Minggu, 11 April 2021

 

Akankah Megakota Jakarta Menggeser Tokyo Tahun 2030?

 NELI TRIANA ; Wartawan Kompas

                                                         KOMPAS, 10 April 2021

 

 

                                                           

Revolusi agrikultur dan industri yang terjadi di Inggris antara pertengahan abad ke-18 dan abad ke-19 memicu pertumbuhan kawasan perkotaan, termasuk di London. Pusat industri menarik banyak orang untuk melabuhkan diri ke sana; bekerja dan menetap. Pada tahun 1900, London telah memiliki 4,5 juta penduduk.

 

London berperan amat penting sebagai penggerak utama ekonomi Inggris dan berpengaruh pada dinamika ekonomi ataupun politik hampir separuh negara-negara di dunia kala itu, yang menjadi jajahan kerajaan tersebut. Dalam sejarah perkembangan perkotaan, London tercatat masuk dalam jajaran Kota Dunia (World Cities) bersama Paris di Perancis dan New York di Amerika Serikat yang memiliki pengaruh dominan dalam kancah global. London juga disebut sebagai cikal bakal megakota.

 

Pada masa revolusi industri itu, London bagai ditiup dan menggelembung cepat. Seiring berbagai kemajuan saat itu, London disesaki berbagai masalah seiring mulai membengkaknya jumlah penduduk miskin, sampah dan limbah kota tak terkendali, serta penyakit bermunculan, seperti wabah kolera, cacar, dan flu Spanyol.

 

Pabrik-pabrik di seantero kota menghadirkan polusi suara, polusi udara, dan limbahnya merusak sungai serta tanah. Kesibukan tak terperikan. Kota laksana meledak dengan lonjakan kekayaan, tetapi sekaligus kotor, kumuh, dan kemiskinan pun masih mencengkeram erat sebagian warga urban di sana.

 

Tahun 1850-an, wabah kolera menggerakkan London memperbaiki saluran buang dan memastikan sumber air konsumsi bebas dari kontaminasi bibit penyakit. Pascawabah flu Spanyol tahun 1919, warga jadi terbiasa menutup mulut dengan sapu tangan saat bersin dan tidak menggunakan gelas yang sama bergantian.

 

Secara bertahap, London juga mulai memperbaiki sistem transportasi, menerapkan zonasi yang memisahkan kawasan permukiman, perkantoran, dan industri, serta ruang terbuka hijau diperbanyak. Warga diedukasi untuk memahami hak atas jaminan mendapat akses air bersih, udara bersih, dan hak dasar lain, seperti akses pendidikan serta kesehatan yang baik. Edukasi warga sebagai sumber daya manusia, penggerak utama kota sebagai jaringan sosial menjadi keharusan agar ada kontrol terhadap pemimpinnya.

 

Seusai Perang Dunia I dan II, arah perkembangan London sudah ada di jalur pembangunan kota yang makin melindungi kepentingan penghuninya. Kini, London menjadi Kota Taman Nasional pertama di dunia yang bertujuan mendorong lebih banyak orang menikmati alam bebas dan mendukung semua warganya. Bisnis dan institusi kota juga didorong membuat kota lebih hijau, lebih sehat, dan lebih alami.

 

Warga London yang lebih sering beraktivitas di ruang terbuka hijau membuat kota itu dapat menekan pengeluaran 950 juta pound per tahun. Dalam perkembangannya, London tidak masuk dalam jajaran megakota. Akan tetapi, dengan kebijakan yang diambil, London konsisten menjadi kota berpengaruh di dunia hingga kini.

 

Megakota, menurut World Urbanization Prospects 2018 Highlights, merujuk pada suatu kawasan urban dengan jumlah penduduk sedikitnya 10 juta jiwa. Pengertian lainnya, megakota adalah kota yang dihuni 5-8 juta jiwa dengan kepadatan tinggi, yaitu 2.000 orang per kilometer persegi. Dari sisi ekonomi, megakota dipastikan menyumbang pendapatan nasional tertinggi suatu negara dan berkontribusi besar pada perputaran ekonomi internasional. Setidaknya, dari jumlah penduduk saja megakota secara nyata menyuguhkan pasokan tenaga kerja besar sekaligus pasar berisi konsumen yang akan melahap berbagai produk.

 

Beralih ke Asia

 

Kota-kota yang terus menggenjot pertumbuhannya seusai flu Spanyol mewabah di awal abad  ke-20 adalah New York dan Tokyo di Jepang. New York berkembang pesat dan pada 1930-an dinobatkan menjadi megakota pertama di dunia. Pada 1950, Tokyo dan kawasan sekitarnya (Greater Tokyo) menggeser posisi New York dan dengan populasi lebih dari 10 juta jiwa.

 

Seperti halnya London yang tidak mau menerus terjebak dalam masalah perkotaan, Tokyo kini menjadi megakota dengan tatanan kawasan urban yang baik. Kota ini makin bernilai lebih dengan adaptasi terhadap gempa yang memang menjadi langganan bencana di Jepang.

 

Tahun 2020, penduduk Greater Tokyo mencapai 37,39 juta jiwa dan menandai posisinya sebagai megakota nomor 1 di dunia sejak 1950 yang belum tergantikan. Hingga 2018, tercatat sudah ada 34 megakota dengan 20 megakota di antaraya berada di Asia. Pada 2035, World Urbanization Prospects 2018 memprediksi akan ada 41-53 megakota dan sebagian besar di Asia. Megakota yang sudah ada dan yang lahir nantinya dilaporkan lebih banyak berada di negara berkembang.

 

Jakarta menjadi salah satu kota di Asia yang masuk jajaran megakota dunia. Jika berdiri sendiri terhitung dengan 10,56 jiwa, Jakarta ada pada peringkat ke-31 megakota saat ini. Secara aglomerasi, kawasan bersama Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dengan sekitar 30,5 juta jiwa penduduk, Jabodetabek melesat masuk posisi kedua di bawah Tokyo dan di atas Delhi, India. World Economic Forum bahkan menyatakan pada 2030, Jakarta diyakini menggeser posisi Tokyo.

 

Buku The Rise of Megacities: Challenges, Opportunities and Unique Characteristics (2017) menyebutkan, bersama New York, London, Paris, serta sejumlah kota lain di Amerika Utara dan Eropa, Tokyo menjadi megakota yang memasuki tahap dewasa. Kota-kota itu belajar dari pengalaman pahit yang mendera dan berkembang menjadi kawasan urban raksasa yang bernasib baik. Meskipun diakui masih sulit mengesampingkan isu-isu mendasar, seperti ketimpangan si kaya dan si miskin serta dampak lingkungan yang belum teratasi sepenuhnya.

 

Sebaliknya, megakota seperti Jakarta, Delhi, Karachi (Pakistan), juga Kairo (Mesir), sedang mengalami fase seperti London, New York, dan Tokyo di abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kombinasi berbagai faktor menyebabkan kondisi itu,  termasuk migrasi dari daerah perdesaan, tingkat kelahiran bayi yang tinggi, dan pelebaran batas kota. Kebutuhan dan aktivitas penduduknya melampaui hampir semua batasan daya dukung lingkungan, yang memunculkan ancaman kekurangan pangan, air bersih, kemacetan lalu lintas, fasilitas kesehatan, dan fasilitas pendidikan yang tidak memadai.

 

Untuk Jakarta, kebijakan pemerintah saat ini yang akan menanggalkan status ibu kota negara dan membuat kota ini menyandang satu fungsi sebagai pusat bisnis, bisa jadi akan mengubah prediksi megakota pada 2030. Akan tetapi, Jakarta dan sekitarnya yang sudah telanjur meraksasa dengan segala problemanya tetap membutuhkan penanganan komprehensif agar dapat menjadi kota yang lebih baik bagi warganya. Calon ibu kota negara baru Indonesia di Kalimantan Timur pun memiliki tantangannya tersendiri.

 

Rencana dan kendali

 

World Population History memaparkan berlipat gandanya megakota selalu seiring sejalan dengan pertumbuhan area urban. Berkaca dalam seabad terakhir, ada gejala umum yang menunjukkan permukiman yang saat ini dihuni jauh di bawah 500.000 orang hingga 1 juta orang akan berpeluang besar berkembang menjadi perkotaan yang lebih padat dan besar.

 

Gejala ini akan berujung sebagai kota berkelanjutan, hanya jika pemerintah terkait bersama warga urban menyadari perubahan yang akan terjadi. Lalu,  secara sadar membuat perencanaan menyeluruh dan ketat mengendalikan realisasi pembangunan.

 

Kawasan dengan pertumbuhan tinggi pada masa depan memerlukan perencanaan kota strategis yang masing-masing disesuaikan dengan sejarah kota, budaya, sistem nilai, daya dukung lingkungannya, serta kekhususan lainnya. Jadi, tidaklah penting apakah Jakarta akan menggeser Tokyo pada tahun 2030 atau tidak.

 

Dengan memperhatikan isu keadilan sosial, penggunaan sumber daya alam, potensi bencana, dan masalah lain yang biasa menghinggapi kota modern, perencanaan yang komprehensif menjadi satu-satunya cara membantu memastikan kesehatan dan kesejahteraan masa depan penduduk Jakarta ataupun kawasan lain di Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar