Kudeta
dalam Partai Politik Hamid Awaludin ; Mantan Menteri Hukum dan HAM, Dosen
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar |
KOMPAS,
08 Maret
2021
Indonesia memang sangat unik, terutama dari
segi politik. Di negara-negara lain, biasanya, kolonel atau mayor yang
mengudeta jenderal. Namun, di negeri kita yang tercinta ini, jenderal yang
mengudeta mayor. Heboh, kan? Perpecahan internal partai politik (parpol)
di negeri ini sudah berlangsung lama. Tidak ada yang baru. Sarikat Islam (SI)
mengalami perpecahan internal yang melahirkan SI merah dan SI putih. SI merah
lalu menjadi komunis. Ini berlangsung seabad silam. Hingga kini, perpecahan
internal parpol masih saja berlangsung. Perpecahan internal Partai Demokrat kali
ini memang sangat berbeda dengan perpecahan internal parpol yang lain.
Perpecahan di Partai Golkar, misalnya, hanya memperhadapkan kader-kader
internal sendiri, semisal Aburizal Bakrie berhadapan dengan Agung Laksono. Di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga
begitu, antara Suryadharma Ali berhadapan dengan Muhammad Romahurmuziy. Di
tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga demikian, memperhadapkan antara
Muhaimi Iskandar (Cak Imin) dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), atau Gus Dur
berhadapan dengan Matori Abdul Jalil. Di Partai Demokrat, yang berhadapan adalah
orang dalam versus orang luar: Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) versus
Moeldoko. AHY adalah kader partai, sementara Moeldoko bukan kader partai.
Setelah Kongres Luar Biasa (KLB) partai ini, Moeldoko menerima mandat menjadi
ketua umum. Penegasan penerimaannya itu kian memperteguh tudingan terhadap
dirinya bahwa Moeldoko memang merancang pengambilalihan Partai Demokrat. Lantaran Moeldoko bukan kader partai tetapi
mengklaim diri sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, maka sak-wasangka pun kian
liar. Posisi Moeldoko sebagai bukan kader partai tersebut, dilengkapi lagi
dengan posisinya sebagai Kepala Staf Presiden, membuat persangkaan adanya
intervensi pemerintah terhadap Partai Demokrat kian berkecambah dan liar.
Padahal, belum tentu gerakan Moeldoko tersebut direstui Presiden Jokowi,
atasan langsungnya. Anggapan tersebut kian menguat setelah
publik mulai membicarakan bahwa memang pernah ada masa di mana Moeldoko juga
ingin menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Katanya, ia mendatangi Jusuf Kalla
untuk minta dukungan. Namun, Jusuf Kalla menutup pintu itu dengan alasan,
jangan memasuki rumah orang. Menjadi Ketua Umum Partai Golkar harus mengabdi
dulu beberapa tahun sebagai pengurus. Sebulan silam, ketika gerakan Moeldoko
mengumpulkan sejumlah kader atau mantan kader Partai Demokrat, dan kepergok,
ia masih membantah bahwa mereka datang bukan berbicara tentang
pengambilalihan kepemimpinan partai, melainkan bantuan sosial. Kini, Moeldoko
bersama pendukungnya sudah mengklaim bahwa ia sudah menjadi Ketua Umum Partai
Demokrat. Lantas, penyangkalan itu diletakkan di mana? Mahkamah
partai Sejatinya, apabila ada masalah dalam
internal partai, katakanlah ada ketidakpuasan ataupun kekecewaan para kader
atau pengurus, seharusnya diselesaikan lewat mahkamah partai. Begitu perintah
Undang-Undang Partai Politik di negeri kita. Ini adalah mekanisme baku yang menjadi
keharusan konstitusional para politisi. Para perancang undang-undang membuat
mekanisme tersebut agar perpecahan partai bisa diselesaikan lebih awal
melalui mekanisme internal. Biar kemandirian partai bisa kian terjaga,
tidak langsung melibatkan intervensi negara. Lantas, ke arah mana pertikaian
Partai Demokrat ini? Moeldoko pasti sesegera mungkin
mendaftarkan diri dan komposisi pengurusnya ke Kementerian Hukum dan HAM. Mekanisme baku yang ada setelah pengurus
baru sebuah partai politik terbentuk dan didaftar ke pemerintah, maka
Kementerian Hukum dan HAM menelaah: apakah kepengurusan itu sah atau tidak,
menurut konstitusi partai politiknya. Dalam konteks ini, Kementerian Hukum dan
HAM akan mempelajari sedalam mungkin bagaimana mekanisme pergantian pengurus
yang diatur oleh anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik. Dalam proses inilah, tafsir politik
acapkali menyisihkan tafsir yuridis. Dan, tatkala tafsir politik sudah
surplus, segala kemungkinan bisa jadi tidak mungkin, dan ketidakmungkinan
bisa jadi mungkin. Di masa silam, segala pengesahan pengurus
partai politik, dilakukan di Kementerian Dalam Negeri. Ketika itu,
penyelesaian banyak dilakukan hanya dengan pertimbangan politis belaka, yang
menyisihkan pertimbangan yuridis. Kini, pendaftaran pengurus partai politik
dilakukan di Kementerian Hukum dan HAM supaya fokus penyelesaian kepengurusan
partai atau sengketa partai dititikberatkan pada pertimbangan yuridis belaka.
Itu maksud pembuat undang-undang. Pengalaman empirik belakangan ini
menunjukkan, pemerintah cenderung mengesahkan pengurus partai politik hasil
kongres luar biasa. Kita lihat, misalnya, kepengurusan Agung Laksono sebagai
hasil KLB Partai Golkar sebagai tandingan kepengurusan Aburizal Bakrie.
Pemerintah mengesahkan kepengurusan Agung Laksono. Pemerintah juga mengesahkan kepengurusan
Romahurmuziy yang lahir dari muktamar luar biasa PPP, dibandingkan
kepengurusan Djan Faridz yang dihasilkan Muktamar non-luar biasa. Kasus
teranyar adalah pertikaian antara Tommy Soeharto dan Muchdi PR di Partai
Berkarya. Pemerintah mengesahkan kepengurusan Muchdi yang lahir dari hasil
KLB Partai Berkarya. Apa pun posisi pemerintah kelak, pasti
salah satu pihak akan membawa keputusan pemerintah tersebut ke ranah hukum.
Pengadilan akan menjadi pengadil, siapa sesungguhnya yang sah: kepengurusan
Moeldoko atau AHY. Apabila jalur pengadilan yang ditempuh, napas kedua belah
pihak yang bertikai harus panjang karena proses hukum yang ditempuhnya pun
harus panjang. Kedua belah pihak harus menyiapkan
argumentasi yuridis yang kuat. Untuk sekarang ini, argumentasi yuridis pihak
AHY masih sangat kuat karena mekanisme penyelenggaraan KLB yang memilih
Moeldoko tidak terpenuhi sama sekali, antara lain terlewatinya mekanisme
usulan dari majelis kehormatan partai. Begitu juga dengan usulan para
pengurus daerah dan cabang yang nihil. Masih dalam argumentasi yuridis, pihak
Moeldoko harus kerja ekstra keras untuk berargumentasi kelak di pengadilan
tentang perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai.
Konstitusi partai tersebut diubah melalui KLB yang masih dipersoalkan
keabsahannya. Semua ini bakal menjadi pertanyaan elementer pengadilan kelak. Posisi
pemerintah Terlepas dari adu argumentasi legal itu,
pihak Moeldoko harus menjawab pertanyaan politik: bagaimana dengan penolakan
para pengurus daerah dan cabang Partai Demokrat yang kian marak hari-hari
ini? Mereka merasa sebagai pemilik sah suara di kongres partai, tetapi mereka
tidak pernah memberi mandat kepada Moeldoko untuk memimpin mereka? Yang pasti, ketiga kasus sengketa internal
partai itu, Partai Golkar, PPP dan Partai Berkarya, tatkala dibawa ke
pengadilan, para hakim memutuskan kepengurusan dari hasil kongres atau
muktamar luar biasa selalu dinyatakan kalah. Pengadilan berpihak kepada
pengurus yang lahir dari kongres atau muktamar normal. Dalam kisruh Partai Demokrat ini, ada yang
mencoba mengajukan tesis: Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang memang berseberangan dengan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), akan mendesak Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang kader
PDI-P, mengesahkan kepengurusan Moeldoko. Saya tepis kemungkinan itu karena
Megawati pernah menunjukkan kenetralannya dalam sengketa internal partai
politik. Ketika ia menjadi presiden menggantikan Gus
Dur, terjadi sengketa internal PKB, yang memperhadapkan Gus Dur dengan Matori
Abdul Jalil. Megawati sama sekali tidak mencampurinya. Sebagaimana pengakuan
Yusri Ihza Mahendra yang ketika itu menjadi Menteri Hukum dan HAM, ia tidak
pernah diperintahkan atasannya, Megawati, untuk mengesahkan kepengurusan mana
yang dikehendakinya. Yang jelas, apa pun keputusan Menteri Hukum
dan HAM kelak, akan menjawab pertanyaan: apakah Presiden Jokowi menyetujui
atau tidak menyetujui gerakan Moeldoko mengambil alih kepemimpinan Partai
Demokrat, dari tangan AHY, yang lahir dari hasil kongres normal dan telah
disahkan pemerintah. Mari kita tunggu adegan berikutnya dari drama politik di
negeri kita ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar