Kolaborasi
Pemerintah dan Masyarakat Sipil bagi Percepatan Reforma Agraria Usep Setiawan ; Tenaga
Ahli Utama di Kantor Staf Presiden |
KOMPAS,
13 April
2021
Ujian kolaborasi pemerintah dengan gerakan
masyarakat sipil dalam reforma agraria tengah berlangsung. Pada 8 Maret 2021
diluncurkan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan
Kebijakan Reforma Agraria oleh Kepala Staf Kepresidenan RI, melalui rapat
koordinasi lintas kementerian/lembaga dan organisasi masyarakat sipil. Sebelumnya, 29 Januari 2021, Moeldoko
selaku Kepala Staf Kepresidenan meneken Surat Keputusan Nomor 1B/T/2021
tentang Pembentukan Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan
Kebijakan Reforma Agraria Tahun 2021. Keputusan ini menjadi dasar legal baru
bagi percepatan reforma agraria sebagai komitmen Presiden Jokowi. Pertimbangannya, arahan Presiden pada Rapat
Internal 23 November, 3 dan 21 Desember 2020 untuk memperkuat langkah bersama
pemerintah dan civil society organization (CSO) dalam reforma agraria. Tim ini, berisi kombinasi pejabat
pemerintah dengan aktivis CSO di tingkat nasional. Tim diketuai Kepala Staf
Kepresidenan, dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional (Wakil Ketua I), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Wakil Ketua
II), dan 32 orang pejabat dari kementerian/lembaga dan CSO sebagai anggota.
Anggota Tim terdiri dari pejabat eselon 1 dari 19 kementerian/lembaga, serta
4 orang pimpinan CSO. Keempat CSO itu, pimpinan Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Badan Registrasi
Wilayah Adat (BRWA), dan Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (Gema PS)
Indonesia. Keempatnya representasi gerakan rakyat pengusung reforma agraria yang
memperjuangkan akses rakyat atas tanah dan kekayaan alam lainnya. Orientasi
hasil Tim ini koordinatif dan ad-hoc lintas
institusi yang melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Peran
Gubenur dan Bupati/Walikota yang ex-officio sebagai Ketua GTRA harus
diefektifkan. Kolaborasi di pusat ini baiknya diteruskan di provinsi dan
kabupetan/kota. Pelaksanaan tugas Tim ini berorientasi
hasil. Empat tugas dan tanggung jawab Tim, yakni menyusun dan melaksanakan
rencana aksi menjadi tugas pertama sebagaimana arahan Presiden. Lalu,
melaporkan capaian pelaksanaan rencana aksi tersebut, dan melakukan
koordinasi dengan kepala daerah dan pemerintah daerah guna pelaksanaan
rencana aksinya. Terakhir, menjalin kerjasama percepatan penyelesaian konflik
agraria dan penguatan kebijakan reforma agraria dengan berbagai pihak. Di samping itu, Tim bertugas memperkuat
kebijakan reforma agraria melalui revisi Perpres 86/2018 tentang Reforma
Agraria yang diusulkan aktivis saat dialog dengan Presiden akhir Desember
2020. Prinsipnya Presiden Jokowi setuju. Isu-isu krusial yang harus diperkuat dalam
perbaikan Perpres 86/2018. Pertama, penegasan posisi Presiden sebagai
pemimpin utama reforma agraria. Diusulkan, kepemimpinan Presiden langsung
dalam kelembagaan pengarah dalam Perpres 86/2018. Sumbatan utama pelaksanaan
reforma agraria adalah kepemimpinan yang didelegasikan Presiden ke menteri.
Menempatkan Presiden sebagai pemimpin utama, memastikan implementasi reforma
agraria lebih kuat. Kedua, percepatan redistribusi tanah dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat. Penyediaan tanah dari pelepasan kawasan
hutan dipercepat, termasuk di Jawa. Tanah bekas HGU perkebunan swasta dan
negara harus dipermudah. Menyimak 180 usulan lokasi kasus konflik dan reforma
agraria usulan 4 CSO, dan hasil asesmen K-LHK dan K-ATR/BPN, dari usulan
tersebut, 137 kasus/lokasi dapat dieksekusi tahun 2021. Tipologinya, 105
konflik agraria terjadi di dalam kawasan hutan yang domain K-LHK, dan 32 di
luar kawasan hutan domainnya K-ATR/BPN. Ketiga, kelembagaan penyelesaian konflik
agraria juga perlu diperkuat. Perpres 86/2018 yang menyerahkan tugas
penyelesaian konflik agraria kepada struktur GTRA kabupaten/kota, lalu
provinsi, kemudian pusat dinilai tak efektif. Kemungkinan Presiden menugaskan
pejabat setingkat menteri memimpin penyelesaian konflik agraria harus dibuka. Selesaikan
konflik Pembentukan kelembagaan khusus yang
independen menemukan momentum. Revisi Perpres 86/2018 hendaknya memberi
cantolan hukum bagi pembentukan kelembagaan khusus penyelesaian konflik
agraria yang bertanggungjawab ke Presiden. Jangka panjang, sejumlah pihak
mengusulkan pembentukan kelembagaan khusus itu. Misalnya, Komnas HAM (2003) usul
pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria dengan prinsip
transitional justice. Lalu, Komite Nasional Pembaruan Agraria (2014) usul
Unit Kerja Presiden untuk Penyelesaian Konflik Agraria sebagai lembaga khusus
di bawah Presiden. Terbaru, “Conflict Resolution Unit” (2020) di bawah Kamar
Dagang dan Industri Indonesia memandang perlu kelembagaan independen
penyelesaian konflik agraria. Semua usulan ini, intinya menghendaki
konflik agraria diselesaikan sebagai agenda khusus yang prioritas oleh
pemerintah. Asumsinya, terobosan penyelesaian konflik agraria dalam reforma
agraria hanya bisa dilakukan oleh lembaga yang berwatak penerobos, bukan
business as usual. Kolaborasi memperkuat kepemimpinan reforma
agraria agar penyelesaian konflik agraria, redistribusi dan legalisasi tanah,
dan pemberdayaan ekonomi masyarakat simultan, cepat dan tepat. Waktu ujian
hanya sekitar tiga tahun, dan tahun 2021 jadi penentunya. Semoga lulus
bersama. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar