Memberantas
Terorisme Azyumardi Azra ; Profesor Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Jakarta; Anggota AIPI |
KOMPAS,
08 April
2021
Terorisme agaknya lebih daripada sekadar
bertahan di Indonesia. Data dan indikator menunjukkan, organisasi, kelompok,
dan sel terorisme masih sangat aktif menggalang kekuatan serta melakukan aksi
terorisme. Fenomena ini terlihat dari beberapa aksi terorisme belakangan ini
yang terjadi dalam waktu hanya selang beberapa hari saja. Pertama, teror bom
di gerbang Katedral Makassar, Sulawesi
Selatan, Minggu (28/3/2021). Dalam aksi teror, pembawa bom, L, yang
mengendarai motor, tewas beserta istrinya, YSF. Mereka pengantin baru yang
menikah sekitar enam bulan lalu, termasuk generasi milenial, kelahiran
pertengahan 1990-an. Aksi teror kedua adalah penyusupan terduga
teroris ke Mabes Polri di Jakarta, Rabu (31/3/2021). Penyusup perempuan muda,
ZA (26), mondar-mandir mengacungkan air gun
ke beberapa anggota Polri di pos penjagaan. Akhirnya ZA, termasuk
generasi milenial, tewas ditembak aparat Polri. Apakah sekadar kebetulan ataukah pemilihan
waktu itu disengaja oleh terduga
teroris? Kedua aksi teror terjadi pada saat umat beragama menuju kenaikan
rohani; Tri Hari Suci umat Kristiani
dan Nisfu Syakban—separuh Syakban atau dua pekan menuju puasa Ramadhan. Masih meruyaknya kelompok dan sel terorisme
boleh jadi agak mengherankan. Alasannya sederhana: banyak perkembangan tidak
lagi terlalu kondusif sebagai sumber
ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Faktor pertama, surutnya ISIS (Negara Islam
di Irak dan Suriah/NIIS), Al Qaeda,
dan kelompok teroris lain di Timur Tengah. Sejak 2017, misalnya, NIIS sebagai
lokus kesetiaan banyak teroris di seluruh dunia telah kehilangan sekitar 75
persen wilayah yang pernah dikuasainya. NIIS dan organisasi teroris lain juga
kehilangan banyak pemimpinnya. Akibatnya, hubungan efektif tidak lagi
berjalan antara NIIS, misalnya, dengan organisasi, kelompok, dan sel teroris
di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, kedatangan ke markas NIIS dan
hubungan komunikasi langsung di antara mereka tidak lagi terlalu perlu, kini
tergantikan dengan baiat melalui media
sosial. Dengan perubahan jaringan komunikasi, terjadilah proses ”indigenisasi”
dan ”independenisasi” organisasi, kelompok,
dan sel terorisme di Indonesia. Akibatnya, peruyakannya semakin sulit
dikontrol pemerintah dan aparat keamanan. Masih terus meluasnya sel terorisme yang
melakukan aksi teror memperlihatkan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia
belum berhasil memberantas terorisme. Padahal, Detasemen Khusus (Densus) 88
Antiteror Polri (dibentuk 2004) sering
dipuji institusi pemberantas terorisme negara lain dan pengamat asing sebagai
”paling berhasil” menanggulangi terorisme di Indonesia. Meski Densus 88 tampak tidak pernah
mengendurkan pelacakan dan penangkapan terduga teroris, jumlah mereka
kelihatan terus meruyak. Kesan publik adalah ”semakin banyak jaringan terduga
teroris terbongkar dan ditangkap, lebih banyak lagi yang masih bergerak di
bawah tanah”. Lihatlah, sepanjang 90 hari sejak awal
Januari sampai akhir Maret 2021, sebanyak 94 terduga teroris ditangkap Densus
88 di sejumlah tempat. Sedikit mundur, sejak 2018, ada 1.173 terduga teroris
diringkus. Tidak diketahui pasti dalam semua penangkapan itu berapa jumlah
yang tewas dari pihak terduga teroris, polisi, dan warga sipil. Selain Densus 88, juga ada Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang melakukan banyak kegiatan penanganan
terorisme; preventif di lingkungan kelompok masyarakat, kuratif untuk
narapidana terorisme (napiter) dan mantan napiter. BNPT bekerja sama dengan
lebih dari 30 kementerian/lembaga pemerintah dalam menjalankan program
deradikalisasi dan kontra-radikalisme. Dengan masih meruyaknya aksi teror perlu
evaluasi guna peningkatan efektivitas Densus 88 dan BNPT dalam pemberantasan
terorisme. Boleh jadi pendekatan dan
cara yang diterapkan sudah ”ketinggalan zaman” mengingat perubahan karakter
sel terorisme. Karena itu, diperlukan reformulasi dan rejuvenasi. Selain itu, perlu ada penilaian ulang
efektivitas dan efikasi tiga regulasi dalam
pemberantasan terorisme. Pertama, UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme. UU ini lebih rinci,
lebih spesifik, lebih tegas, dan lebih keras daripada UU Nomor 15 Tahun
2003 yang telah direvisi. Regulasi kedua adalah UU Nomor 2 Tahun 2017
tentang Ormas sebagai adopsi Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang ”membatalkan” UU
No 17 Tahun 2013. UU No 2/2017 potensial dapat mencegah ormas ekstrem
anti-Pancasila dan anti-NKRI terjerumus ke terorisme. Regulasi ketiga, Peraturan Presiden Nomor 7
Tahun 2021 tentang Rencana Aksi
Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan.
Perpres RAN-PE diharapkan dapat meredam ideologi dan praksis ekstrem mengarah
ke radikalisme dan terorisme menjadi kerangka praksis pencegahan terorisme. Ketiga regulasi ini sebenarnya cukup
lengkap untuk pencegahan dan pemberantasan terorisme. Namun, ketiga regulasi itu seolah ”macan ompong”
yang tidak membuat keder orang agar mereka tidak terpengaruh atau tergoda
menempuh ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Oleh karena itu, pemberantasan terorisme
memerlukan lebih dari regulasi. Hal yang diperlukan tak cuma ketentuan hukum,
tetapi juga lingkungan politik, sosial-budaya, ekonomi, psikologi-sosial, dan
agama yang lebih kondusif guna mencegah warga terjerumus dalam ekstremisme,
radikalisme, dan terorisme. Misalnya, memang kemiskinan tak selalu
berkorelasi positif dengan meluasnya terorisme. Namun, sistem dan praksis ekonomi yang pincang dan
tidak adil meningkatkan kemarahan sebagian warga yang dapat menjerumuskan
mereka dalam ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Perlu usaha benar-benar
serius, bukan gimik, untuk membangun keadilan ekonomi dan sosial. Begitu juga ekses sistem dan praktik
politik semacam demokrasi. Kegaduhan politik berkepanjangan, korupsi yang tak
pernah surut, oligarki dinasti yang terus meningkat, ibarat pembakar kalangan
warga sehingga menjadi aspiran terorisme. Karena itu, perlu keseriusan
membenahi demokrasi Indonesia. Elite politik dalam lembaga eksekutif,
legislatif, legislatif, partai politik, aparat keamanan (Polri dan TNI) dan
elite di media massa, ormas, dan kampus perlu membangun sikap saling percaya.
Ini penting karena terkait terorisme, psikologi ketidakpercayaan dan
mentalitas konspiratif terus meningkat di
masyarakat. Tak kurang pentingnya terkait agama. Jelas
tidak lagi cukup kutukan dan kecaman atau pernyataan ”terorisme tak terkait
agama”. Para pemimpin agama patut mereformasi pemahaman dan praksis agama
yang dijadikan dasar kaum ekstremis, radikalis, dan teroris melakukan kekerasan. Pemahaman dan praksis agama yang telah
diperbarui bisa disosialisasikan
melintasi media penyiaran atau dakwah konvensional. Dakwah lewat media
sosial dan pendekatan personal empati bisa efektif memenangkan hati dan
menenteramkan warga yang bisa dengan
mudah bertindak atas nama agama. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar