Rabu, 14 April 2021

 

Metafora Burung Garuda Istana Negara

Putu Fajar Arcana ; Wartawan Kompas

                                                         KOMPAS, 14 April 2021

 

 

                                                           

Nyoman Nuarta tak bisa lepas dari sosok penting I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978) dan Ida Bagus Tugur (1926-2020). Kedua pendahulunya itu adalah para seniman sejati dengan karya-karya ikonik berupa patung, lukisan, dan bangunan.

 

Lempad dan Tugur lebih dikenal sebagai seorang undagi (seniman) ketimbang seorang arsitek. Secara kebetulan, keduanya tidak memiliki pendidikan formal kearsitekturan. Jika Tugur seorang guru seni rupa dan dosen luar biasa arsitektur di Universitas Udayana, Lempad hanyalah seorang pengabdi Tuhan yang buta huruf.

 

Meski beda pendidikannya seperti bumi dan langit, keduanya diakui dunia sebagai seniman dan arsitek paling mumpuni dalam sejarah Bali. Belakangan Lempad memang lebih dikenal sebagai pelukis dengan karya-karyanya yang sederhana sehingga sering kali digolongkan sebagai drawing. Karya-karya arsitekturnya bertebaran.

 

Salah satu karyanya berupa bangunan di Puri Ubud serta beberapa pura, termasuk Pura Samuan Tiga di Bedulu, Gianyar, yang monumental, di mana ia terlibat turut merancangnya.

 

Pura ini tak hanya menjadi monumen nyata berupa bangunan tetapi juga monumen nilai, di mana sekte-sekte Hindu dipersatukan dengan terbentuknya istilah Desa Pakraman sekitar tahun 1001 Masehi, saat pemerintahan Raja Udayana.

 

Sementara Ida Bagus Tugur meninggalkan bangunan-bangunan ikonik, seperti Art Centre Denpasar, Monumen Bajra Sandhi, Kantor Gubernur Bali, serta Kantor DPRD Bali.

 

Bangunan-bangunan penting itu, kini menjadi penanda bergeraknya peradaban Bali yang mewadahi berbagai kepentingan di dalamnya sesuai perubahan zaman.

 

Gedung DPRD atau Monumen Bajra Sandhi bukanlah tempat suci sebagaimana pura, melainkan ruang tempat aktivitas politik dan kebudayaan modern bersilang rupa. Ada proses transformasi pada pola-pola ruangan, nilai, dan aturan-aturan tradisional yang menuju pada pemanfaatan secara modern.

 

Kedua seniman ini pula yang mengilhami para arsitek berikutnya untuk mengembangkan apa yang kemudian disebut sebagai style Bali. Seluruh hotel yang dibangun di Bali harus mengikuti Peraturan Daerah Provinsi Bali No 5 Tahun 2005, yang antara lain mensyaratkan adanya corak dan karakter bangunan tradisional Bali.

 

Rupa-rupanya, pola-pola ruang, bentuk, dan ornamentasi sebagaimana telah dilakukan oleh Lempad dan Tugur menjadi acuan pengembangan arsitektur berikutnya.

 

Penggunaan paras dan bata merah, misalnya, seolah menjadi ciri yang memberi karakter sebuah bangunan disebut ”style Bali”. Meskipun esensi yang disebut style Bali adalah penggunaan pola-pola ruang sebagaimana tertuang dalam ajaran Asta Kosala Kosali. Setidaknya, ruang-ruang dibagi ke dalam tingkatan utama, madya, dan nista (utama, tengah, dan bawah).

 

Sementara, karya-karya dua dimensi yang dihasilkan Lempad, oleh pemikir kebudayaan Perancis Jean Couteau, disebut sebagai pencapaian yang setara dengan pergerakan pemikiran-pemikiran yang melekat pada karya-karya surealistik Joan Miro atau kubisme Pablo Picasso.

 

Secara kebetulan, mereka hidup sezaman dengan corak dan pendalaman nilai secara berbeda. ”Inilah para seniman dan pemikir yang menandai abad ke-20,” kata Jean Couteau.

 

Boleh jadi penghayatan kehidupan ketiganya berbeda-beda. Pada awal abad ke-20, Miro dan Picasso benar-benar menghayati kehidupan sebagai seorang seniman, sedangkan Lempad seorang yang berjuang demi kehidupan spiritual. Ia menjalani laku kesenimanan sebagai jalan keimanan.

 

Oleh sebab itulah, ia merancang banyak bangunan seperti pura atau bade (usungan jenazah dalam upacara ngaben) lengkap dengan lembunya. Karya-karya seninya, termasuk karya-karya arsitekturnya, menjadi semacam ibadah untuk memuliakan Tuhan.

 

Sesungguhnya sebagian besar karya dua dimensinya, yang berupa drawing dan bersumber dari mitologi lokal, adalah ajaran-ajaran tentang hidup. Sebut saja karyanya yang paling populer, seperti seri ”Men Brayut”; seorang perempuan dengan banyak anak, yang menjalani penderitaan selama hidupnya, sebelum akhirnya menemukan ”surga” di tangan anak bungsunya.

 

Nyoman Nuarta hadir sebagai seniman multitalenta, sebagaimana Lempad dan Tugur. Oleh karena mendapatkan pendidikan seni modern di Institut Teknologi Bandung (ITB), ia tidak hanya berkarya atas dasar rasa estetis belaka, tetapi juga menggunakan sains dan teknologi sebagai bagian dari ekspresinya.

 

Tahun 1975, ia menjadi salah satu motor penting dalam Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI), yang memandang formalisme terhadap seni merupakan pengekangan terhadap hakikat ekspresi. Pembatasan secara rigid terhadap bidang-bidang ekspresi kesenian, termasuk di dalamnya seni tiga dimensi, hanya akan memiskinkan kehidupan kesenimanan.

 

”Pada akhirnya juga akan membuat seni jadi kikuk dengan dirinya sendiri,” kata Nyoman Nuarta, akhir pekan lalu di Bandung.

 

Dalam pemahaman di dunia Timur, tidak pernah dikenal istilah ”seni” dan ”seniman”. Sebutan paling umum terhadap seseorang yang melakoni kehidupan kesenian adalah undagi. Sering kali seorang undagi adalah juga pematung, ahli bangunan, pelukis, ahli sastra, sekaligus seorang pemuka agama dan balian (dukun).

 

Sekadar menyebut, Mpu Kuturan yang datang dari Majapahit menuju Bali saat diperintah oleh Raja Udayana, adalah seorang ahli agama, yang menjadi inisiator mempersatukan sekte-sekte Hindu di Bali pada abad ke-11. Ia juga seorang ahli bangunan yang merancang awal Pura Samuan Tiga di Bedulu, Gianyar.

 

Dalam logika yang dipenuhi oleh hamparan sejarah itulah, Nyoman Nuarta memperoleh cermin besar tentang laku kesenimanan. Ketika ia merancang patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bukit Ungasan, Bali, misalnya, konsep pertama-tama yang ia letakkan adalah bagaimana menciptakan ikon baru, yang menjadi daya tarik peradaban kontemporer, tanpa kehilangan pijakan kepada akar kultur. Selama ini, katanya, kebudayaan dan kemudian pariwisata hampir selalu bertolak dari tinggalan masa lalu.

 

”Kita hanya hidup dari peninggalan, yang telah dikonsep dan dibangun oleh para leluhur. Lalu kita telah berbuat apa untuk masa depan bangsa?” katanya.

 

Konsepsi ini kemudian membawanya membuka-buka lembar sejarah sampai kemudian menemukan Garuda Wisnu, sebagai perwujudan mulia yang menjaga keseimbangan alam semesta.

 

Bangsa kita, katanya, masih membutuhkan simbol-simbol ikonik, yang kemudian mewadahi berbagai kepentingan, dari urusan kultural, kepercayaan, sampai dunia pariwisata.

 

”Siapa yang menduga berbagai peninggalan arkeologis, seperti pura, candi, masjid, yang dikonsepkan untuk beribadah, sekarang menjadi destinasi wisata paling populer di dunia,” ujar Nuarta.

 

GWK berbeda. Ia dibangun dengan kesadaran baru. Meski mengambil ikonografi Garuda Wisnu, ia bukanlah tempat ibadah, apalagi tempat suci. GWK adalah simbol pencapaian perpaduan antara seni, sains, dan teknologi modern.

 

Nyoman Nuarta menemukan teknik pembesaran dengan menggunakan skala terhadap bentuk yang tidak beraturan. Prinsip teknik pembuatan dengan pembesaran berdasarkan skala ini merumuskan: jika sebuah bentuk bebas diiris horizontal ataupun vertikal dalam jarak tetap, kemudian garis-garis luar tersebut diperbesar berdasarkan skala, dan kemudian disusun kembali sesuai koordinat tetap, maka akan terbentuk pembesaran menyeluruh dengan skala yang dikehendaki.

 

”Ini rumus mengapa GWK bisa diperbesar tanpa mengalami deformasi bentuk, pasti presisif, bahkan sampai pembesaran 20 kali,” kata Nuarta.

 

Teknik pembesaran sudah terbukti berhasil melahirkan karya besar dengan berbagai pertimbangan teknologi agar tahan sampai 100 tahun. Setelah melalui berbagai uji di terowongan angin, getaran gempa, serta paparan sinar matahari, GWK kokoh berdiri sebagai monumen kontemporer bagi bangsa Indonesia.

 

Seluruh pencapaian cita rasa estetis, sains, dan teknologi itulah yang mendasari desain Istana Negara berwujud burung Garuda di Ibu Kota Negara (IKN) yang baru di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimatan Timur.

 

Nyoman pertama-tama menggunakan pendekatan estetis-simbolik, yang diharapkan menjadi metafora yang tepat untuk merumuskan keindonesiaan. Sebagai negara yang mengadaptasi demokrasi modern, ia harus menemukan simbol-simbol yang tepat untuk mewadahi pencapaian peradaban terkini.

 

Nyoman Nuarta, seperti katanya, tidak mau lagi jatuh ke dalam eksotisme ornamentasi ”kelokalan” yang bisa menjerat kembali bangsa Indonesia dalam konflik identitas.

 

”Kalau saya pakai Bali, Jawa, Minang, Toraja, Papua, atau Kalimatan, misalnya, saya khawatir kita mundur ke belakang. Bahwa persatuan itu sudah diwadahi dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika, dan itu ada pada burung Garuda,” katanya.

 

Ia paham benar bahwa pandangan ini akan dinilai terlalu politis dan dianggap menjauh dari potensi kultural Indonesia. ”Bukankah kita katanya mengikuti perkembangan peradaban seturut dengan era digital? Nah, konsepsi tentang burung Garuda itu sangat kontemporer, yang tidak bisa dicapai oleh bangsa lain dengan keberagaman suku bangsa, agama, dan etnisnya,” ujar Nuarta.

 

Burung Garuda pada desain Istana Negara yang telah menjadi pemenang sayembara desain yang diselenggarakan oleh Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun lalu, memang tidak sama dengan Garuda Wisnu.

 

Garuda yang dikendarai Dewa Wisnu dalam GWK adalah burung mitologis yang melambangkan kekuatan, ketekunan, kesetiaan, serta bakti terhadap negara. Sementara burung Garuda dalam desain Istana Negara, tak lain adalah metafor modern yang mewadahi keberagaman bangsa Indonesia. Pesan di dalamnya, sama-sama tentang inspirasi terhadap kesetiaan, kekuatan, dan keseimbangan dalam kehidupan.

 

”Saya tidak mengerti mengapa seni selalu dipisah-pisahkan justru ketika kita secara spesifik mendalami pengetahuan tentang seni,” kata seniman kelahiran Tabanan, Bali, ini.

 

Sebagaimana juga pada diri Lempad dan Tugur, seni dalam diri Nyoman Nuarta berkelindan dengan pengetahuan dan kemudian teknologi modern. Tanpa mengenal teknologi, tentu bangunan ikonik seperti Monumen Bajra Sandhi di depan Kantor Gubernur Bali tidak mungkin berdiri kokoh dengan bentuk dan ketinggian yang menakjubkan.

 

Bagaimana mungkin Puri Ubud berdiri megah dan berwibawa tanpa teknologi yang dikuasai oleh Lempad. Demikian pula GWK dan nanti Istana Negara di Penajam Paser Utara akan berdiri sebagai simbol pencapaian peradaban bangsa Indonesia.

 

Peradaban tak hanya bisa diukur dari seberapa peduli kita terhadap tren arsitektur yang berkembang di dunia, tetapi juga pada cara kita ”menjinakkan” kearifan lokal, lalu meleburnya dengan sistem kebudayaan, politik, dan ekonomi kontemporer.

 

Nuarta sangat yakin bahwa Istana Negara yang baru nanti akan menjadi salah satu ikon penting dalam pergerakan dunia politik, kebudayaan, dan ekonomi dunia. Dalam waktu singkat, ia akan menjadi daya tarik ikonik bagi dunia pariwisata di sekitarnya.

 

Memang sejak dahulu, itulah logika dasar mengapa Nyoman Nuarta selalu merancang desain sebuah patung dan gedung, dilengkapi dengan penataaan lanskap di sekitarnya, supaya kita semua berduyun-duyun saling menjepretkan kamera telepon genggam, sebagai dokumentasi dan kenangan selama kita hidup. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar