Adakah Perusahaan Nasional yang Usianya
di Atas 100 Tahun?
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan;
Guru Besar Ilmu Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|
KOMPAS.COM,
16 Desember 2015
Adakah perusahaan nasional yang
usianya di atas seratus tahun?
Pertanyaan itu sering diajukan
para akademisi kepada saya. Susah juga mencarinya. Di negara-negara industri,
itu sudah biasa.
Di Finlandia misalnya ada Nokia
(150 tahun). Tetapi Nokia hanya menekuni bisnis gadget ponsel sekitar 21 tahun.
Selebihnya perusahaan berumur panjang itu produk dan misi usahanya sudah jauh
berubah.
Di Amerika Serikat (AS), pernah
ada Kodak, tapi kini sudah mati. Juga ada WR Grace. Perusahaan ini berlokasi
di Columbia, Maryland, AS, dengan bisnis utama bahan-bahan kimia.
Semuanya juga berubah, mengikuti
zaman. Di Jepang ada Mitsui. Kalau di Jerman, persisnya di Munich, mungkin
Anda cukup familiar dengan nama Siemens.
Adakah di Indonesia? Tentu ada.
Hanya saja kebanyakan sudah terseok-seok dimakan usia. Misalnya, beberapa
pabrik gula warisan Belanda.
Kalau Pertamina yang minggu lalu
berulang tahun, baru merayakan usia ke 58. Meski belum seabad, lumayan
menghibur karena ia sudah ada di Fortune 500 dan cukup sehat.
Jadi, siapa yang sudah lebih dari
100 tahun dan masih sehat?
Sengaja tulisan ini saya turunkan
hari ini, karena hari ini ada perusahaan nasional yang merayakan usia ke-120,
namun tetap gesit berinovasi. Bahkan bidang usahanya tak bergeser dari misi
semula: microfinancing.
Seorang ilmuwan Amerika pernah
mengatakan, harusnya yang diganjar hadiah Nobel bukan Moh Yunus, melainkan
mendiang Raden Aria Wirya Atmadja. Sebab itulah tonggak awal sejarah
microfinance yang mengilhami Yunus.
Tonggak sejarah itu berawal pada
tanggal 16 Desember 1895, saat Raden Aria Wirya Atmadja dan kawan-kawannya
mendirikan “De Poerkertosche Hulp - en Spaarbank der Inlandsche Hoofden”
(Bank penolong dan tabungan bagi priyayi Poerwokerto) disingkat menjadi “Bank
Priyayi Poerwokerto”.
Bank
Penolong
Itulah cikal bakal dan misi
gerakan microfinancing Indonesia: menolong keuangan rakyat. Sedemikian powerful-nya menolong ekonomi rakyat
di sekitar Purwokerto, sampai-sampai ia ditakuti Belanda karena dianggap
mampu menggerakkan kekuatan untuk melawan kolonialisme. Wajar kalau dalam
perjalanannya ia pernah diambil Belanda.
Tak heran kalau itu pulalah yang
mengantarkan masa kecil presiden ke 44 Amerika Serikat, Barack Obama
berkenalan dengan Indonesia.
Ibunya, Ann Dunham datang ke
Indonesia antara lain untuk meneliti tentang peranan microfinance dan bank
penolong rakyat ini.
Kini bank penolong yang didirikan
Raden Arya Wiryaatmaja itu dikenal sebagai PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI)
.
Anda tentu bisa menyaksikannya
dari dekat, karena dialah satu-satunya bank yang ada di hampir setiap desa di
tanah air, bahkan mungkin ada di setiap pasar tradisional. Perusahaan ini
masih sangat sehat bukan tanpa alasan. Lihat saja kinerjanya.
Sepanjang 2014, BRI membukukan
laba bersih Rp 24,2 triliun. Kalau salah satu ukuran kinerjanya adalah besarnya
angka penyaluran kredit, tahun lalu kredit yang disalurkan BRI mencapai Rp
490,41 triilun.
Untuk tahun 2015, di tengah
kinerja perekonomian nasional yang kurang menggembirakan, BRI masih
menargetkan penyaluran kreditnya Rp503,6 triliun.
Baiklah, saya tak mau mengajak
Anda terlalu repot membaca angka-angka. Intinya, sampai kuartal III-2015,
semuanya tumbuh menggembirakan.
Pengakuan soal kinerja ini juga
datang dari majalahThe Banker yang diterbitkan The Financial Times yang pada
awal Desember 2015 memberikan penghargaan Bank of The Year 2015 Indonesia.
Kuncinya
Inovasi dan SDM
Minggu lalu dalam Forum
BUMN-Kompas, saya dipercaya memoderatori sesi yang diisi oleh jagoan-jagoan
inovasi BUMN.
Di situ ada Pertamina dan BRI. Dan
kepada audience, Asmawi Syam, Dirut BRI menyampaikan pertanyaannya kepada
pihak pemberi award (The Financial Times) mengapa mereka memilih BRI. Inilah
jawaban mereka:
Pertama, ternyata belum ada di
dunia ini bank yang menggunakan satelit selain BRI melalui BRISat.
Kedua, The Financial Times mengaku belum pernah melihat ada bank yang
mengapung di laut menjemput nasabah-nasabahnya. Dan itu hanya ada di bank ini
yang mengembangkan konsep Teras Kapal.
Ketiga, mereka belum pernah
melihat ada bank yang berhasil menyalurkan kredit sebanyak 624.000 orang
dalam tiga bulan. Birokrasi dipangkas, sistem dibangun, teknologi diperkuat,
dan SDM diperbaiki sehingga bank bergerak lincah.
Saya tertegun mendengarkannya.
Apalagi tahun depan BRI akan meluncurkan Microfinance institute bekerjasama
dengan salah satu institusi pendidikan di Amerika Serikat.
Bahkan sedang dipersiapkan Innovation Center untuk menampung
gagasan-gagasan inovasi dari para stakeholder-nya.
Itulah yang membuat perusahaan di
usia lanjut tak berubah menjadi tua dan renta seperti layaknya kita, manusia.
Dan saya kita kita bisa banyak belajar dari BRI yang kuncinya adalah SDM.
Di negara kita, banyak perusahaan
yang usianya belum lagi mencapai 30 tahun, kinerjanya sudah seperti orang
jompo.
Jalannya lambat, terseok-seok.
Kesannya, mati segan hidup tak mau. Setiap rapat manajemen, yang dibahas
melulu bagaimana melakukan penghematan biaya atau pemangkasan anggaran. Bukan
membahas bagaimana memperbesar pangsa pasar, cara masuk ke segmen-segmen
baru, atau melahirkan produk-produk yang inovatif.
BRI tidak begitu. Malah
sebaliknya, semakin tua semakin lincah. Nah, supaya ini bisa menjadi
pembelajaran, saya lihat ada beberapa faktor.
Pertama, jelas inovasi seperti
yang saya contohkan di atas.
Kedua, inovasi itu basisnya adalah
pengembangan SDM. Meski nasabah BRI kebanyakan wong cilik, karyawan yang
melayani adalah tenaga-tenaga berpendidikan.
Mereka terus dilatih, dan sebagian
di antaranya dikirimkan ke lembaga-lembaga pendidikan, baik di dalam maupun
di luar negeri, untuk melanjutkan pendidikannya.
Ketiga, Innovation Centre. Anda tahu, inovasi atau ide-ide bisnis tak
harus selalu datang dari lingkungan internal. Ia bisa datang dari lingkungan
eksternal, atau saya sering menyebut inovasi yang datang dari ekosistem
bisnisnya.
Inilah yang dilakukan BRI dengan Innovation Centre-nya. Unit inilah
yang menampung masukan, saran dan ide-ide dari stakeholders BRI, seperti para
petani dan nelayan, serta nasabah lainnya.
Contohnya, untuk melayani nasabah
nelayan—dan sesuai dengan masukan dari mereka, BRI mengembangkan bank
terapung yang saya ceritakan tadi.
Dengan cara seperti ini, produk
atau jasa yang dikeluarkan BRI selalu nyambung dengan kebutuhan nasabahnya.
Sebab, idenya memang datang langsung dari mereka.
Keempat, teknologi. Anda tahu, BRI
adalah bank pertama di dunia yang memiliki satelit. Dengan satelit ini, BRI
bakal memiliki akses untuk melayani nasabah-nasabah yang berada di
daerah-daerah terpencil. Ini akan membuat BRI semakin sulit disaingi oleh
bank-bank lain.
Saya berharap ulasan tentang BRI
ini bisa menjadi inspirasi bagi perusahaan-perusahaan nasional yang ingin
usianya menembus 100 tahun, atau lebih.
Sudah terlalu sering kita bahas
perusahaan asing, kini saatnya menghargai kemampuan bangsa sendiri.
Menurut perkiraan Arie de Geus
dalam bukunya The Living Company,
rata-rata harapan hidup perusahaan adalah dua sampai -tiga abad. Dan BRI,
saya yakin, bakal lebih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar