Jumat, 09 April 2021

 

Memberantas Terorisme

 Azyumardi Azra ; Profesor Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta; Anggota AIPI

                                                         KOMPAS, 08 April 2021

 

 

                                                           

Terorisme agaknya lebih daripada sekadar bertahan di Indonesia. Data dan indikator menunjukkan, organisasi, kelompok, dan sel terorisme masih sangat aktif menggalang kekuatan serta melakukan aksi terorisme.

 

Fenomena ini terlihat  dari beberapa aksi terorisme belakangan ini yang terjadi dalam waktu hanya selang beberapa hari saja. Pertama, teror bom di gerbang  Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021). Dalam aksi teror, pembawa bom, L, yang mengendarai motor, tewas beserta istrinya, YSF. Mereka pengantin baru yang menikah sekitar enam bulan lalu, termasuk generasi milenial, kelahiran pertengahan 1990-an.

 

Aksi teror kedua adalah penyusupan terduga teroris ke Mabes Polri di Jakarta, Rabu (31/3/2021). Penyusup perempuan muda, ZA (26), mondar-mandir mengacungkan air gun  ke beberapa anggota Polri di pos penjagaan. Akhirnya ZA, termasuk generasi milenial, tewas ditembak aparat Polri.

 

Apakah sekadar kebetulan ataukah pemilihan waktu itu disengaja oleh  terduga teroris? Kedua aksi teror terjadi pada saat umat beragama menuju kenaikan rohani;  Tri Hari Suci umat Kristiani dan Nisfu Syakban—separuh Syakban atau dua pekan menuju puasa Ramadhan.

 

Masih meruyaknya kelompok dan sel terorisme boleh jadi agak mengherankan. Alasannya sederhana: banyak perkembangan tidak lagi terlalu kondusif  sebagai sumber ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.

 

Faktor pertama, surutnya ISIS (Negara Islam di  Irak dan Suriah/NIIS), Al Qaeda, dan kelompok teroris lain di Timur Tengah. Sejak 2017, misalnya, NIIS sebagai lokus kesetiaan banyak teroris di seluruh dunia telah kehilangan sekitar 75 persen wilayah yang pernah dikuasainya. NIIS dan organisasi teroris lain juga kehilangan banyak pemimpinnya.

 

Akibatnya, hubungan efektif tidak lagi berjalan antara NIIS, misalnya, dengan organisasi, kelompok, dan sel teroris di banyak negara, termasuk Indonesia. Namun, kedatangan ke markas NIIS dan hubungan komunikasi langsung di antara mereka tidak lagi terlalu perlu, kini tergantikan dengan baiat melalui  media sosial. Dengan perubahan jaringan komunikasi, terjadilah proses ”indigenisasi” dan ”independenisasi” organisasi, kelompok,  dan sel terorisme di Indonesia. Akibatnya, peruyakannya semakin sulit dikontrol pemerintah dan aparat keamanan.

 

Masih terus meluasnya sel terorisme yang melakukan aksi teror memperlihatkan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia belum berhasil memberantas terorisme. Padahal, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror  Polri (dibentuk 2004) sering dipuji institusi pemberantas terorisme negara lain dan pengamat asing sebagai ”paling berhasil” menanggulangi terorisme di Indonesia.

 

Meski Densus 88 tampak tidak pernah mengendurkan pelacakan dan penangkapan terduga teroris, jumlah mereka kelihatan terus meruyak. Kesan publik adalah ”semakin banyak jaringan terduga teroris terbongkar dan ditangkap, lebih banyak lagi yang masih bergerak di bawah tanah”.

 

Lihatlah, sepanjang 90 hari sejak awal Januari sampai akhir Maret 2021, sebanyak 94 terduga teroris ditangkap Densus 88 di sejumlah tempat. Sedikit mundur, sejak 2018, ada 1.173 terduga teroris diringkus. Tidak diketahui pasti dalam semua penangkapan itu berapa jumlah yang tewas dari pihak terduga teroris, polisi, dan warga sipil.

 

Selain Densus 88, juga ada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang melakukan banyak kegiatan penanganan terorisme; preventif di lingkungan kelompok masyarakat, kuratif untuk narapidana terorisme (napiter) dan mantan napiter. BNPT bekerja sama dengan lebih dari 30 kementerian/lembaga pemerintah dalam menjalankan program deradikalisasi dan kontra-radikalisme.

 

Dengan masih meruyaknya aksi teror perlu evaluasi guna peningkatan efektivitas Densus 88 dan BNPT dalam pemberantasan terorisme. Boleh jadi  pendekatan dan cara yang diterapkan sudah ”ketinggalan zaman” mengingat perubahan karakter sel terorisme. Karena itu, diperlukan reformulasi dan rejuvenasi.

 

Selain itu, perlu ada penilaian ulang efektivitas dan efikasi tiga regulasi dalam  pemberantasan terorisme. Pertama, UU Nomor  5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU  ini lebih rinci, lebih spesifik, lebih tegas, dan lebih keras daripada UU Nomor 15 Tahun 2003  yang telah direvisi.

 

Regulasi kedua adalah UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas sebagai adopsi Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang ”membatalkan” UU No 17 Tahun 2013. UU No 2/2017 potensial dapat mencegah ormas ekstrem anti-Pancasila dan anti-NKRI terjerumus ke terorisme.

 

Regulasi ketiga, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun  2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan. Perpres RAN-PE diharapkan dapat meredam ideologi dan praksis ekstrem mengarah ke radikalisme dan terorisme menjadi kerangka praksis pencegahan terorisme.

 

Ketiga regulasi ini sebenarnya cukup lengkap untuk pencegahan dan pemberantasan terorisme. Namun,  ketiga regulasi itu seolah ”macan ompong” yang tidak membuat keder orang agar mereka tidak terpengaruh atau tergoda menempuh ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.

 

Oleh karena itu, pemberantasan terorisme memerlukan lebih dari regulasi. Hal yang diperlukan tak cuma ketentuan hukum, tetapi juga lingkungan politik, sosial-budaya, ekonomi, psikologi-sosial, dan agama yang lebih kondusif guna mencegah warga terjerumus dalam ekstremisme, radikalisme, dan terorisme.

 

Misalnya, memang kemiskinan tak selalu berkorelasi positif dengan meluasnya terorisme. Namun,  sistem dan praksis ekonomi yang pincang dan tidak adil meningkatkan kemarahan sebagian warga yang dapat menjerumuskan mereka dalam ekstremisme, radikalisme, dan terorisme. Perlu usaha benar-benar serius, bukan gimik, untuk membangun keadilan ekonomi dan sosial.

 

Begitu juga ekses sistem dan praktik politik semacam demokrasi. Kegaduhan politik berkepanjangan, korupsi yang tak pernah surut, oligarki dinasti yang terus meningkat, ibarat pembakar kalangan warga sehingga menjadi aspiran terorisme. Karena itu, perlu keseriusan membenahi demokrasi Indonesia.

 

Elite politik dalam lembaga eksekutif, legislatif, legislatif, partai politik, aparat keamanan (Polri dan TNI) dan elite di media massa, ormas, dan kampus perlu membangun sikap saling percaya. Ini penting karena terkait terorisme, psikologi ketidakpercayaan dan mentalitas konspiratif terus meningkat di  masyarakat.

 

Tak kurang pentingnya terkait agama. Jelas tidak lagi cukup kutukan dan kecaman atau pernyataan ”terorisme tak terkait agama”. Para pemimpin agama patut mereformasi pemahaman dan praksis agama yang dijadikan dasar kaum ekstremis, radikalis, dan teroris melakukan  kekerasan.

 

Pemahaman dan praksis agama yang telah diperbarui bisa disosialisasikan  melintasi media penyiaran atau dakwah konvensional. Dakwah lewat media sosial dan pendekatan personal empati bisa efektif memenangkan hati dan menenteramkan  warga yang bisa dengan mudah bertindak atas nama agama. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar