Rabu, 14 April 2021

 

Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat Sipil bagi Percepatan Reforma Agraria

Usep Setiawan ; Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden

                                                         KOMPAS, 13 April 2021

 

 

                                                           

Ujian kolaborasi pemerintah dengan gerakan masyarakat sipil dalam reforma agraria tengah berlangsung. Pada 8 Maret 2021 diluncurkan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria oleh Kepala Staf Kepresidenan RI, melalui rapat koordinasi lintas kementerian/lembaga dan organisasi masyarakat sipil.

 

Sebelumnya, 29 Januari 2021, Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan meneken Surat Keputusan Nomor 1B/T/2021 tentang Pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria Tahun 2021. Keputusan ini menjadi dasar legal baru bagi percepatan reforma agraria sebagai komitmen Presiden Jokowi.

 

Pertimbangannya, arahan Presiden pada Rapat Internal 23 November, 3 dan 21 Desember 2020 untuk memperkuat langkah bersama pemerintah dan civil society organization (CSO) dalam reforma agraria.

 

Tim ini, berisi kombinasi pejabat pemerintah dengan aktivis CSO di tingkat nasional. Tim diketuai Kepala Staf Kepresidenan, dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Wakil Ketua I), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Wakil Ketua II), dan 32 orang pejabat dari kementerian/lembaga dan CSO sebagai anggota. Anggota Tim terdiri dari pejabat eselon 1 dari 19 kementerian/lembaga, serta 4 orang pimpinan CSO.

 

Keempat CSO itu, pimpinan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (Gema PS) Indonesia. Keempatnya representasi gerakan rakyat pengusung reforma agraria yang memperjuangkan akses rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya.

 

Orientasi hasil

 

Tim ini koordinatif dan ad-hoc lintas institusi yang melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Peran Gubenur dan Bupati/Walikota yang ex-officio sebagai Ketua GTRA harus diefektifkan. Kolaborasi di pusat ini baiknya diteruskan di provinsi dan kabupetan/kota.

 

Pelaksanaan tugas Tim ini berorientasi hasil. Empat tugas dan tanggung jawab Tim, yakni menyusun dan melaksanakan rencana aksi menjadi tugas pertama sebagaimana arahan Presiden. Lalu, melaporkan capaian pelaksanaan rencana aksi tersebut, dan melakukan koordinasi dengan kepala daerah dan pemerintah daerah guna pelaksanaan rencana aksinya. Terakhir, menjalin kerjasama percepatan penyelesaian konflik agraria dan penguatan kebijakan reforma agraria dengan berbagai pihak.

 

Di samping itu, Tim bertugas memperkuat kebijakan reforma agraria melalui revisi Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria yang diusulkan aktivis saat dialog dengan Presiden akhir Desember 2020. Prinsipnya Presiden Jokowi setuju.

 

Isu-isu krusial yang harus diperkuat dalam perbaikan Perpres 86/2018. Pertama, penegasan posisi Presiden sebagai pemimpin utama reforma agraria. Diusulkan, kepemimpinan Presiden langsung dalam kelembagaan pengarah dalam Perpres 86/2018. Sumbatan utama pelaksanaan reforma agraria adalah kepemimpinan yang didelegasikan Presiden ke menteri. Menempatkan Presiden sebagai pemimpin utama, memastikan implementasi reforma agraria lebih kuat.

 

Kedua, percepatan redistribusi tanah dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Penyediaan tanah dari pelepasan kawasan hutan dipercepat, termasuk di Jawa. Tanah bekas HGU perkebunan swasta dan negara harus dipermudah. Menyimak 180 usulan lokasi kasus konflik dan reforma agraria usulan 4 CSO, dan hasil asesmen K-LHK dan K-ATR/BPN, dari usulan tersebut, 137 kasus/lokasi dapat dieksekusi tahun 2021. Tipologinya, 105 konflik agraria terjadi di dalam kawasan hutan yang domain K-LHK, dan 32 di luar kawasan hutan domainnya K-ATR/BPN.

 

Ketiga, kelembagaan penyelesaian konflik agraria juga perlu diperkuat. Perpres 86/2018 yang menyerahkan tugas penyelesaian konflik agraria kepada struktur GTRA kabupaten/kota, lalu provinsi, kemudian pusat dinilai tak efektif. Kemungkinan Presiden menugaskan pejabat setingkat menteri memimpin penyelesaian konflik agraria harus dibuka.

 

Selesaikan konflik

 

Pembentukan kelembagaan khusus yang independen menemukan momentum. Revisi Perpres 86/2018 hendaknya memberi cantolan hukum bagi pembentukan kelembagaan khusus penyelesaian konflik agraria yang bertanggungjawab ke Presiden. Jangka panjang, sejumlah pihak mengusulkan pembentukan kelembagaan khusus itu.

 

Misalnya, Komnas HAM (2003) usul pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria dengan prinsip transitional justice. Lalu, Komite Nasional Pembaruan Agraria (2014) usul Unit Kerja Presiden untuk Penyelesaian Konflik Agraria sebagai lembaga khusus di bawah Presiden. Terbaru, “Conflict Resolution Unit” (2020) di bawah Kamar Dagang dan Industri Indonesia memandang perlu kelembagaan independen penyelesaian konflik agraria.

 

Semua usulan ini, intinya menghendaki konflik agraria diselesaikan sebagai agenda khusus yang prioritas oleh pemerintah. Asumsinya, terobosan penyelesaian konflik agraria dalam reforma agraria hanya bisa dilakukan oleh lembaga yang berwatak penerobos, bukan business as usual.

 

Kolaborasi memperkuat kepemimpinan reforma agraria agar penyelesaian konflik agraria, redistribusi dan legalisasi tanah, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat simultan, cepat dan tepat. Waktu ujian hanya sekitar tiga tahun, dan tahun 2021 jadi penentunya. Semoga lulus bersama. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar