Minggu, 06 September 2015

Membangun Jaringan KA yang Andal

Membangun Jaringan KA yang Andal

Saratri Wilonoyudho  ;  Guru Besar Universitas Negeri Semarang
                                                     KOMPAS, 04 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berita Kompas edisi 10 Agustus 2015 dengan judul ”Daerah Ikut Bangun KA” sangat menggembirakan. Sampai saat ini, orang juga banyak bertanya, mengapa membangun jaringan jalan tol begitu mudahnya. Hal sebaliknya, bila membangun jaringan kereta api, utamanya di Jawa?

Padahal, kata para ahli, biaya pembangunan jalan tol puluhan kali lipat dibandingkan membangun rel kereta api (KA). Apalagi, Jawa sudah penuh sesak dengan lebih dari 100 juta jiwa penghuninya. Padahal, luas Jawa hanya 8 persen dari luas Indonesia.

Tidak hanya soal teknis yang harus diperhatikan jika membangun jaringan jalan KA, tetapi faktor manusia juga harus dibenahi. Banyak pihak mengatakan, pelayanan dan berbagai kecelakaan KA sering terjadi lebih karena faktor human error, kesalahan manusia.

Faktor inilah yang telah diperhatikan oleh Ignasius Jonan, Dirut PT Kereta Api Indonesia (KAI) kala itu. Faktor sumber daya manusia ataupun human error bisa jadi juga buah dari manajemen atau kesalahan sistemik. Orang bisa menyebut soal besarnya gaji sampai masalah kesejahteraan lain. Atau, sudahkah dalam setiap penerimaan pegawai PT KAI—apalagi masinis—ada tes psikologis yang sangat ketat? Kemudian, jika mereka sudah menjadi pegawai PT KAI, adakah pendekatan secara manusiawi dari hati ke hati terhadap para masinis dan kru KA lainnya?

Sederhana saja, menurut Djoko Setijowarno dari Pusat Studi Transportasi Unika Soegijapranata, Semarang, di tubuh PT KAI terjadi krisis sumber daya manusia masinis KA. Menurut hasil penelitiannya terhadap 50 masinis di PT KA Daerah Operasi IV, hanya 10 orang yang memenuhi syarat, sisanya disarankan untuk tidak memilih pekerjaan sebagai masinis (Kompas, 18 April 2006).

Ini memang kondisi sekitar 10 tahun silam. Masalahnya, sudahkah hasil penelitian tersebut dijadikan bahan masukan yang berarti bagi PT KAI?

Faktor motivasi kerja, profesionalitas, dan disiplin kerja tentu banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Sebutlah seperti sarana dan prasarana kereta api dan peralatan lain yang dimiliki PT KAI, tingkat kesejahteraan para masinis dan kru lain, serta sistem manajemen yang baik.

Namun, dari kacamata psikologis-ekonomis, dapat dikatakan bahwa prestasi kerja (dalam hal ini para operator dan masinis KA) banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni kondisi fisik dan mental, imbalan yang diterima, dan kemudahan serta motivasi kerja.
Operator dan masinis KA adalah sosok penting yang memengaruhi kelancaran perjalanan KA. Mereka menanggung beban tanggung jawab yang sangat besar karena membawa ribuan penumpang. Kalau mereka bekerja tidak optimal, sudah pasti nyawa para penumpang bagai di ujung tanduk.

Demikian pula para penjaga pintu lintasan KA yang harus bekerja siang-malam di tengah persimpangan jalan. Mereka berada di tengah-tengah tumpahan polusi dan kepadatan lalu lintas yang bisa membuat pening dan stres karena kebisingan.

Reformasi perkeretaapian

Arah dan sasaran reformasi perkeretaapian harus dikedepankan dengan jalan menata kembali struktur yang mengarah pada kompetisi dan keikutsertaan swasta, yang berujung pada penataan sistem bisnis perkeretaapian juga harus mendapat perhatian penuh. Misalnya, dengan tegas menetapkannya melalui kebijakan yang terbuka dan penyertaan modal.

Dari reformasi tersebut diharapkan dapat dicari masinis, kondektur, dan penjaga pintu lintasan KA yang profesional dengan gaji yang tinggi dan—tentu saja—menata manajemen yang andal. Tujuannya adalah upaya mengurangi kecelakaan dan menambah kenyamanan.

Pemerintah juga harus konsekuen jika masih ”monopoli” dengan dukungan kebijakan finansial, subsidi, teknologi, dan mutu SDM yang mengelolanya. Jika kereta api bisa tumbuh di banyak daerah, harus diperhatikan pula agar infrastruktur dan jasa pelayanannya dapat menjadi bagian integral dari ekonomi makro nasional atau paling tidak ekonomi regional.

Diperhatikan pula pembangunan jalur railway system yang terintegrasi di Indonesia. Setidaknya untuk Jawa—termasuk Jabotabek—agar mampu menciptakan ekonomi baru yang lebih mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat. Jadi, peningkatan jumlah jaringan jalan KA yang menurun hampir 40 persen dari 6.000 jaringan jadi sekitar 4.000 jaringan harus segera diatasi.

Selanjutnya, ubah pola pikir masyarakat berikut data perbandingan antarmoda transportasi dan tingkat efisiensi dari segi daya angkut serta dimensi. Satu rangkaian kereta api penumpang berkapasitas 1.500 orang, satu mobil berkapasitas 3-4 orang. Jadi, satu rangkaian kereta penumpang setara dengan 300 mobil.

Dari sisi penghematan bahan bakar, KA jelas lebih unggul. Jika satu mobil dengan kapasitas 3-4 orang perlu 1 liter bahan bakar minyak (BBM) per 15 kilometer, kebutuhan bahan bakarnya sekitar 0,2 liter per orang per km. Sementara satu bus berkapasitas 50-120 orang jika untuk jarak tempuh 3-5 km membutuhkan 1 liter BBM berarti butuh bahan bakar untuk satu orang setara 0,0125 liter per km. Sebaliknya, satu rangkaian kereta api dengan kapasitas 1.500 orang membutuhkan bahan bakar sekitar 3 liter per km. Artinya, kebutuhan bahan bakar per orang untuk perjalanan kereta api hanya 0,002 liter per km.

Belum lagi soal polusi dan kemacetan lalu lintas. Karena itu, jika jalan tol terus dibangun, sementara jaringan KA diabaikan, masalah tersebut akan makin gawat. Kesimpulannya, berita Kompas tersebut amat menggembirakan jika semua kepala daerah juga ikut mendukung pengembangan moda transportasi KA ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar