Dari Kemarau Menuju Hujan Harapan
Yudi Latif ; Pakar Kebangsaan dan Kenegaraan
|
MEDIA
INDONESIA, 10 Desember 2015
KEKERINGAN dan asap tebal yang
mengepung langit Indonesia sekitar setahun terakhir seperti isyarat alam yang
melukiskan peralihan kehidupan bangsa dari musim semi pengharapan. Kemunculan
pemerintahan Joko Widodo dan M Jusuf Kalla ditandai kegairahan musim semi
kesukarelaan yang membangkitkan harapan. Setelah sekian lama jagat politik
Indonesia mengalami lesu darah, kemunculan pemimpin (relatif) autentik
mengembalikan darah segar ke jantung politik.
Kehadiran darah segar itu lantas
dipompakan ke seluruh tubuh kebangsaan oleh dorongan semangat perubahan, yang
digerakkan simpul-simpul relawan yang tersebar di seluruh pelosok negeri.
Tanpa menunggu komando dan janji imbalan, simpul-simpul relawan itu bergerak
serempak mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi
kepartaian.Sontak saja, Indonesia pun disapu gelombang partisipasi politik
rakyat yang masif, energik, dan kreatif.
Sayang sekali, bulan madu musim
semi pengharapan itu begitu cepat berlalu. `Pembajakan' kekuasaan oleh
kekuatan oportunistis dan investor politik serta pertikaian berkepanjangan
antarkubu politik, yang menyeret konflik internal dalam lingkaran dalam kekuasaan,
meniupkan udara panas ke jantung politik.Mendapati para petinggi politik
dengan jiwa kenegarawanan yang kering, udara panas itu pun begitu cepat
membakar ranting jiwa yang kering, menimbulkan kebakaran di berbagai lini
dengan menyisakan asap tebal di langit kekuasaan.
Ketika pusat kuasa diliputi kabut,
para penyelenggara negara sering kali tidak bisa mengambil keputusan dengan
pikiran yang jer nih. Berbagai kebijakan diambil dengan risiko yang harus
ditanggung rakyat kebanyakan. Kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, BBM,
dan gas elpiji terus naik harganya dengan pasokan yang makin sulit diperoleh
di pasar. Di saat yang sama, kemerosotan nilai tukar rupiah bersamaan dengan
kenaikan tarif kereta ekonomi, pengenaan PPN atas tarif listrik dan tol,
kenaikan biaya meterai dan berbagai kenaikan harga-harga kebutuhan lainnya
kian membebani rakyat.
Subsidi untuk rakyat dipangkas,
tapi subsidi sumbangan pembelian mobil bagi pejabat negara dinaikkan.
Kebocoran pendapatan negara tetap tak bisa ditekan dan pembiayaan negara
kembali bergantung pada utang luar negeri.Konflik dan pertikaian antarlembaga
negara merebak di ruang publik dan melemahkan kebersamaan. Institusi KPK
sebagai mahkota reformasi untuk pemerintahan bersih mengalami hantaman dan
demoralisasi yang menggoyahkan eksistensinya.
Pusat
teladan
Partai-partai politik sebagai
pilar demokrasi kehilangan independensi dan kesolidannya karena penetrasi
aneka kepentingan dari luar yang mengarah pada perpecahan, tanpa komitmen
pemerintah untuk menjaga iklim yang sehat bagi pertumbuhan kepartaian.
Kemerosotan otoritas kepemimpinan
dan pertikaian elite ini bersejalan dengan peningkatan kerawanan sosial;
tindak kriminalitas, aksi-aksi pembegalan, perampokan dan pembunuhan, serta
radikalisme mewarnai kehidupan rakyat sehari-hari.
Dalam situasi gelap seperti itu,
Presiden dan Wakil Presiden belum mampu menunjukkan diri sebagai pusat
teladan dan pusat harapan.Konflik kepentingan antara Presiden dan Wakil
Presiden bisa dirasakan sensitivitas publik; dan tarik-menarik kepentingan di
antara keduanya merembet pada pertikaian dalam internal kabinet.
Dalam menghadapi cobaan berat yang
dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara ini, kita
tidak boleh hanyut dalam irama adu domba dan kehilangan orientasi. Cobaan
berat ini justru harus kita hadapi dengan memperkuat semangat gotong royong;
melawan setiap usaha pecahbelah; serta meneguhkan kembali komitmen untuk
mengedepankan keselamatan bangsa di atas kepentingan sempit perseorangan dan
golongan.
Di tengah penderitaan rakyat dan
pertikaian elite, perlu ditumbuhkan rasa tanggung jawab di kalangan para
pemimpin dan aparatur negara. Seperti diingatkan Bung Hatta, “Indonesia luas tanahnya dan besar
daerahnya dan sebagai Nusantara tersebar letaknya. Oleh karena itu, soal-soal
yang mengenai pembangunan ne gara Indonesia yang merdeka dan kuat tak sedikit
jumlahnya dan tidak pula mudah adanya. Pemerintahan negara yang semacam itu
hanya dapat diselenggarakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab yang
sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan yang amat luas. Rasa tanggung jawab
itu akan hidup dalam dada kita, jika kita sanggup hidup dengan memikirkan
lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan
bangsa.“
Dalam menunaikan rasa tanggung
jawab itu, hendaklah disadari bahwa berbagai cobaan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara ini mencerminkan kekeliruan kita dalam menjalankan sistem
pemerintahan negara karena penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan
semangat Konstitusi Proklamasi. Untuk itu, para penyelenggara negara,
legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus kembali ke rel pemerintahan yang
sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Kemaslahatan
publik
Perlu adanya perbaikan tata negara
dan tata kelola negara yang lebih sejalan dengan prinsip-prinsip Pancasila
dan konstitusi dalam mewujudkan aspirasi demokrasi (pemberdayaan rakyat) dan
tujuan bernegara. Dalam kaitan itu, faktor kepemimpinan memainkan peran
kunci. Demokrasi yang bermaksud memuliakan kedaulatan rakyat menghendaki
kepemimpinan yang `kuat'; yakni kepemimpinan berbasis hukum dengan
menjalankan amanat konstitusi, seperti tecermin dalam isti lah `demokrasi
konstitusional' (constitusional
democracy).
Dengan kata lain, demokrasi yang
dijalankan tidak bisa bersifat generik yang bisa diambil begitu saja dari
pengalaman negara lain, betapa pun majunya negara tersebut. Demokrasi harus
disesuaikan dengan falsafah dasar dan amanat konstitusi, yang merupakan
abstraksi dari kesadaran dan jati diri bangsa.
Komitmen utama konstitusi dan
kepemimpinan negara berkhidmat pada upaya untuk mengamankan dan mencari
keseimbangan dalam pemenuhan tiga pokok kemaslahatan publik (public goods). Hal itu berkisar pada
persoalan legitimasi demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan identitas
kolektif.
Basis legitimasi dari
institusi-institusi demokrasi berangkat dari asumsi bahwa institusi-institusi
tersebut merepresentasikan kepentingan dan aspirasi seluruh rakyat secara
imparsial. Klaim itu bisa dipenuhi jika segala keputusan politik yang diambil
secara prinsip terbuka bagi proses-proses permusyawaratan publik (public deliberation) secara bebas,
setara, dan rasional. Hanya dengan penghormatan terhadap prosedur-prosedur public deliberation seperti itulah,
peraturan dan keputusan yang diambil memiliki legitimasi demokratis yang
mengikat semua warga dan pemerintah bisa melaksanakannya secara benar (right) dan tanpa ragu (strong).
Setelah basis legitimasi
diperjuangkan, kemaslahatan publik selanjutnya ialah kesejahteraan ekonomi.
Demokrasi politik tak bisa berjalan baik tanpa demokratisasi di bidang
ekonomi. Pancasila sendiri mengisyaratkan ujung pencapaian nilai-nilai ideal
kebangsaan harus bermuara pada `keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'.
Pemimpin negara harus memiliki keberanian untuk menjalankan amanat konstitusi
dalam penguasaan bumi, air, udara, dan kekayaan alam bagi kesejahteraan
rakyat. Pemimpin negara, sebagai mata hati dan mata nalar rakyat, harus
berani mengambil sikap prorakyat dalam kasus eksplorasi kekayaan alam yang
merugikan bangsa dan negara.
Semuanya itu merupakan prakondisi
bagi terpeliharanya kebajikan ketiga; yakni identitas kolektif sebagai bangsa
Indonesia. Kemunculan Indonesia sebagai perwujudan dari civic nationalism (yang berbasis demokrasi konstitusional),
dengan Pancasila sebagai titik temu solidaritas kolektifnya, mulai
mendapatkan an caman dari meruyaknya aspirasi politik identitas yang
bersemangat partikularistik.
Fungsi pemimpin negara di tengah
gelombang ekstremitas dalam masyarakat benar-benar sedang diuji. Betapapun
Presiden/Wakil Presiden tampil karena dukungan partai atau kelompok tertentu,
sekali mereka terpilih anasir-anasir partikularistik harus dikesampingkan
demi kemaslahatan bersama.
Kepemimpinan Presiden/Wakil Presiden lebih dari
sekadar `petugas partai', tapi petugas seluruh rakyat Indonesia yang harus
dilayaninya. Terlalu besar taruhannya jika Presiden tidak lagi mendengar jerit
tangis ratusan juta rakyat hanya karena lebih mengutamakan kepentingan
perseorangan dan golongan.
Dalam situasi krisis akut dengan
darurat ke pemimpinan, dunia politik memerlukan peran kepemimpinan yang lebih
besar. Yang diperlukan bukan saja pemimpin yang baik (good leader), melainkan pemimpin agung (great leader). Keagungan di sini tidaklah merefleksikan kapasitas
untuk mendominasi dan memaksa, tetapi terpancar dari kesejatian karakter
untuk mengasihi, melindungi, mengurus, dan menertibkan.
Singkat kata, diperlukan kepemimpinan
moral yang dapat menambatkan kembali biduk-biduk yang oleng pada jangkar
keyakinan. Tentang hal ini, Khalifah Umar memberikan petunjuk, “Yang dapat memangku kepemimpinan ini
adalah orang yang tegas tapi tak sewenang-wenang, lembut tapi tidak lemah,
murah hati tapi tidak boros, hemat tapi tak kikir. Hanya orang seperti itulah
yang mampu.“ ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar