Inovasi
Pemetaan Gambut
Hasanuddin Z Abidin ; Kepala Badan Informasi Geospasial Republik Indonesia
|
KOMPAS,
09 April
2018
Musim hujan yang mulai berkurang
April ini, perlu ditindaklanjuti agar keberhasilan mencegah kebakaran hutan
dan lahan terus berlanjut. Salah satunya adalah merestorasi lahan gambut.
Kegiatan restorasi dikoordinatori
oleh Badan Restorasi Gambut (BRG). Namun, upaya ini bukanlah tanpa hambatan.
Kendala utama adalah minim dan kurang barunya data dan informasi terkait
peta-peta gambut sebagai acuan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan
restorasi gambut. Minimnya peta-peta tersebut memperlambat pelaksanaan
restorasi di lapangan dan menyulitkan koordinasi dengan pemilik lahan, baik
di dalam dan di luar konsesi, untuk melakukan kegiatan restorasi.
Sebagai contoh, peta fungsi
ekosistem gambut yang belum diperbaharui menimbulkan ketidakpastian mengenai
penetapan area gambut dengan fungsi lindung dan fungsi budi dayanya. Beberapa
data dan informasi gambut di peta tersebut juga dinilai tidak lagi sesuai
dengan keadaan saat ini. Dengan data yang kurang akurat tersebut, upaya
restorasi yang diprioritaskan pada fungsi lindung terhambat.
Selain itu, ketidakpastian juga
menyebabkan kurang tajamnya arahan pemerintah kepada pemilik lahan terkait
upaya restorasi seperti pembasahan dan penanaman kembali. Padahal,
perlindungan gambut patut diutamakan. Gambut sangat kaya akan karbon. Jika
dilepaskan ke udara akan menyebabkan perubahan iklim, memperburuk bencana
seperti banjir, badai, dan menurunkan kualitas hidup masyarakat.
Tahun 2015, kebakaran gambut
menghasilkan 2,57 gigaton karbon, setara dengan emisi yang dihasilkan 2.500
pabrik batu bara. Itu sebabnya Presiden Joko Widodo mencanangkan pengelolaan
gambut sebagai salah satu strategi andalan untuk mengurangi emisi karbon
Indonesia melalui pembentukan BRG.
Pemetaan
jadi acuan
Untuk melindungi lahan gambut dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat, langkah krusial yang perlu adalah
memetakan gambut termasuk lokasi, luasan, ketebalan dan tata airnya. Berbagai
informasi ini akan bermanfaat untuk mengidentifikasi area gambut yang harus
dikonservasi dan direstorasi maupun area budi daya.
Indonesia setidaknya memiliki tiga
peta gambut, diterbitkan oleh Program Perencanaan Fisik Regional untuk
Transmigrasi pada 1989, Wetlands International pada 2004, dan Kementerian
Pertanian pada 2011. Apakah pemetaan gambut masih dibutuhkan dengan
keberadaan peta-peta tersebut?
Ketiga peta mengandung informasi
tentang luasan dan ketebalan gambut, tetapi peta-peta tersebut memiliki skala
terlalu kecil, yakni 1:250.000. Berarti 1 sentimeter di atas peta setara
dengan 2,5 kilometer di lapangan. Peta dengan skala tersebut dapat menjadi
referensi perencanaan skala nasional seperti mengembangkan peta moratorium
hutan nasional, tetapi tidak cukup untuk kebijakan pengelolaan gambut di
tingkatan tapak, termasuk restorasi, yang membutuhkan peta dengan skala
minimum 1:50.000.
Peta-peta itu perlu diperbarui
agar akurat menggambarkan data dan informasi gambut saat ini, mengingat
luasan dan ketebalan gambut dapat berubah akibat aktivitas di lahan gambut,
seperti pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan.
Selain itu, mengukur ketebalan
gambut bukan pekerjaan mudah. Pengetahuan akan ketebalan gambut amat penting
mengingat ketebalan gambut menggambarkan volume karbon yang tersimpan di
dalamnya. Kedalaman gambut juga menjadi kunci pengelolaan dan restorasi lahan
gambut yang terdegradasi.
Namun, tidak adanya metode yang
disepakati bersama oleh para ilmuwan untuk mengukur gambut, khususnya
mengukur ketebalan gambut, telah menghambat upaya untuk menghasilkan peta
gambut yang paling baik dan kredibel.
Upaya
kreatif
Kombinasi berbagai tantangan dan
situasi ini membutuhkan upaya kreatif dan inovatif dalam memetakan lahan
gambut di Indonesia. Pada era teknologi informasi di mana banyak aplikasi
komputer, teknik pemodelan dan analisis, dan bemunculannya inovasi
penginderaan jauh, logis jika kita berasumsi bahwa ada para pihak yang
memikirkan metode teknis pemetaan gambut yang akurat, terjangkau, dan cepat.
Masalahnya, bagaimana menemukan orang-orang tersebut dan mendapatkan metode
pemetaan gambut yang optimal? Jawabannya adalah melalui kompetisi skala
dunia.
Untuk itu, Badan Informasi
Geospasial (BIG) bersama Yayasan David and Lucile Packard menggagas kompetisi
Indonesian Peat Prize untuk menemukan metode pemetaan lahan gambut yang
akurat, cepat, dan terjangkau dengan hadiah 1 juta dollar AS atau setara Rp
13 miliar.
Kompetisi diluncurkan pada 2
Februari 2016. Kompetisi mensyaratkan setiap kelompok peserta untuk bermitra
dengan peserta dari Indonesia agar ada transfer teknologi dan pengetahuan
pemetaan gambut ke Indonesia.
Kompetisi menarik peserta lebih
dari 10 negara yang bermitra dengan universitas terkemuka Indonesia, lembaga
penelitian pemerintah, LSM lingkungan, hingga perusahaan konsultan
profesional. Metode yang ditawarkan dari penggunaan gelombang
elektromagnetik, Light Detection and Ranging (Lidar), model machine learning,
citra satelit, hingga pengukuran lapangan.
Kolaborasi
ilmiah
Untuk memastikan kompetisi
Indonesian Peat Prize, dibentuklah Dewan Penasihat Ilmiah, yang
merekomendasikan finalis dan pemenang kepada Badan Informasi Geospasial.
Beberapa institusi yang termasuk dalam Dewan Penasihat Ilmiah mencakup
Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada,
Institut Teknologi Bandung, CIFOR, NASA Jet Propulsion Laboratory,
Universitas Leicester, European Space Agency, dan sebagainya.
Untuk memastikan tercapainya
pengelolaan lahan gambut yang lebih efisien dan efektif di seluruh Indonesia
melalui pemetaan gambut yang baik, metode pemenang kompetisi Indonesian Peat
Prize akan menjadi referensi memperbaiki Standar Nasional Indonesia (SNI)
pada pemetaan lahan gambut skala operasional 1:50.000. Ini akan bermanfaat
bagi perencanaan lahan gambut di tingkat tapak.
Akhirnya, metode pemetaan gambut
pemenang Indonesian Peat Prize, diharapkan dapat meningkatkan kualitas
informasi geospasial terkait lahan gambut di Indonesia dan semakin mendukung
pengambilan kebijakan yang berbasiskan data dan informasi yang akurat.
Dengan demikian, hal itu dapat
membantu Indonesia mencapai berbagai target pengurangan emisi dan pembangunan
berkelanjutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar