Kesenjangan dan The Fed
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar
FEB Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 14 Desember 2015
Dalam beberapa waktu ke depan
ekonomi nasional akan terfokus pada dua hal penting: isu tentang kesenjangan
dan kepastian besaran kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The
Fed).
Isu kesenjangan lebih berorientasi
pada sektor riil, sementara kenaikan suku bunga The Fed lebih berdimensi
moneter dan pasar keuangan. Secara sepintas, isu kesenjangan hanya menjadi
domain pemerintah atau otoritas fiskal dan sektor riil, sedangkan kenaikan
suku bunga The Fed menjadi tanggung jawab BI untuk meresponsnya.
Namun, kalau kita analisis lebih
dalam justru dalam situasi seperti ini, baik pemerintah maupun BI, semakin
dituntut untuk meningkatkan koordinasi dan policy-harmonization dalam menyusun kebijakan untuk kedua isu
tersebut. Baik kebijakan moneter maupun fiskal harus saling mendukung dan
jangan sampai saling melemahkan. Isu kesenjangan mencuat kembali setelah Bank
Dunia baru-baru ini merilis data tentang kesenjangan ekonomi.
Meskipun terdapat sejumlah capaian
yang mengesankan pascareformasi di bidang ekonomi, persoalan kesenjangan
kaya-miskin justru semakin lebar. Menurut Bank Dunia, terdapat disparitas
pertumbuhan konsumsi antara kelompok kaya-miskin selama kurun waktu
2003-2010. Sebanyak 10% masyarakat terkaya Indonesia konsumsinya tumbuh 6%,
sementara 40% masyarakat termiskin konsumsinya tumbuh di bawah 2%.
Hal ini yang membuat koefisien
gini meningkat dari 30 pada tahun 2000 menjadi 41 pada 2013. Pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, industrialisasi, disparitas kualifikasi tenaga kerja
terampil, kepemilikan aset dan commodity-boom
menjadi beberapa faktor melebarnya kesenjangan. Bank Dunia juga
mengidentifikasi empat penyebab ketimpangan, yaitu ketimpangan peluang,
ketimpangan pasar kerja, ketimpangan kekayaan dan ketimpangan dalam
menghadapi guncangan.
Kondisi ini perlu lebih menjadi
perhatian khususnya pemerintah lantaran pada September 2014-Maret 2015,
menurut data BPS, terdapat tambahan 860.000 orang miskin di Indonesia.
Kenaikan tersebut karena jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan bertambah
besar dari 27,73 juta orang (10,96%) pada September 2014 menjadi 28,59 juta
(11,22%) di Maret 2015.
Banyak kalangan memperkirakan
jumlah penduduk di bawah garis kemiskinanpada survey BPS per September 2015
akan bertambah banyak akibat bencana kabut asap yang melanda sejumlah wilayah
di Sumatera dan Kalimantan. Data lain menunjukkan tren kesenjangan masih akan
menjadi tantangan besar bagi perekonomian kita.
Misalnya, angka tingkat
pengangguran terbuka (TPK) pada Agustus 2015 yang meningkat menjadi 6,18%
lebih tinggi dibandingkan dengan posisi Agustus 2014 yang mencapai 5,94%.
Tantangan kedua lebih berasal dari eksternal, yaitu kenaikan suku bunga The
Fed yang diperkirakan banyak analis akan diputuskan dalam rapat gubernur bank
sentral Amerika Serikat, 15-16 Desember 2015.
Banyak analis memperkirakan The
Fed akan menaikkan suku bunga secara bertahap, dimulai dengan kenaikan 25
basis poin di bulan ini. Kenaikan suku bunga di AS membuat imbal hasil
investasi portofolio di AS menjadi lebih menarik seiring berakhirnya
likuiditas melimpah akibat program pembelian aset oleh The Fed dalam jumlah
besar.
Salah satu risiko yang dihadapi
oleh banyak negara berkembang dan emerging
adalah pembalikan modal (capital outflow)
dalam jumlah besar dari pasar modal dan pasar keuangan yang berakibat
melemahnya nilai tukar mata uang di banyak negara. Bagi Indonesia, tekanan
keluarnya modal asing tecermin dari beberapa indikator, misalnya nilai tukar
mata uang rupiah yang terdepresiasi terhadap dolar AS, turunnya cadangan
devisa, dan melemahnya IHSG.
Hal ini juga terjadi di sejumlah
negara emerging lain seperti Brasil, Rusia, Afrika Selatan, Malaysia, dan
Thailand. Meskipun sinyal naiknya suku bunga di Amerika Serikat akan
dilakukan secara bertahap, perilaku investor mengonsolidasi aset di luar
negeri dan pengalihan investasi ke dolar AS di tengah melemahnya harga minyak
mentah dunia membuat permintaan terhadap dolar AS semakin tinggi.
Hal ini belum memperhitungkan
kebutuhan dolar AS untuk keperluan impor dan cicilan pelunasan utang luar
negeri, yang membuat nilai tukar mata uang di banyak negara akan mengalami
tekanan dalam beberapa waktu ke depan. Nilai tukar rupiah berfluktuasi dan
berada di level Rp14.000/dolar AS pada perdagangan minggu lalu. Otoritas
moneter (BI) dan fiskal (pemerintah) akan sangat disibukkan dengan kedua isu
di atas.
Di satu sisi persoalan
kesenjangan, kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja; di sisi lain bagaimana
respons kebijakan terhadap rencana kenaikan suku bunga The Fed. Salah satu
kunci titik temu antara kedua otoritas terkait dengan hal ini adalah bagaimana
sektor moneter dapat membantu bergeraknya sektor riil dan kebijakan fiskal
juga turut menguatkan stabilitas sistem keuangan nasional.
Kebijakan suku bunga Bank
Indonesia (BI Rate) perlu melihat dua aspek sekaligus, yaitu sisi moneter
serta stabilitas pasar keuangan dan dapat mendorong bergeraknya sektor riil
di Tanah Air yang mengalami perlambatan di sepanjang tahun 2015.
Dari sisi lain, pemerintah juga
memiliki andil sangat besar terhadap stabilitas pasar keuangan seperti
pengaturan hedging utang luar negeri
BUMN yang telah dilakukan, diversifikasi portofolio penerbitan Surat Berharga
Negara (SBN), mendorong ekspor serta sektor lain untuk menambah devisa.
Apa pun kebijakan yang akan
ditempuh baik oleh BI, OJK, LPS maupun pemerintah akan semakin membutuhkan
keterpaduan antarlembaga. Di tengah situasi perekonomian dunia yang masih
belum dapat dipastikan arahnya setelah kenaikan suku bunga The Fed, para
pelaku usaha dan konsumen nasional semakin membutuhkan arah kebijakan
nasional yang jelas dan terpadu.
Selain faktor ketidakpastian
kondisi luar negeri, kita juga akan masih menghadapi sejumlah agenda
pembangunan terkait dengan upaya pemerataan pembangunan nasional, memajukan
kawasan timur Indonesia, mengefektifkan dana transfer ke daerah dan dana
desa, penguatan konsumsi dalam negeri, serta realisasi pembangunan
infrastruktur.
Soliditas kebijakan antar otoritas
semakin diperlukan dan silang pendapat di ruang publik perlu dihindari agar
tidak muncul kebingungan serta dapat menurunkan optimisme para pelaku usaha
dan konsumen dalam negeri menghadapi tahun 2016. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar