Intelektual
Jalan Tengah Novri Susan ; Sosiolog
Universitas Airlangga |
KOMPAS,
12 April
2021
Konflik pemikiran ilmu sosial politik
terjadi antara positivisme-obyektivisme dengan humanisme-subyektivisme pada
abad ke-20. Konflik pemikiran tersebut masih menjadi beban dan dendam kesumat
di antara para penganutnya sampai era masyarakat digital. Konflik itu
merupakan dualisme pemikiran yang saling mempertentangkan teori dan ideologi pemikiran
dalam interaksi zero-sum game. Para intelektual penganut dualisme, baik
positivisme dan humanisme, hanya berkutat pada usaha mereproduksi pemikiran
parsialistik yang meyakini kebenaran adalah milik sendiri dan pemikiran lain
salah, menguasai atau dikuasai. Jika para intelektual, akademisi, masih
berkubang dalam dualisme, maka berbagai persoalan dari kegagalan hubungan
politik dan sipil sampai reproduksi politik identitas tetap menjadi kebuntuan
kolektif negara bangsa. Kekuasaan Reproduksi dualisme ini menghasilkan wacana
kekuasaan (politik) pasti salah dan sipil (publik) pasti benar, atau
sebaliknya. Mode berpikir dualisme menyebabkan pertentangan dan permusuhan
yang konsekuensinya adalah kebuntuan atas pemecahan masalah. Mode berpikir dualisme adalah cara usang
yang tak layak lagi dalam demokrasi. Anthony Giddens dan Michel Foucault
bersepakat kekuasaan bukan merupakan faktisitas negatif. Sebab, kekuasaan tak
dibatasi oleh struktur yang memilah posisi sosial. Kekuasaan ada dalam
politik dan dalam dunia sosial, ada dalam struktur pemerintah dan dalam
struktur sipil (publik). Kekuasaan hadir dalam setiap relasi dan interaksi
sosial. Masalah pentingnya bukanlah distingsi
kekuasaan, tetapi upaya membangun interaksi yang inklusif dan setara. Kekuasaan merupakan realitas dalam dunia
struktur dan manusia (agensi) yang hadir sebagai pembentuk proses dialektika.
Oleh karena itu, sudah tak pantas para pemikir sosial politik menciptakan
distingsi asimetris melalui mazhab positivisme dan humanisme ilmu sosial. Pemisahan itu hanya memperluas pun
memperdalam jurang antarnarasi kebaikan. Ini bukan persoalan kemampuan
pengetahuan para pemikir ilmuwan sosial politik, tetapi kepekaan terhadap
jerat mode berpikir dualisme. Oleh karena itu, distingsi kekuasaan ala
Antonio Gramsci tentang intelektual organik dan publik adalah masa lalu yang
telah dijawab oleh komunikasi intersubyektivitas dari Jurgen Habermas ataupun
dualitas struktural (strukturasi) dari Anthony Giddens. Mode berpikir dualisme mereproduksi berbagai
stigma bahwa, misal, para akademisi yang sibuk penelitian dan menerbitkan
hasilnya sebagai tulisan buku atau jurnal ilmiah adalah agensi yang tidak
peduli terhadap masyarakat. Selanjutnya, stigma ditimpakan kepada para
ilmuwan yang bekerja melalui struktur kekuasaan politik sebagai musuh publik. Stigma merupakan produk komunikasi nalar
kekerasan dalam mode berpikir dualisme yang bertujuan menundukkan dan
melemahkan. Pada komunikasi stigma inilah sebenarnya, klaim menjadi
intelektual publik, atau intelektual organik, sedang mereproduksi habit
dominasi. Habit yang menggambarkan krisis moral terhadap permasalahan negara
bangsa yang makin kompleks. Oleh karena itu, mode berpikir dualisme
atas kekuasaan juga gagal dalam banyak masalah, seperti jalan keluar
menghadapi reproduksi politik identitas sampai oligarki kekuasaan. Tak ada
satu pun sejarah sosial politik dengan mode berpikir dualisme berhasil
mengatasi masalah-masalah ini. Demokrasi secara umum telah jadi modal
untuk menciptakan interaksi setara antarkekuasaan, termasuk kekuasaan politik
dan publik untuk mencapai common objective. Prosedur dan substansi demokrasi
mendomestikasi (menjinakkan) kekuasaan dalam setiap kelembagaan interaksi
berbagai aktor baik politik maupun sipil. Maka, kunci menjadikan kekuasaan bisa
bekerja untuk menyelamatkan negara bangsa adalah interaksi yang inklusif,
saling mengerti, berprinsip pada tujuan kebaikan sebagai moral. Interaksi
inklusif Jebakan mode berpikir dualisme dengan
reproduksi komunikasi makna yang stigmatif secara fakta historis memberi
kebuntuan dalam bentuk konflik zero-sum game. Mode berpikir yang dipakai Orde
Baru dan berbagai bentuk kekuasaan otoriter lain dalam masyarakat dunia.
Misal, stigma terhadap para akademisi dan berbagai riset mereka sebagai
agensi tidak peduli pada masyarakat. Padahal, para akademisi dengan tulisan
jurnal ilmiah adalah kontribusi dalam ilmu pengetahuan yang akan berpengaruh
dalam praktik-praktik kekuasaan, politik dan sipil, untuk memproduksi dan
mereproduksi tujuan kebaikan. Pada saat bersamaan, kelembagaan ilmu
pengetahuan dalam universitas menyediakan dan mengharuskan pembelaan kepada
publik melalui ”struktur signifikansi” pengabdian masyarakat. Para akademisi,
ilmuwan, praktik turun dalam pengabdian masyarakat sebagai upaya implementasi
hasil penelitian. Para akademisi melakukan pemberdayaan
masyarakat dari penguatan ekonomi, pengelolaan lingkungan, sampai kesehatan.
Pada praktik inilah sebenarnya para intelektual akademisi mengambil posisi
intelektual jalan tengah. Intelektual jalan tengah generasi awal di
Indonesia bisa dilihat dari Soekarno yang membentuk nasakom (nasionalis,
agama, komunis) pada era itu. Nasakom adalah praktik intelektual jalan tengah
yang menyadari bahwa setiap kekuasaan dari para aktor, dan kolektif,
berpotensi mentransformasi sumber daya agar mencapai kebaikan. Persoalannya adalah dualisme menyebabkan
keterbatasan melalui reproduksi stigma sehingga terbentuk interaksi zero-sum
game. Klaim dualisme dari agensi politik dan sipil waktu itu sudah disadari
oleh Soekarno walaupun tanpa perangkat keilmuan memadai. Kekuasaan dari setiap aktor dan
strukturnya, seperti kekuasaan sebagai akademisi, pemimpin politik, atau
media massa, harus menciptakan ”pertemuan” dalam rangka saling mengerti.
Moral dasarnya adalah konsep-konsep kebaikan. Maka, kesadaran atas kekuasaan secara
dialektis memungkinkan transformasi yang transenden. Yaitu perubahan yang
mungkin tidak harus tampil secara simbolik sama dengan klaim setiap aktor,
tetapi menciptakan kebaikan bersama. Pesan penting untuk para intelektual, kaum
berpikir dan bekerja dalam tindakan, adalah jadikan interaksi inklusif
sebagai jalan tengah, bukan stigma sebagai dualisme. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar