Jaminan Relasi Anak-Orangtua
Reza Indragiri Amriel ; Alumnus Psikologi Forensik The University
of Melbourne
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Desember 2015
TAHUN 2015 merupakan samudra air
mata anak-anak Indonesia. Berbagai kemalangan yang mereka alami mengukuhkan
hati banyak kalangan untuk mendeklarasikan Indonesia dalam situasi darurat
kejahatan seksual. Pemerintah pun meresponsnya dengan langkah luar biasa
berupa pengebirian bagi predator seksual. Betapa pun sanksi itu dikhawatirkan
akan membuat predator semakin berbahaya dan berpotensi menggerus anggaran
negara (baca: “Jangan Kebiri, tapi Injeksi Mati“, Media Indonesia, 26/10),
tetapi kesigapan pemerintah tetap patut dihargai.
Persoalannya, ada satu penderitaan anak-anak yang
terpinggirkan dari perhatian publik. Kendati tidak menampilkan pemandangan
vulgar semisal banjir darah ataupun hilangnya nyawa, situasi perceraian
antara suami dan istri yang berlanjut dengan terpisahnya antara anak dan
orangtua hampir bisa dipastikan akan mendatangkan suasana yang tidak
menyenangkan bagi-utamanya--anak. Menyedihkan, sistem peradilan perdata yang
berwenang menyidangkan perkara pengasuhan anak pascaperceraian, kerap tidak
berhasil menangkal tindakan semena-mena orangtua pemegang hak asuh yang
menyumbat akses anak untuk menjalin hubungan yang hangat dengan orangtua yang
tidak memegang hak asuh. Putusan pengadilan yang menyerahkan hak asuh kepada
salah satu pihak (umumnya ke ibu), lalu pihak tersebut melakukan pengasingan
sehingga anak tidak dapat bertemu dengan orangtuanya yang lain, menjadi
masalah berikutnya dengan dampak buruk yang kian bertubi-tubi menyiksa anak.
Data KPAI memberikan dasar bagi kerisauan ini. Sejak 2011
hingga 2014, jumlah kasus perebutan kuasa asuh terus meningkat. Begitu pula
dengan jumlah anak korban pelarangan akses bertemu orangtua, naik dari 132
(tahun 2011), 166 (2012), 256 (2013), 282 (2014), ke 266 (perhitungan belum
sampai akhir 2015). Angka-angka tersebut melebihi jumlah anak yang menjadi
korban eksploitasi dan perdagangan manusia, dan hanya dikalahkan oleh jumlah
anak korban kekerasan seksual.
Makna hak asuh anak
Kendala paling awal yang menghalangi terlindunginya anak
pascaperceraian ialah pemahaman tentang terma hak asuh itu sendiri. Istilah
`hak asuh', acap saling dipertukarkan dengan `kuasa asuh', hingga kini lebih
diimplementasikan sebagai bahasan tentang siapa orangtua yang berhak untuk
mengasuh anak. Pemahaman sedemikian rupa akan mengarahkan hakim untuk lebih
berfokus pada apa yang dimiliki oleh setiap orangtua yang dapat diberikan
kepada anak.
Pemaknaan tersebut perlu diluruskan.Hak asuh sesungguhnya
merupakan hak anak untuk diasuh oleh pihak yang dinilai paling mampu
merealisasikan kepentingan terbaik anak. Pemahaman lebih jernih seperti itu
akan memosisikan anak pada kedudukan yang semestinya, yakni sebagai pihak
yang sesungguhnya paling berkepentingan dalam penyusunan putusan tentang
kehidupan anak pascaperceraian kedua orangtuanya. Pemahaman sedemikian rupa
akan mengalihkan hakim untuk lebih berkonsentrasi mengidentifikasi kondisi
anak, termasuk kebutuhan anak, problem perkembangan spesifik anak, dan
aspirasi anak itu sendiri. Jadi, agenda persidangan akan lebih banyak
dialokasikan pada upaya assessment
terhadap anak ketimbang terhadap orangtua sebagaimana praktik persidangan yang
masih berlangsung hingga dewasa ini.
Hakim niscaya tidak akan mampu melakukan assessment pengasuhan itu tanpa
melibatkan amicus curiae yang
berlatar keilmuan terkait perkembangan anak. Imbasnya, biaya dan waktu bagi
proses persidangan penentuan hak asuh anak memang akan menjadi sangat tinggi
sehingga terkesan bertentangan dengan prinsip bahwa proses hukum harus
berlangsung seekonomis mungkin. Bertitik tolak dari keinsafan bahwa anak
merupakan aset bangsa yang amat sangat berharga, dan kehidupan mereka pascaperceraian
menghadirkan problem berlipat ganda. Bisa dikatakan proses persidangan yang
semakin panjang dan bertambah rumit itu justru merupakan konsekuensi alamiah
yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Hal itu jauh lebih baik ketimbang
persidangan yang berlangsung singkat, tetapi menyepelekan kompleksitas
multidimensional terkait pemenuhan kepentingan terbaik anak korban
perceraian.
KHI versus UUPA
Di samping pelurusan persepsi tentang terma hak asuh atau
kuasa asuh, masalah berikutnya datang dari norma hukum. Khusus terhadap
kasus-kasus perceraian di lembaga peradilan agama, Kompilasi Hukum Islam
(KHI) merupakan salah satu--bahkan boleh jadi--acuan utama yang digunakan
majelis hakim saat akan menjatuhkan putusan mengenai hak asuh anak.
KHI seolah merupakan instrumen yang memberikan legitimasi
terhadap putusan yang dihasilkan oleh hakim pengadilan agama. Tanpa
mencantumkan pasal-pasal KHI, putusan hakim agama seolah kehilangan landasan
paling fundamentalnya. Itu, disadari atau pun tidak, memunculkan rasa tak
nyaman pada hakim untuk mencermati adanya perbedaan filosofis yang sangat
tajam antara KHI (aturan agamais) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA,
ketentuan `sekuler').
KHI berfilosofi tender
years yang eksplisit melihat ihwal hak asuh sebagai previlese ibu.
Filosofi ini memandang ibu by default
sebagai pengasuh kelas satu. Berbeda 180 derajat, pasal-pasal UUPA yang
eksplisit menempatkan ayah dan ibu pada posisi setara. Tidak ada satu
orangtua yang lebih superior daripada orangtua yang lain. UUPA juga
menegaskan bahwa anak berhak diasuh oleh kedua orangtuanya. Dengan kata lain,
KHI menganut asas pengasuhan tunggal (single
custody), sedangkan UUPA mengondisikan terciptanya pengasuhan bersama (joint custody).
Merespons perbedaan yang sangat prinsipil itu, hakim
seharusnya semaksimal mungkin mengupayakan dihasilkannya putusan bahwa
setelah terjadi perceraian, anak diasuh bersama (joint custody) oleh kedua orangtuanya.
Abai putusan
Setelah hakim menjatuhkan putusan berupa pengasuhan
tunggal kepada salah satu orangtua, maka sesuai UUPA, kesempatan anak untuk
menjalin hubungan dengan orangtua yang tidak memperoleh hak asuh harus tetap
terbuka. Namun, realitasnya, sebagaimana data Komisi Perlindungan
Anak-Indonesia (KPAI), semakin lama semakin banyak orangtua yang mengadukan
hambatan yang mereka alami untuk berjumpa dengan anak me reka. Penghambatan
secara fisik juga sering kali disertai dengan stigmatisasi terhadap mantan
pasangan agar anak menaruh kebencian kepadanya. Kelakuan jahat itu dilakukan
oleh mantan pasangan yang secara ironis menggunakan `atas nama kasih sayang'
sebagai dalihnya.
Pemisahan sedemikian rupa tidak dapat dipandang sebelah
mata. Setumpuk riset menyimpulkan bahwa fenomena pemisahan anak oleh salah
satu orangtua terhadap orangtuanya yang lain (parental alienation) berpotensi besar memunculkan problem fisik,
psikis, dan sosial yang serius. Juga bukan hanya satu dua studi yang
menemukan bahwa efek pemisahan justru lebih buruk daripada perceraian itu
sendiri. Begitu parahnya kondisi anak-anak yang menderita PAS sehingga banyak
profesional dan akademisi yang dimotori Dr Richard Gardner mengusulkan parental alienation syndrome (PAS)
dicantumkan sebagai klasifikasi spesifik di dalam referensi tentang gangguan
mental.
Anak-anak yang menderita PAS itulah yang sangat mungkin
akan semakin banyak muncul seiring dengan kian meningginya angka perceraian
di Tanah Air. Atas dasar itu, menimbang sisi intensitas dan kuantitas
fenomena pengasingan anak yang luar biasa mengkhawatirkan, otoritas hukum dan
lembaga perlindungan anak sudah sepatutnya mengambil langkah seribu guna
menemukan jalan keluar atas masalah tersebut.
Tindakan secepatnya
Beberapa penyikapan yang perlu diambil: pertama, harus
digarisbawahi bahwa kepemilikan akan hak asuh tidak menjustifikasi orangtua
untuk mengasingkan anak dari orangtuanya yang lain. Untuk mencegah terjadinya
pengasingan tersebut, hakim patut menambahkan ke dalam putusannya satu poin
tambahan yang mewajibkan kedua orangtua untuk memberikan laporan berkala
perihal disediakannya dan dimanfaatkannya akses anak untuk tetap menjalin
tali asih dengan orangtua yang tidak mendapat hak asuh. Integrasi antara
kerja lembaga peradilan dan lembaga kesejahteraan sosial juga dapat dibangun
untuk keperluan pelaporan maupun pemantauan tersebut.
Kedua, manakala diketahui bahwa pemutusan relasi telah
terjadi, lembaga peradilan tidak boleh tinggal diam. Agar muruah Dewi
Yustisia tetap terpelihara dan demi menjamin terejawantahkannya keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, tindakan penutupan akses harus dipandang
sebagai pelecehan terhadap putusan pengadilan. Secara spesifik, sebagaimana
praktik yang berlangsung di banyak negara, kelakuan semacam itu dapat
diperkarakan dengan tuduhan penghinaan tidak langsung terhadap lembaga
peradilan (indirect contempt of court).
Ini menjadi agenda legislasi ke depan, yakni menyusun perundang-undangan
tentang penghinaan terhadap lembaga peradilan.
Paralel dengan itu, ketiga, tindakan pengasingan terhadap
anak harus disikapi sebagai bentuk kekerasan psikis dan sosial yang dilakukan
oleh orangtua terhadap anak yang berada dalam kuasa asuhnya. Itu merupakan
persoalan pidana. Konsekuensinya agar sistem peradilan pidana lebih memiliki
kemantapan hati dalam melindungi hak anak, revisi UUPA dan UU KDRT maupun penyusunan
UU baru mengenai pengasuhan patut mengelaborasi lebih konkret dan deskriptif
pasal-pasal tentang penganiayaan semacam itu.
Tidak begitu optimistis untuk berharap bahwa angka
perceraian pada 2016 akan menurun. Namun, betapa pun binasanya perkawinan tak
terelakkan, satu jaminan harus tetap bisa dibangun bahwa tidak ada mantan
anak dan mantan orangtua. Allahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar