Ketika
Terorisme Mengincar Perempuan Leebarty Taskarina ; Mahasiswa Doktoral di Program Studi
Kriminologi UI |
KOMPAS,
08 April
2021
Beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh
dua peristiwa teror, yakni pengeboman Gereja Katedral di Makassar, Sulawesi
Selatan, yang dilakukan oleh satu pasangan suami-istri, dan upaya teror yang
dilakukan oleh seorang perempuan bersenjata air gun di Markas Besar
Kepolisian RI, Jakarta. Meski keterlibatan perempuan dalam aksi
terorisme di Indonesia sudah terjadi sejak 2010, keterlibatan perempuan
selalu memberi kejutan tersendiri. Pertanyaannya, apakah perempuan memang
sungguh-sungguh berperan sebagai pelaku utama aksi teror? Dinamika terorisme di Indonesia senantiasa
berkorelasi erat dengan perkembangan terorisme global, termasuk dalam hal
keterlibatan perempuan. Kelompok Al Qaeda dan Jamaah Islamiyah (JI) secara
umum hanya memberi peran perempuan secara tidak sadar dan tidak sengaja
(involuntary), misalnya di bidang perbantuan, logistik, ataupun mencari
tempat persembunyian. Sementara Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS) atau Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) mengabaikan status dan
struktur, dan bahkan membuka kesempatan bagi perempuan untuk bergabung
(voluntary). Propaganda NIIS memberi ruang bagi perempuan untuk berada di
garis depan dalam ”perjuangan”. Semakin
meningkat Jika menilik pada tren setiap tahun,
keterlibatan perempuan dalam aktivitas terorisme di Indonesia semakin
meningkat. Berdasarkan data termutakhir Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT), sejak tahun 2010 hingga 2019 terdapat 20 eks-narapidana
terorisme perempuan. Sementara tahun 2020 terdapat lima
perempuan terduga pelaku tindak pidana terorisme yang masih dalam proses
penegakan hukum dan 12 narapidana terorisme perempuan yang masih menjalankan
hukuman di sembilan lembaga pemasyarakatan (lapas) perempuan di Indonesia. Tren keterlibatan perempuan tersebut tidak
terlepas dari narasi dan amplifikasi kekerasan yang bergaung di ruang publik
selama ini. Hal tersebut, misalnya, tecermin dalam surat-surat yang
ditinggalkan oleh pelaku sebelum melancarkan aksi, yang memuat glorifikasi
narasi kebencian terhadap pemerintah dan teks-teks keagamaan yang fanatik. Yang dimaksud amplifikasi adalah perluasan
pesan baik dalam aspek jumlah, kepentingan, dan sebagainya. Dalam konteks
kekerasan, amplifikasi merujuk pada tindakan yang bermula dari sebuah gagasan
kebencian yang kemudian difasilitasi oleh medium tertentu, seperti teks-teks
keagamaan, perkumpulan kelompok yang tertutup dan memiliki tujuan serupa,
yang semuanya menjadi penghubung terjadinya tindakan kekerasan. Salah satu yang berperan dalam tahapan
amplifikasi kekerasan tersebut adalah kelompok intoleransi. Meski penyidikan
masih berjalan, ada indikasi kelompok intoleransi yang turut terlibat dalam
sejumlah penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror Kepolisian RI
(Polri). Dalam konteks ini, amplifikasi kekerasan
yang melibatkan kelompok intoleransi telah mendorong pola aksi kekerasan
lebih besar yang menyerupai kelompok teroris. Kekerasan merupakan instrumen krusial dari
terorisme. Hal itu dapat bermula dari benih kebencian yang sebelumnya hanya
berada di dalam pikiran seseorang, kemudian mendapatkan legitimasi untuk
menerapkannya dalam sebuah aksi teror. Tindakan teror inilah yang kemudian
dapat membahayakan orang lain karena menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Narasi-narasi yang membenarkan kekerasan
untuk mencapai suatu tujuan telah menjadi pijakan awal aksi terorisme.
Catatan pentingnya, baik kelompok intoleransi, radikal, ekstremis, maupun
kelompok teror, semuanya menggunakan narasi serupa dan menyulut agresi di
kalangan audiensnya. Dalam hal inilah perempuan menjadi sasaran
audiens dari narasi dan amplifikasi kekerasan tersebut. Narasi-narasi itu, antara lain, ”Menikahi
mujahid sebagai awal perjuangan”, ”jadilah mujahidah, maka dosa masa lalu
terampuni”. Narasi itu menjustifikasi bahwa perempuan juga memiliki kewajiban
untuk bertempur dan melakukan kekerasan, serta bonus terhapusnya dosa masa
lalu. Narasi itu lantas membuat perempuan
mengalami apa yang disebut self-radicalized, terlepas narasi itu didapatkan
langsung dari kelompok atau media sosial. Terlebih, setelah menyaksikan role
model perempuan yang melakukan aksi terorisme, perempuan lain yang
teradikalisasi akan menganggap normal hal tersebut dan menirunya (Shapiro
& Maras, 2019). Dalam hal menerima informasi, regulasi
emosi perempuan menurut Crawford, Kippax, Onyx, Gault, and Benton (1992)
cenderung lebih ekspresif ketika emosinya tidak stabil dan ada pada situasi
yang tidak mereka harapkan. Oleh karena itu, narasi yang mereka baca, dengar
dan pemahaman teks-teks yang kaku dalam intensitas yang lama dan dikonstruksikan
dengan situasi politik dan ekonomi dapat memunculkan ekspresi lebih aktif
pada perempuan. ”Designated
victim” Beberapa penelitian menyebutkan, kelompok
teror selalu diuntungkan dengan adanya keterlibatan perempuan. Bukan hanya
sebagai perekrut sel, melainkan sebagai sel propaganda gratis yang dapat
mengembangkan jaringan tanpa diduga layaknya anggota teroris laki-laki. Hal
ini disebut Cragin dan Daly (2009) sebagai ”feminine wiles” (tipu muslihat
perempuan), seperti tidak mudah dicurigai dan lebih mudah melewati para
petugas keamanan. Oleh karenanya, pelibatan perempuan dalam
aksi terorisme lebih mudah untuk dijadikan obyek kamuflase untuk melancarkan
aksi mereka. Selain itu, aksi terorisme tunggal (lone
wolf) yang melibatkan perempuan (female lone wolf), juga sulit untuk dicegah
mengingat anonimitas individu yang mempertahankan hubungan terbatas, memiliki
tujuan pribadi, dan lebih sulit untuk dideteksi melalui intelijen karena
terbatasnya komunikasi dengan orang lain. Secara strategis, pelibatan perempuan dalam
terorisme dapat diulas dari perspektif designated victim, istilah yang
diambil dari judul film Italia bergenre thriller tahun 1971 yang disutradarai
oleh Maurizio Lucidi. Istilah designated victim atau ”korban yang
didesain” ini serupa dengan kajian non-conventional victimology, yaitu
tentang relasi kuasa yang timpang dan viktimisasi yang dapat berupa nonfisik,
bahkan kasat mata. Seperti kasus yang melibatkan perempuan
YSF, pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar. YSF melakukan bom
bunuh diri bersama L, suaminya yang baru saja menikahinya enam bulan
sebelumnya. Pernikahan tersebut telah menempatkan YSF sebagai seorang istri
yang dinilai lebih mudah untuk patuh terhadap suami serta lebih mudah untuk
didoktrin agar memperkuat keinginannya menjadi martir dalam aksi terorisme. Pernikahan tersebut didesain dengan sengaja
untuk menyatukan YSF dan L sehingga koordinasi keduanya dan jaringan teror
yang memegang kendali atas mereka menjadi lebih aman. Begitu juga dengan ZA dalam kasus upaya
teror di Mabes Polri, yang meski terlihat random tetapi narasi yang
disebarkan memang ditujukan untuk mendesain korban berikutnya. Jadi tidak
sekadar untuk mempertontonkan aksinya sebagai pelaku. Perempuan dalam konteks terorisme telah
ditunjuk dengan sengaja dan ditempatkan sedemikian rupa untuk menjadi aktor
atau garda terdepan dalam aktivitas terorisme (designated victim). Dengan
demikian, sejatinya mereka adalah korban dari amplifikasi narasi-narasi
kekerasan yang telah dikemas dalam teks keagamaan yang menyimpang. Narasi yang seolah-olah memberikan ruang
bagi perempuan mengaktualisasikan diri sebagai ”perempuan ideal yang terlibat
dalam perjuangan melawan ketidakadilan atas nama agama”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar