Teror
Milenial Alissa Wahid ; Aktivis
dalam Bidang Sosial dan Keagamaan |
KOMPAS,
11 April
2021
Serangan bom bunuh diri di Makassar dan
aksi teror di Mabes Polri pada Maret 2021 menyisakan diskusi krusial di ruang
publik tentang meningkatnya tren strategi aksi keluarga, juga tentang
kemunculan perempuan sebagai pelaku aksi teror. Demikian pula strategi aksi teror yang
dilakukan para lone wolves, pelaku aksi tunggal sebagaimana dilakukan ZA di
Mabes Polri. Aksi tunggal ini membuat aksi terorisme lebih sulit diprediksi
karena tidak ada jejak persiapan aksi yang dapat menjadi penanda. Jejak
konsolidasi jaringan teroris pun menjadi sulit terpetakan. Pembicaraan yang paling ramai tentu saja
terpusat pada soal usia pelaku aksi terorisme. Apabila aksi-aksi sebelumnya
lebih didominasi kelompok usia 30-an tahun ke atas, pelaku kedua aksi teror
pada Maret itu berkisar di usia 20-an tahun, dari generasi milenial. Keterlibatan aksi anak dan anak muda telah
muncul sejak kasus aksi bom bunuh diri keluarga Dita Oepriyanto di Surabaya,
yang melibatkan dua remaja dan dua anak. Namun, besar kemungkinan
keterlibatan ini lebih dipengaruhi relasi kuasa orangtua kepada anak-anak
tersebut ketimbang pada motivasi keyakinan ideologis. Ini terkuak dalam
liputan Amy Chew di media Channel News Asia yang melaporkan saksi mata
mengamati si anak remaja tampak galau berbincang dengan ayahnya di pagi hari
naas itu. Ini berbeda dengan aksi pasangan suami
istri Y dan L di Makassar serta ZA di Jakarta yang dilakukan dengan kesadaran
penuh. Dari surat wasiat yang ditinggalkan, baik Y maupun ZA menyatakan
dengan jelas bahwa aksi teror ini dilakukan karena keyakinan kuat untuk
berjihad demi mendapatkan hak masuk surga. Mereka memaknai jihad ini sebagai
kontribusi mereka untuk merusak kekuatan ”pemerintahan thaghut” dan
mencederai ”musuh agama”. Keyakinan yang demikian kuat dalam diri
para pelaku ini menunjukkan proses indoktrinasi yang dalam. Patut diduga
proses ini berlangsung intensif dalam jangka waktu cukup lama, sejak awal
masa dewasanya atau bahkan sejak akhir masa remaja. Masa-masa dengan profil
yang ranum untuk kebutuhan aksi berbahaya semacam bom bunuh diri dan
peperangan. Dalam masa ini, individu baru saja selesai
mengeksplorasi diri. Ia berada dalam momen memantapkan jati diri yang
dipilihnya. Pandangan idealistis pun masih menyala-nyala, optimisme akan masa
depan menjadi bahan bakar yang memampukan mereka untuk menantang dunia. Dunia
yang diidealkan pun masih bersifat hitam putih, tanpa spektrum di antaranya. Inilah yang menyebabkan sejarah
perubahan-perubahan sistemik yang didorong oleh kaum muda. Bung Karno
memotret semangat kaum muda ini dalam ucapan terkenal, ”Beri aku 10 pemuda,
akan kuguncang dunia!” Dengan sistem nilai yang tepat, guncangan
yang dilakukan para pemuda menjadi daya dorong perubahan sistem yang baik,
seperti Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Gerakan Reformasi 1998. Di
negara-negara lain ada Revolusi Tahrir dan Arab Spring. Namun, dengan sistem nilai yang salah,
seperti ideologi teror, guncangan yang dihasilkan oleh para pemuda ini justru
menciptakan kerusakan mendalam dan berjangka panjang, utamanya dalam rasa
aman dan rasa percaya antarkelompok sebagai sebuah bangsa. Secara khusus, generasi milenial memang
mengalami tantangan dalam hal internalisasi nilai. Generasi ini adalah
generasi yang tumbuh di masa transisi peradaban, dari pengasuhan yang bebas
pengaruh teknologi informasi menjadi pengasuhan yang bersenyawa dengan
pengaruh teknologi informasi. Ini menyebabkan generasi milenial rentan
menjadi target indoktrinasi ideologi ekstremisme dan perekrutan kader
ekstremisme dengan kekerasan. Orangtua generasi milenial berasal dari
generasi baby boomers dan generasi X, yang dibesarkan dengan cara
pra-internet ketika relasi dibangun di atas interaksi langsung. Orangtua
biasanya tahu dengan siapa anaknya bergaul. Bagi generasi X, sumber nilai
berasal dari orangtua, guru, dan lingkungan pergaulan nyata. Di saat ia mulai menjadi orangtua, generasi
X menghadapi tantangan besar berupa hadirnya teknologi informasi. Generasi X,
yang tidak memahami seluk-beluk teknologi informasi, gagap menyiasati
pengaruh hal itu pada diri anak-anaknya. Banyak orangtua menjadi gamang.
Anak-anak tak lagi bergaul dengan wajah-wajah yang dikenali nyata oleh
orangtuanya sebab wajah-wajah itu hanya hadir di layar kaca. Walhasil, anak-anak dari generasi milenial
dibentuk kuat oleh (algoritma) informasi yang didapatnya melalui dunia maya.
Mereka membangun pertemanan dan identitas kelompok melalui jejaring maya.
Seth Godin menyebutnya sebagai new tribes. Suku di abad teknologi informasi,
disangga oleh kesamaan minat (dan nilai) yang nirbatas fisik. Pengaruh
orangtua dan guru serta lingkungan sekitarnya menjadi berkurang jauh,
bersaing dengan apa yang didapatkan anak dari dunia maya yang lebih nyata
bagi mereka. Tidak dapat dimungkiri, kelompok seperti
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) piawai mengapitalisasi teknologi
informasi ini. Mereka hadir dengan kecanggihan pendekatan dan narasi di dunia
maya. Maka, orangtua ZA pun terguncang ketika, tanpa mereka sadari, anaknya
terperangkap dalam doktrin terorisme dan akhirnya memilih jalan perangnya. Pelajaran berharga dari aksi teror Maret
2021 ini adalah betapa pentingnya bagi orangtua dan guru untuk segera
memperkuat dan mempersenjatai diri dengan keterampilan pengasuhan anak yang
selaras dengan kebutuhan abad informasi. Inilah portal pertama untuk menjaga
generasi mendatang dari cengkeraman ideologi ekstremisme dengan kekerasan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar