Rabu, 16 Desember 2015

Kesenjangan dan The Fed

Kesenjangan dan The Fed

Firmanzah  ;  Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEB Universitas Indonesia
                                                KORAN SINDO, 14 Desember 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam beberapa waktu ke depan ekonomi nasional akan terfokus pada dua hal penting: isu tentang kesenjangan dan kepastian besaran kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed).

Isu kesenjangan lebih berorientasi pada sektor riil, sementara kenaikan suku bunga The Fed lebih berdimensi moneter dan pasar keuangan. Secara sepintas, isu kesenjangan hanya menjadi domain pemerintah atau otoritas fiskal dan sektor riil, sedangkan kenaikan suku bunga The Fed menjadi tanggung jawab BI untuk meresponsnya.

Namun, kalau kita analisis lebih dalam justru dalam situasi seperti ini, baik pemerintah maupun BI, semakin dituntut untuk meningkatkan koordinasi dan policy-harmonization dalam menyusun kebijakan untuk kedua isu tersebut. Baik kebijakan moneter maupun fiskal harus saling mendukung dan jangan sampai saling melemahkan. Isu kesenjangan mencuat kembali setelah Bank Dunia baru-baru ini merilis data tentang kesenjangan ekonomi.

Meskipun terdapat sejumlah capaian yang mengesankan pascareformasi di bidang ekonomi, persoalan kesenjangan kaya-miskin justru semakin lebar. Menurut Bank Dunia, terdapat disparitas pertumbuhan konsumsi antara kelompok kaya-miskin selama kurun waktu 2003-2010. Sebanyak 10% masyarakat terkaya Indonesia konsumsinya tumbuh 6%, sementara 40% masyarakat termiskin konsumsinya tumbuh di bawah 2%.

Hal ini yang membuat koefisien gini meningkat dari 30 pada tahun 2000 menjadi 41 pada 2013. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, industrialisasi, disparitas kualifikasi tenaga kerja terampil, kepemilikan aset dan commodity-boom menjadi beberapa faktor melebarnya kesenjangan. Bank Dunia juga mengidentifikasi empat penyebab ketimpangan, yaitu ketimpangan peluang, ketimpangan pasar kerja, ketimpangan kekayaan dan ketimpangan dalam menghadapi guncangan.

Kondisi ini perlu lebih menjadi perhatian khususnya pemerintah lantaran pada September 2014-Maret 2015, menurut data BPS, terdapat tambahan 860.000 orang miskin di Indonesia. Kenaikan tersebut karena jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan bertambah besar dari 27,73 juta orang (10,96%) pada September 2014 menjadi 28,59 juta (11,22%) di Maret 2015.

Banyak kalangan memperkirakan jumlah penduduk di bawah garis kemiskinanpada survey BPS per September 2015 akan bertambah banyak akibat bencana kabut asap yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera dan Kalimantan. Data lain menunjukkan tren kesenjangan masih akan menjadi tantangan besar bagi perekonomian kita.

Misalnya, angka tingkat pengangguran terbuka (TPK) pada Agustus 2015 yang meningkat menjadi 6,18% lebih tinggi dibandingkan dengan posisi Agustus 2014 yang mencapai 5,94%. Tantangan kedua lebih berasal dari eksternal, yaitu kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan banyak analis akan diputuskan dalam rapat gubernur bank sentral Amerika Serikat, 15-16 Desember 2015.

Banyak analis memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga secara bertahap, dimulai dengan kenaikan 25 basis poin di bulan ini. Kenaikan suku bunga di AS membuat imbal hasil investasi portofolio di AS menjadi lebih menarik seiring berakhirnya likuiditas melimpah akibat program pembelian aset oleh The Fed dalam jumlah besar.

Salah satu risiko yang dihadapi oleh banyak negara berkembang dan emerging adalah pembalikan modal (capital outflow) dalam jumlah besar dari pasar modal dan pasar keuangan yang berakibat melemahnya nilai tukar mata uang di banyak negara. Bagi Indonesia, tekanan keluarnya modal asing tecermin dari beberapa indikator, misalnya nilai tukar mata uang rupiah yang terdepresiasi terhadap dolar AS, turunnya cadangan devisa, dan melemahnya IHSG.

Hal ini juga terjadi di sejumlah negara emerging lain seperti Brasil, Rusia, Afrika Selatan, Malaysia, dan Thailand. Meskipun sinyal naiknya suku bunga di Amerika Serikat akan dilakukan secara bertahap, perilaku investor mengonsolidasi aset di luar negeri dan pengalihan investasi ke dolar AS di tengah melemahnya harga minyak mentah dunia membuat permintaan terhadap dolar AS semakin tinggi.

Hal ini belum memperhitungkan kebutuhan dolar AS untuk keperluan impor dan cicilan pelunasan utang luar negeri, yang membuat nilai tukar mata uang di banyak negara akan mengalami tekanan dalam beberapa waktu ke depan. Nilai tukar rupiah berfluktuasi dan berada di level Rp14.000/dolar AS pada perdagangan minggu lalu. Otoritas moneter (BI) dan fiskal (pemerintah) akan sangat disibukkan dengan kedua isu di atas.

Di satu sisi persoalan kesenjangan, kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja; di sisi lain bagaimana respons kebijakan terhadap rencana kenaikan suku bunga The Fed. Salah satu kunci titik temu antara kedua otoritas terkait dengan hal ini adalah bagaimana sektor moneter dapat membantu bergeraknya sektor riil dan kebijakan fiskal juga turut menguatkan stabilitas sistem keuangan nasional.

Kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate) perlu melihat dua aspek sekaligus, yaitu sisi moneter serta stabilitas pasar keuangan dan dapat mendorong bergeraknya sektor riil di Tanah Air yang mengalami perlambatan di sepanjang tahun 2015.

Dari sisi lain, pemerintah juga memiliki andil sangat besar terhadap stabilitas pasar keuangan seperti pengaturan hedging utang luar negeri BUMN yang telah dilakukan, diversifikasi portofolio penerbitan Surat Berharga Negara (SBN), mendorong ekspor serta sektor lain untuk menambah devisa.

Apa pun kebijakan yang akan ditempuh baik oleh BI, OJK, LPS maupun pemerintah akan semakin membutuhkan keterpaduan antarlembaga. Di tengah situasi perekonomian dunia yang masih belum dapat dipastikan arahnya setelah kenaikan suku bunga The Fed, para pelaku usaha dan konsumen nasional semakin membutuhkan arah kebijakan nasional yang jelas dan terpadu.

Selain faktor ketidakpastian kondisi luar negeri, kita juga akan masih menghadapi sejumlah agenda pembangunan terkait dengan upaya pemerataan pembangunan nasional, memajukan kawasan timur Indonesia, mengefektifkan dana transfer ke daerah dan dana desa, penguatan konsumsi dalam negeri, serta realisasi pembangunan infrastruktur.

Soliditas kebijakan antar otoritas semakin diperlukan dan silang pendapat di ruang publik perlu dihindari agar tidak muncul kebingungan serta dapat menurunkan optimisme para pelaku usaha dan konsumen dalam negeri menghadapi tahun 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar