Pengendalian
Harga Pangan Hari Raya Sapuan Gafar ; Kepala
Biro Penyaluran Bulog dan Ketua Tim Penyediaan Ternak dan Stabilisasi Harga
Daging DKI Jakarta 1988-1993 |
KOMPAS,
13 April
2021
Telah menjadi pengetahuan kita bersama
bahwa menjelang hari raya dan atau hari besar keagamaan biasanya terjadi
kenaikan harga-harga pangan tertentu. Dari pengalaman terdapat beberapa aspek
dalam pengendalian harga yang perlu diketahui. Pertama, pemahaman siklus
kalender peristiwanya sendiri. Kedua, pola panen dan perdagangan serta sentra
produksi dari komoditasnya. Ketiga, pemahaman atas karakteristik fluktuasi
harga pada setiap komoditas. Keempat, kelembagaan yang menangani dan
kejelasan pembiayaannya. Kelima, cara pengelolaannya yang harus konsisten
dengan mekanisme harga dan stok. Sinyal pengendalian harga adalah ”harga dan
keadaan stok yang dikuasai pemerintah”, bukan atas dasar estimasi pasokan
dibandingkan permintaan. Dari segi pemahaman yang perlu diketahui
bahwa pasokan komoditas pertanian itu mengikuti kalender matahari dan
permintaannya mengikuti kalender bulan (Noer Soetrisno, 2016: Memahami Siklus
Perekonomian Indonesia). Kemudian, berdasarkan pengalaman, yang
perlu dilakukan pengendalian harga adalah selama tiga bulan pada ”masa
pesta”, yakni bulan Syaban (Ruwah), Ramadhan (puasa), dan Syawal (Lebaran)
atau RPL. Peristiwa lain adalah menjelang Natal dan Tahun Baru dan adanya
peristiwa penting, seperti pemilu serentak 2019 dan perhelatan Asian Games
2018. Pengendalian harga yang paling menyita
perhatian ekstra, persiapan siklus masa pesta (RPL), apalagi waktunya
berbarengan dengan masa paceklik. Sebagaimana diketahui, kalender matahari
dan bulan itu waktunya bergeser sepuluh atau sebelas hari setiap tahun. Dengan demikian, apabila ”waktu” ajang
pengendalian harga bulan puasa dan Lebaran terjadi ”bersamaan” dengan siklus
paceklik, misalnya untuk beras dan cabai, pengendalian harganya memerlukan
perhatian khusus. Untuk 2021 ini, siklus bulan puasa dan
Lebaran terjadi pada April-Mei, maka upaya pengendalian harga terjadi pada
waktu panen padi dan cabai. Oleh karena itu, dari segi pasokan tak terlalu
mengkhawatirkan, tinggal bagaimana mengatur sistem logistiknya supaya lancar. Pemahaman lain adalah pengendalian harga
pangan itu memerlukan biaya ekstra. Kecuali untuk komoditas yang pasokannya
berlebih atau posisi kita eksportir neto, misalnya minyak goreng dan ikan,
maka tugas kita adalah memperlancar logistik penyediaannya. Dengan pemahaman perlunya biaya tersebut,
merupakan hal yang tidak mungkin apabila pengendalian harga itu biayanya
dibebankan kepada pelaku pasar (operator). Apabila pemerintah tidak
menyediakan anggaran, hasilnya tidak akan optimal karena beban-beban tersebut
akan dialihkan kepada konsumen atau menjadi kerugian perusahaan. Pemahaman lain, pengendalian harga itu
sebaiknya dengan pendekatan ramah pasar. Kita mempunyai pengalaman pendekatan
”nonpasar” pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Pada tahun 1962
dikeluarkan beberapa peraturan untuk menjerat pelaku pasar beras/pangan yang
dikenal dengan ”undang-undang subversi ekonomi”. Apa yang terjadi? Ketika dilakukan penggeledahan gudang
beras, beras di pasar menghilang dan akhirnya harga beras naik tak terkendali
pada tahun 1965. Pengalaman penggerebekan gudang beras PT IBU tahun 2017 juga
berbuah keguncangan pasar. Pola
panen berbeda-beda Tiap komoditas mempunyai pola panen yang
berbeda, seperti untuk padi dan cabai itu pola panen rayanya terjadi pada
Maret-Juni. Dengan demikian, apabila bulan pesta terjadi pada waktu panen,
diperkirakan pasokannya akan cukup dan harganya akan aman. Namun, harus tetap waspada akan permintaan
beras tertentu, seperti beras ketan. Hal ini juga terbantu karena
karakteristik petani kita yang umumnya menjual padi untuk persiapan puasa dan
Lebaran. Namun, apabila pemerintah merasa perlu berjaga-jaga, sebaiknya
melakukan pengendalian harga atas beras dalam kategori beras kelas premium. Sementara gula, yang sekarang ini belum
mulai masa giling, memerlukan perhatian untuk membantu pasokan di pasar. Pada
zaman pemerintahan Presiden Soeharto, pengendalian harga gula dan terigu
adalah dengan menambah alokasi penyaluran sebesar 15 sampai 25 persen,
tergantung kondisi harga, karena semua persediaan dikuasai oleh pemerintah cq
Bulog. Sekarang ini, Bulog mempunyai persediaan
gula, tetapi karena sifatnya komersial, sudah barang tentu efektivitasnya
akan kurang. Untuk terigu dan kedelai, harganya kemungkinan pada puasa dan
Lebaran ini akan naik lagi sesuai dengan nilai tukar dollar AS dan harga
pasar dunia. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian
pemerintah karena penggunaan terigu dan gula untuk membuat penganan sudah
demikian meluas dan impor kedelai untuk penyediaan sumber protein murah bagi
rakyat kecil posisinya demikian strategis. Cara yang bisa dilakukan sekarang
mungkin dengan mengurangi tingkat bea masuknya. Untuk penyediaan ternak dan pengendalian
harga daging, Bulog dahulu pada mulanya hanya bertugas melakukan koordinasi
logistik karena pasokan ternak kita masih bisa mencukupi dan harganya masih
kompetitif dengan harga internasional. Sehubungan dengan membaiknya keadaan
ekonomi Indonesia, mulai 1974 Bulog ditugaskan untuk mengoordinasikan
penyediaan ternak dan pengendalian harga daging untuk DKI Jakarta. Mulai pertengahan 1980-an, ditambah daging
dan ayam beku. Pada periode 1974-1998, Bulog dapat bertindak sebagai
koordinator penyediaan ternak karena bentuk lembaganya adalah sebagai lembaga
pemerintah nonkementerian (LPNK). Pada tahun 2003, bentuk kelembagaan Bulog
ditransformasikan menjadi perusahaan umum (operator) sehingga masih
menyisakan tugas-tugas kepemerintahan (regulator) yang sampai sekarang belum
ada penggantinya. Pembiayaan,
kelembagaan Pengalaman empiris menunjukkan, kunci keberhasilan
program pengendalian harga adalah, pertama, sistem pembiayaan yang fleksibel
dengan jumlah yang cukup. Kedua, bentuk lembaganya independen. Sistem pembiayaan ini merupakan kunci utama
karena seperti telah disebutkan, program pengendalian harga itu memerlukan
biaya besar. Dulu Bulog mendapat Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI)
dengan bunga khusus untuk periode 1969-1981 dan diberikan subsidi melalui
APBN apabila terdapat kerugian. Kunci sukses operasi Bulog yang lain waktu
itu adalah karena bentuk lembaga Bulog independen di bawah Presiden. Keunikan
lembaga Bulog tersebut adalah sebagai regulator yang merangkap operator. Sekarang keadaan jauh berbeda, Bulog hanya
sebagai operator dan untuk dapat melakukan tugasnya harus berkoordinasi dengan
banyak lembaga. Sekarang ini tugas Bulog ibarat sebagai pemadam kebakaran,
api sudah berkobar, tetapi untuk bisa memadamkan api harus menunggu izin atau
rapat koordinasi. Sebagaimana diketahui, ego sektoral kini lebih menonjol
sehingga mengganggu tugas-tugas yang dijalankan. Untuk mengatasi hal itu, disarankan agar
dibentuk LPNK untuk mengurusi cadangan pangan/beras nasional dengan nama
Badan Urusan Cadangan Pangan Nasional (BUCPN) sebagai regulator. Adapun sebagai operatornya adalah Perum
Bulog. Badan ini langsung di bawah Presiden, dengan tugas mengurus cadangan
beras pemerintah dan mengoordinasikan serta memantau cadangan beras
pemerintah daerah dan cadangan pangan masyarakat. Titik lemah pengendalian sekarang ini
adalah tidak ada yang memantau cadangan pangan/beras masyarakat yang ada di
rumah tangga konsumen, di pedagang eceran, grosir dan pedagang besar, di
penggilingan, di pedagang pengumpul gabah, di petani, dan di sawah yang akan
panen. Menurut pengalaman, pemantauan stok di
masyarakat ini harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan
sehingga karakternya dapat diketahui untuk menghadapi berbagai tipe tahun,
seperti tahun kemarau kering, kemarau normal, dan kemarau basah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar