secara signifikan
dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini mengingat mainstream sistem negara bangsa yang merupakan warisan dari
Perjanjian Westphalia mengalami perombakan secara cepat akibat revolusi
informasi yang mengglobal.
Apabila institusi-institusi
politik dalam negeri (eksekutif, legislatif, yudikatif, penegak hukum,
pemprov, dan pemda/ pemkot) tidak beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan
perubahan ini, utamanya yang berhubungan dengan penegakan rasa keadilan
masyarakat, dalam jangka panjang, eksistensi NKRI akan terancam. Di samping
itu, dinamika politik nasional akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan
negara menghadapi dinamika geopolitik global.
Situasi Timur Tengah dan Afrika
Utara yang makin memanas selama lima tahun belakangan, terutama setelah Arab
Spring serta masuknya negara-negara besar ke dalam konflik tersebut, akan
berdampak besar bagi Indonesia apabila Indonesia tidak segera membangun suatu
konsensus nasional tentang masa depannya. Konsensus nasional ini perlu
disusun dan dibangun bukan sebagai solusi bagi masa depan, melainkan sebagai
kekuatan untuk memicu partisipasi bangsa yang lebih luas dalam memandang masa
depan kita di tengah masyarakat dunia.
Oleh karena itu, kita perlu
belajar dari masa lalu untuk menata masa depan Indonesia sebagai bangsa yang
berdaulat seutuh-utuhnya. Kita harus paham melalui sejarah Nusantara bahwa
kolonialisme bangsa Eropa mampu menguasai Nusantara karena para pemimpinnya
saat itu sibuk berebut pengaruh di antara sesama warga Nusantara tanpa secara
jeli memahami pola dan cara kerja imperialisme global. Namun, satu hal
mendasar yang perlu kita bangun dan perkuat ialah kebangsaan. Kebangsaan merupakan roh
perjuangan dan keberadaan suatu bangsa.
Garda
terdepan
Wawasan kebangsaan harus dimiliki
setiap anak bangsa, mulai penyelenggara negara, politisi, hingga masyarakat
biasa. Rasa kebangsaan bukan hanya didorong untuk dipahami oleh kalangan muda
seperti yang terus digembar gemborkan saat ini. Di saat menghadapi perubahan
geopolitik global inilah justru penyelenggara negara dan pemegang amanah
rakyatlah yang harus memahami wawasan kebangsaan secara mendalam.
Untuk menyikapi hal tersebut serta
menatap 2016 dan tahun-tahun berikutnya yang akan diwarnai semakin maraknya
perang proxy, maka media massa akan menjadi garda terdepan dalam membangun
kebangsaan dan menjaga persatuan kesatuan bangsa. Sebagai lembaga sosial dan
lembaga ekonomi yang mengemban fungsi sebagai media informasi, pendidikan,
hiburan, dan kontrol sosial, media harus berpartisipasi secara proaktif dalam
mendidik masyarakat yang sadar akan arti pentingnya wawasan kebangsaan bagi
masa depan Indonesia.
Media tidak boleh terjebak dalam
permainan politik yang mengutamakan kepentingan kelompok dan menggadaikan
kepentingan bangsa dalam jangka panjang. Sebagai pewaris bangsa dan negara
ini, seharusnya kita malu kepada para pendiri bangsa yang telah
berdarah-darah mengorbankan jiwa dan raga untuk kemerdekaan bangsa ini.
Untuk menata dan menatap masa depan bangsa ini, kutipan
sepenggal pidato Bung Karno yang disampaikan pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945
berikut ini, mungkin perlu kita renungkan dengan hati nurani yang jernih, “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang
kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang
semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa
dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberikan sandang pangan kepadanya?“ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar