Dramaturgi Penyelamatan Etik Novanto
RD Silvian M Mongko ; Rohaniwan; Pengamat Sosial-Politik, tinggal
di NTT
|
MEDIA
INDONESIA, 18 Desember 2015
SKENARIO
penyelamatan etik Setya Novanto berhasil mengecoh laju lembaga penegak etik
Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Padahal, Novanto jelas-jelas telah melanggar
kode etik kepatutan sebagai wakil rakyat. Hemat saya, ada dua implikasi yang
sulit dihindari pascaakrobat etik pengunduran diri Novanto dari Ketua DPR
dalam kaitan dengan pencatutan nama presiden dan wakil presiden. Pertama,
mempertegas opini publik terkait dengan rendahnya independensi MKD sebagai
panglima penegak etik parlemen. Kedua, kelihaian Novanto dalam upaya
`penyelamatan diri' dari jeratan etik.
Kepiawaian
Novanto untuk meloloskan diri dari jeratan etik kian mulus karena dibungkus
dalam sebuah skenario sidang MKD yang berakhir tanpa keputusan yang jelas.
Independensi penegakan etik MKD patut dipertanyakan. Pasalnya, seorang teradu
dengan begitu mudah menganulir semua proses pengadilan etik yang nyaris
mencapai klimaks.
Politik pencitraan
Kenyataan ini
membenarkan sejumlah tuduhan publik perihal lemahnya integritas dan
independensi MKD sebagai pengawal etik DPR. Dalam ungkapan yang sedikit
tajam, hemat saya, perilaku MKD menggambarkan aparatur pengawal etik tanpa
kewibawaan dan kehormatan. Sebab, semua atribut luhur yang menyertai status
kehormatan itu dengan mudah dipermainkan teradu yang sedang berakrobat untuk
meloloskan diri.
Sikap MKD
tanpa putusan akhir terkait dengan sebuah pelanggaran etik menggambarkan
lemahnya komitmen penegakan etik karena tarikmenarik kepentingan partisan
anggota MKD sebagai utusan partai politik. Tak ada alasan bagi MKD untuk
menghentikan sidang etik terhadap teradu, demikian menurut pakar hukum tata negara
Refly Harun, kecuali karena tiga alasan: (1) teradu meninggal dunia; (2)
teradu mengundurkan diri dari anggota DPR; dan (3) teradu dicopot oleh partai
politiknya. Nah, surat pengunduran diri Novanto itu bukan sebagai anggota
DPR, melainkan dari Ketua DPR.
Hal ini
membuka kemungkinan bagi Novanto untuk meloloskan diri dari proses etik. Sebab
MKD sudah mengakhiri sidang etik tersebut, atau kalaupun dilanjutkan, rutenya
kian panjang karena membuka ruang bagi tim panel yang kemudian diparipurnakan
lagi di DPR. Sanksi berat sebagian anggota MKD membuka kemungkinan untuk
Novanto bisa berakrobat lebih panjang lagi dari jeratan etik atas pelanggaran
etiknya.
Apa yang
terjadi ini membenarkan analisis Erving Goffman (1959) dalam teori dramaturgi
sosial. Bahwasanya, citra, image, dan definisi sosial seseorang ialah sebuah
pertunjukan drama atau pentas yang dikemas melalui front stage.Publik hanya
bisa menilai dari apa yang kasatmata di panggung depan. Panggung depan dapat
menjadi ruang untuk membangun citra diri sembari menyembunyikan kebobrokan
diri. Namun tak boleh dilupakan bahwa semua yang terjadi di panggung depan
itu sudah disiasati skenario di belakang panggung (back stage). Akrobat etik Novanto dalam kemasan front stage sidang MKD bisa mengelabui
publik akan realitas di belakang panggung yang penuh trik dan intrik.
Pada tataran
ini, ada benarnya komentar cendekiawan Syafii Maarif beberapa waktu lalu
pascasidang tertutup MKD sebagai gambaran demokrasi kumuh di tangan elite
tunamartabat, tunamoralitas.
Keputusan MKD
untuk mengakhiri sidang etik terhadap Novanto jelas-jelas mendistorsi nalar
publik. Demokrasi yang waras tak boleh membunuh pertimbangan publik (public deliberation) yang berdiri di
atas fondasi moralitas, kepatutan, kecerdasan, atau rasio publik. Bagaimana
mungkin sebuah pengadilan etik yang sudah berjalan kian jauh dengan mudah
dikendalikan surat pengunduran diri seorang Novanto? Barangkali MKD sudah
masuk skenario dramaturgi penyelamatan diri Novanto dari jeratan sanksi
sedang yang berlaku final dan mengikat.
Maka,
jelaslah bahwa apa yang terjadi selama ini hingga euforia publik atas
`pengunduran diri' Novanto hanyalah bagian dari panggung depan politik
pencitraan elite yang sesungguhnya menyembunyikan banyak kebobrokan dalam
skenario di belakang panggung. Rakyat terus dikibuli demi menyelamatkan citra
PA diri seorang Novanto. Lantas, atas alasan apa sebuah dewan penegak etik
ikut-ikutan meloloskan Novanto yang sudah melanggar kepatutan secara
beruntun? Jangan-jangan ada `pemufakatan' atas pemufakatan jahat sebelumnya.
Kendali elite
Hemat saya,
langkah penuh intrik dan kebohongan ini jelas-jelas merupakan pembunuhan
terhadap demokrasi. Ketika elite melawan arus nalar publik, demokrasi yang
berakar pada kedaulatan rakyat sudah pasti dikhianati. Demokrasi dibayangi
kendali kepentingan elite-elite politik kumuh. Fenomena ini sudah diingatkan
Chantal Mouffe (2005), ilmuwan sosial-politik berkebangsaan Belgia, dalam
uraiannya terhadap `the present of
democracy'. Menurutnya, demokrasi modern, atau apa yang disebutnya `post-democracy', sedang dikendalikan
secara kuat oleh privilese elite. Pada kondisi ini, implementasi
kebijakan-kebijakan neoliberal memungkinkan kolonialisasi terhadap negara
oleh kepentingan-kepentingan korporasi dalam kendali yang kuat dari elite
negara.
Apa yang
dilihat Mouffe sebetulnya sedang terjadi dalam konteks berdemokrasi di
Indonesia. Negara digenggam kawanan politikus yang menjajah kekayaan negara
dalam persekongkolan jahat dengan korporasi asing. Kasus Freeport ialah salah
satu contoh tak terbantahkan untuk membenarkan analisis Mouffe. Ada praktik
penjajahan ekonomi negara di tangan aktor-aktor politik yang mempunyai akses
istimewa terhadap kekuasaan dan kebijakan publik.
Negara dalam
kondisi seperti ini, demikian kata Mouffe, akan berimplikasi pada krisis atau
bahkan hilangnya legitimasi institusi demokrasi yang termanifestasi dalam apa
yang disebut `depolitisasi'. Kepercayaan publik terhadap lembaga parlemen dan
instansi penegak etik (MKD) pascapenutupan sidang etik bukannya memulihkan
citra MKD, melainkan malah sebaliknya: MKD dinilai tak punya independensi dan
komitmen etik. Legitimasi lembaga etik ini pun terus digugat.
Lantas, apakah
kemudian publik bisa berharap banyak terhadap lembaga etik ini sebagai
panglima etik anggota dewan?
Melampaui diri
Di pihak
lain, Novanto jelas-jelas bukan seorang negarawan. Kenegarawanan Novanto
tidak bisa dipulihkan dengan `kepahlawanan'-nya mengajukan `surat pengunduran
diri'. Skenario itu hanya membuka peluang kian lebar bagi Novanto untuk lolos
dari jeratan etik. Novanto tidak mengakui kejahatan atau pelanggaran etik
yang berimplikasi pada pelanggaran pidana korupsi. Ini membuktikan skenario
Novanto untuk tetap berakrobat di puncak piramida kekuasaan demi menjamin
hasrat memburu rente. Ia masih berkutat pada kepentingan dirinya. Ini
membedakannya secara tegas dari negarawan yang sudah selesai berpikir untuk
menyejahterakan diri sendiri. Negarawan sanggup melampaui kepentingan diri.
Di tangan
seorang negarawan, kekuasaan ialah sarana yang dapat dipakai untuk menjamin
distribusi kesejahteraan secara adil dan merata. Konsep demikian belum ada
dalam mindset Novanto, sebab
kekuasaan dijadikannya sebagai garansi untuk meraih kemakmuran pribadi.
Untuk itu,
Novanto pantas diadili menurut tata cara hukum pidana yang sudah ditangani
Kejaksaan Agung. Apalah artinya sebuah penegakan etik kalau ujung-ujungnya
hanya meloloskan seorang pejabat negara yang sudah jelas melanggar kode etik
kepatutan? Kini harapan terakhir publik ada di tangan Jaksa Agung untuk
menghentikan laju politikus yang memakai pendekatan kekuasaan dalam membajak
kekayaan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar