Persamuhan
Kopi Anas Syahrul Alimi ; Ketua
Bidang Jaringan dan Pengembangan Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI),
CEO Prambanan Jazz Festival |
KOMPAS,
11 April
2021
Lampu kafe satu demi satu mulai dinyalakan
setelah tertutupi awan gelap pandemi. Suara-suara musik mulai dihidupkan.
Anda tahu, ada ribuan band yang menyandarkan nasibnya pada redup-terangnya
ruang kafe. Dari alam ketakutan, terbitlah kini alam
durability di mana kita menata ulang daya tahan hidup kita dengan segala pola
baru. Kini, saya bisa masuk lagi ke kafe dengan cara baru, tetapi tetap
dengan selera lama: memesan kopi hitam sembari merenungkan jagat raya. Seperti itulah saya awalnya membayangkan
hubungan hidup dan kafe atau kedai saat membaca karya-karya terjemahan Naguib
Mahfouz yang diterbitkan Yayasan Obor Indonesia belasan tahun silam. Bacalah Lorong Miqdad yang berkisah soal
pasar dan kedai! Di novel tipis itu, kedai itu ada. Pasar itu ada. Dan, Khan
El Khalili Restaurant & Naguib Mahfouz Cafe itu betul-betul nyata dan
menjadi salah satu wisata kuliner populer di Kairo yang disambangi turis
manca dari Eropa. Sebagai seorang penikmat kopi, kafe memang
membawa saya dalam dunia melankoli yang bersemangatkan soliter. Kopi itu
pahit dan kesendirian membikin yang pahit itu makin larut. Sungguh, kopi
bukan soal hura-hura, kedai bukan soal hore-hore. Kompas sudah memberitahu dengan sangat
detail soal itu saat menggelar “Jelajah Kopi Nusantara” selama tiga purnama
pada medio 2018. Membaca liputan itu secara bersambung membikin roda dunia
saya melambat sejenak. Menyusup getir di sana, kegamangan, juga sekaligus
kebanggaan dan melankoli. Dari sana, kita tahu ini negeri produsen kopi
terbesar ke-4, tetapi selalu terlempar dari persaingan dagang dunia saat
membicarakan ekspor dan inovasi. Lelangut itu mirip dengan roman penting
Multatuli yang terbit pertama kali pada 1860, Max Havelaar. Baca baik-baik
subjudul roman yang mempengaruhi Kartini, Tirto Adhi Soerjo, hingga Pramoedya
Ananta Toer itu: “Of de koffij-veilingen der Nederlandsche
Handel-Maatschappij”. Soal kopi, persamuhan, cinta, derita tani, perbudakan,
dan koloni dagang internasional. Begitulah, saat tubuh saya hidup dari kafe
ke kafe, dari gelas kopi satu ke gelas kopi lainnya, saya menyesap nyaris
tandas semua narasi kopi-kopi Nusantara yang menjadi rempah hitam mengisi
kafe-kafe di dunia. Dari
Paris, Budapest, hingga Wina Pada kehidupan buku, saat saya menerbitkan
buku bertema filsafat dari Paris di dekade awal milenium, bayangan saya atas
sepasang kekasih-pikiran, Jean Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, adalah
perjumpaan keduanya yang intens di kedai kopi. Perjumpaan atas keduanya dalam konteks kafe
justru saat lakoni saya mengurusi musik untuk pertunjukan yang saya kelola.
Jejak mereka saya ziarahi di kedai di mana mereka puluhan tahun silam
mencipta dan memikirkan dunia manusia dari benua yang biru. Jika musik adalah pekerjaan, mengunjungi
kafe-kafe bersejarah adalah sebuah melankoli dengan segala ketakziman.
Melankoli itulah yang saya rasakan saat melangkahkan kaki mendorong pintu
kafe Les Deux Magots di Paris. Pikiran saya berkelana ke nama-nama yang saya
sebutkan tadi. Bukan sekadar sebut, melainkan karya mereka saya pernah
terbitkan. Termasuk, filsuf Albert Camus yang salah satu karyanya menjadi
buku penting dalam penerbitan saya, Pemberontak. Bisa jadi, di salah satu meja kafe inilah
Camus merumuskan zine-zine pembangkangannya dan melakukan rapat-rapat
revolusioner sambil menyesap kopi yang biji-bjinya dipasok kapal-kapal dari
Hindia via bandar laut Rotterdam. Sebagaimana di Yogya, perjalanan ke Eropa
dalam rangka pekerjaan musik, selalu saya sempatkan mencari kafe-kafe yang
menyimpan cerita yang jauh. Termasuk, saat di Budapest, Hongaria, saya mencari
kafe The New York Cafe yang secara historis menjadi kafe penting merancang
revolusi oleh aktivis-aktivis radikal. Di kafe ini, semuanya tetap
dipertahankan: arsitektural, interior, bahkan menu. Di London, kala mengurus para penampil
untuk Prambanan Jazz maupun konser-konser musik rock, tak lupa saya
membenamkan diri berjam-jam dalam Café Bar. Kafe ini ada dalam kompleks
London Royal Albert Hall yang merupakan salah satu situs paling bersejarah di
Kota London yang dibuka pertama kali Ratu Victoria pada dua dekade akhir abad
19. Di tempat ini pula pergelaran musik dari musisi besar diselenggarakan. Begitu pula saat bertandang ke Wina. Saya
mencari kafe Schwarzenberg yang menjadi halte bagi petinggi negara seperti
presiden untuk membicarakan politik kenegaraan. Kafe yang tumbuh dan melewati
masa pagebluk perang besar dunia ini bahkan tetap mempertahankan menu yang
diminum oleh tokoh-tokoh penting Wina dalam siklus sejarah mereka. Saya membayangkan kafe, atau warung kopi
dalam istilah yang lebih lokal, sebagai ruang historis yang penting. Misal,
kita bisa mencari di kedai mana pemuda Soekarno bercengkrama dengan sebayanya
sesama aktivis radikal di Bandung. Saya bayangkan Sukarno kerap berkunjung ke
Kopi Aroma milik Tan Houw Sian, kedai kopi yang masih bertahan sejak 1930,
yang letaknya sangat dekat dengan Penjara Banceuy, tempat ia ditahan dan
menulis pledoi Indonesia Menggugat. Atau, merekonstruksi di kedai kopi mana
kira-kira Wage Rudolf Soepratman ngamen saat tinggal di Bandung pada
pertengahan 1920-an? Ya, sejarah kafe adalah sejarah sejumlah
pekerjaan, mulai dari politik, ekonomi, hiburan, hingga kebudayaan. Dengan
kopi pahit, saya menabalkan kepercayaan bahwa setiap insani kreatif punya
kafe-kafe favorit di mana ia bertapa mengerami gagasan-gagasan kreatifnya.
Termasuk, menabalkan keyakinan dalam diri bahwa kita adalah bumi kopi yang
gemah ripah loh jinawi. Saya berharap kelak lahir kafe yang
dikenang-kenang sampai jauh, sebagaimana Cafe Central di Wina yang saya
kunjungi. Kafe yang dibuka sejak 1876 ini menjadi ruang persamuhan ahli-ahli,
termasuk nama besar dari dunia psikoanalisis seperti Sigmund Freud. Oh, ya,
salah satu buku penting Freud juga saya terbitkan pada 2001, Tafsir Mimpi. Saya menulis esai ini juga di sebuah kafe
yang baru menggeliat kembali. Letaknya berada di tengah segitiga antara Candi
Gebang, Candi Sambisari, dan Candi Kedulan. Usia ketiganya, seperti juga
Prambanan dan Ratu Boko yang jaraknya tidak terlalu jauh, sudah melewati satu
milenium, lebih sepuh dari kafe paling tua di Eropa sekali pun. Candi-candi itu dibangun pada kurun yang
sama dengan digubahnya Kakawin Ramayana, karya yang dianggap sebagai
adikakawin, karena bukan hanya yang pertama dan terpanjang, tapi juga paling
indah dari segi gaya bahasa dari periode Hindu-Jawa. Candi-candi itu, juga kafe-kafe tua di
Eropa itu, telah melewati berbagai pagebluk kecil dan besar. Kita tak tahu
bedanya pagebluk kecil dan besar karena pandemi ini saja, rasa-rasanya, sudah
luar biasa menikam. Namun, setidaknya, kita masih ada di sini, masih bisa
menyesap kopi, di kafe maupun di beranda rumah sendiri. Spesies kita mungkin belum setangguh kecoa
dalam mengarungi jutaan tahun proses evolusi. Namun, kita memang tidak
membutuhkan usia jutaan tahun ketika melewatkan satu pandemi saja rasanya
sudah menakjubkan. Mari bertahan beberapa saat lagi, kawan! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar