Membangun Jaringan KA yang Andal
Saratri Wilonoyudho ; Guru Besar Universitas Negeri Semarang
|
KOMPAS,
04 September 2015
Berita Kompas edisi 10 Agustus 2015 dengan judul ”Daerah Ikut
Bangun KA” sangat menggembirakan. Sampai saat ini, orang juga banyak
bertanya, mengapa membangun jaringan jalan tol begitu mudahnya. Hal
sebaliknya, bila membangun jaringan kereta api, utamanya di Jawa?
Padahal, kata para ahli, biaya pembangunan jalan tol puluhan
kali lipat dibandingkan membangun rel kereta api (KA). Apalagi, Jawa sudah
penuh sesak dengan lebih dari 100 juta jiwa penghuninya. Padahal, luas Jawa
hanya 8 persen dari luas Indonesia.
Tidak hanya soal teknis yang harus diperhatikan jika membangun
jaringan jalan KA, tetapi faktor manusia juga harus dibenahi. Banyak pihak
mengatakan, pelayanan dan berbagai kecelakaan KA sering terjadi lebih karena
faktor human error, kesalahan manusia.
Faktor inilah yang telah diperhatikan oleh Ignasius Jonan, Dirut
PT Kereta Api Indonesia (KAI) kala itu. Faktor sumber daya manusia ataupun
human error bisa jadi juga buah dari manajemen atau kesalahan sistemik. Orang
bisa menyebut soal besarnya gaji sampai masalah kesejahteraan lain. Atau,
sudahkah dalam setiap penerimaan pegawai PT KAI—apalagi masinis—ada tes
psikologis yang sangat ketat? Kemudian, jika mereka sudah menjadi pegawai PT
KAI, adakah pendekatan secara manusiawi dari hati ke hati terhadap para
masinis dan kru KA lainnya?
Sederhana saja, menurut Djoko Setijowarno dari Pusat Studi
Transportasi Unika Soegijapranata, Semarang, di tubuh PT KAI terjadi krisis
sumber daya manusia masinis KA. Menurut hasil penelitiannya terhadap 50
masinis di PT KA Daerah Operasi IV, hanya 10 orang yang memenuhi syarat,
sisanya disarankan untuk tidak memilih pekerjaan sebagai masinis (Kompas, 18
April 2006).
Ini memang kondisi sekitar 10 tahun silam. Masalahnya, sudahkah
hasil penelitian tersebut dijadikan bahan masukan yang berarti bagi PT KAI?
Faktor motivasi kerja, profesionalitas, dan disiplin kerja tentu
banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Sebutlah seperti sarana dan
prasarana kereta api dan peralatan lain yang dimiliki PT KAI, tingkat
kesejahteraan para masinis dan kru lain, serta sistem manajemen yang baik.
Namun, dari kacamata psikologis-ekonomis, dapat dikatakan bahwa
prestasi kerja (dalam hal ini para operator dan masinis KA) banyak
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni kondisi fisik dan mental, imbalan
yang diterima, dan kemudahan serta motivasi kerja.
Operator dan masinis KA adalah sosok penting yang memengaruhi
kelancaran perjalanan KA. Mereka menanggung beban tanggung jawab yang sangat
besar karena membawa ribuan penumpang. Kalau mereka bekerja tidak optimal,
sudah pasti nyawa para penumpang bagai di ujung tanduk.
Demikian pula para penjaga pintu lintasan KA yang harus bekerja
siang-malam di tengah persimpangan jalan. Mereka berada di tengah-tengah
tumpahan polusi dan kepadatan lalu lintas yang bisa membuat pening dan stres
karena kebisingan.
Reformasi
perkeretaapian
Arah dan sasaran reformasi perkeretaapian harus dikedepankan
dengan jalan menata kembali struktur yang mengarah pada kompetisi dan
keikutsertaan swasta, yang berujung pada penataan sistem bisnis
perkeretaapian juga harus mendapat perhatian penuh. Misalnya, dengan tegas
menetapkannya melalui kebijakan yang terbuka dan penyertaan modal.
Dari reformasi tersebut diharapkan dapat dicari masinis,
kondektur, dan penjaga pintu lintasan KA yang profesional dengan gaji yang
tinggi dan—tentu saja—menata manajemen yang andal. Tujuannya adalah upaya
mengurangi kecelakaan dan menambah kenyamanan.
Pemerintah juga harus konsekuen jika masih ”monopoli” dengan
dukungan kebijakan finansial, subsidi, teknologi, dan mutu SDM yang
mengelolanya. Jika kereta api bisa tumbuh di banyak daerah, harus diperhatikan
pula agar infrastruktur dan jasa pelayanannya dapat menjadi bagian integral
dari ekonomi makro nasional atau paling tidak ekonomi regional.
Diperhatikan pula pembangunan jalur railway system yang terintegrasi di Indonesia. Setidaknya untuk
Jawa—termasuk Jabotabek—agar mampu menciptakan ekonomi baru yang lebih
mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat. Jadi, peningkatan jumlah jaringan jalan
KA yang menurun hampir 40 persen dari 6.000 jaringan jadi sekitar 4.000
jaringan harus segera diatasi.
Selanjutnya, ubah pola pikir masyarakat berikut data
perbandingan antarmoda transportasi dan tingkat efisiensi dari segi daya
angkut serta dimensi. Satu rangkaian kereta api penumpang berkapasitas 1.500
orang, satu mobil berkapasitas 3-4 orang. Jadi, satu rangkaian kereta
penumpang setara dengan 300 mobil.
Dari sisi penghematan bahan bakar, KA jelas lebih unggul. Jika
satu mobil dengan kapasitas 3-4 orang perlu 1 liter bahan bakar minyak (BBM)
per 15 kilometer, kebutuhan bahan bakarnya sekitar 0,2 liter per orang per
km. Sementara satu bus berkapasitas 50-120 orang jika untuk jarak tempuh 3-5
km membutuhkan 1 liter BBM berarti butuh bahan bakar untuk satu orang setara 0,0125
liter per km. Sebaliknya, satu rangkaian kereta api dengan kapasitas 1.500
orang membutuhkan bahan bakar sekitar 3 liter per km. Artinya, kebutuhan
bahan bakar per orang untuk perjalanan kereta api hanya 0,002 liter per km.
Belum lagi soal polusi dan kemacetan lalu lintas. Karena itu,
jika jalan tol terus dibangun, sementara jaringan KA diabaikan, masalah
tersebut akan makin gawat. Kesimpulannya, berita Kompas tersebut amat
menggembirakan jika semua kepala daerah juga ikut mendukung pengembangan moda
transportasi KA ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar