Jangan Bunuh KPK
Aradila Caesar Ifmaini Idris ; Peneliti Hukum ICW
|
KORAN
SINDO, 10 Oktober 2015
Usulan revisi
UU KPK kembali mencuat ke permukaan. Setelah beberapa waktu lalu usulan ini
ditolak Presiden Jokowi karena dirasa belum dibutuhkan. Kini usulan itu
gencar disuarakan oleh anggota DPR.
DPR beralasan
hal ini penting dilakukan untuk menyempurnakan kelembagaan KPK. Ide penguatan
KPK tentu sejalan dengan aspirasi setiap rakyat Indonesia yang menginginkan
KPK kuat. Sayangnya, ide penguatan KPK tak dibarengi logika yang sejalan
dengan hasil rumusan RUU KPK. Masih banyak substansi atau materi muatan RUU
KPK yang tak mencerminkan semangat penguatan.
RUU KPK seolah
memberikan gambaran bahwa ada persolan serius yang tak dipahami DPR soal ide
penguatan. Ataukah, DPR menggunakan perspektif yang berbeda? Sulit rasanya
mengamini logika penguatan KPK jika melihat substansi dalam RUU tersebut.
Alih-alih memperkuat KPK pada kenyataannya rumusan pasal dalam RUU KPK
seperti mencoba membunuh KPK secara perlahan.
Dalam temuan
ICW setidaknya persoalan dalam RUU KPK dapat dikelompokkan dalam tiga
persoalan besar. Di antaranya persoalan eksistensi KPK, kewenangan penegakan
hukum KPK, dan soal kelembagaan. Eksistensi KPK menjadi persoalan yang paling
fundamental. Keberadaan lembaga ini sepertinya coba dimatikan secara
perlahan. RUU hanya membatasi usia KPK selama 12 tahun sejak RUU disahkan.
Artinya,
setelah 12 tahun KPK hanya akan menjadi catatan sejarah karena bubar dengan
sendirinya. Pertanyaan yang perlu diperhatikan, mengapa dibatasi selama 12
tahun? Apakah dalam 12 tahun ada jaminan Indonesia bebas dari korupsi?
Sebagai perbandingan untuk jawaban itu perlu kiranya merujuk pada praktik
negara lain. Hong Kong memiliki ICAC yang dibentuk pada 1974.
Pembentukan
ICAC merupakan upaya Hong Kong untuk menyelesaikan persoalan korupsi yang
sangat kronis kala itu. Berkat ICAC kini Hong Kong menjadi salah satu negara
paling bersih di Asia. Keberhasilan itu tak serta-merta Hong Kong membubarkan
ICAC. ICAC masih berdiri kokoh dan terus menjalankan mandat pemberantasan
korupsi.
Keberadaan
lembaga antikorupsi tetap diperlukan meski negara telah bebas dari korupsi.
Hal ini juga merupakan amanah United
Nation Contion Against Corruption (UNCAC) PBB yang sudah diratifikasi
Indonesia. Dalam Pasal 6 disebutkan setiap negara dengan memperhatikan sistem
hukumnya harus memastikan keberadaan sebuah lembaga yang secara khusus
berkaitan dengan urusan pemberantasan korupsi, dalam hal ini KPK. Penghapusan
KPK merupakan pilihan paling tak logis dan tak berdasar jika pemberantasan
korupsi merupakan agenda prioritas nasional.
Penegakan Hukum
RUU KPK seolah
ingin memisahkan penegakan hukum bukan bagian dari pemberantasan korupsi.
Baik dalam konsideran maupun substansi RUU jelas memperlihatkan hal tersebut.
Dalam ketentuan umum definisi antara pemberantasan korupsi dan penegakan
hukum bahkan dipisah.
Penegakan
hukum yang KPK lakukan selama ini bukanlah merupakan upaya pemberantasan
korupsi dalam RUU KPK. Tentu hal ini berimplikasi besar pada tugas dan
kewenangan KPK. Dengan memisahkan dua hal tersebut, pembentuk UU menginginkan
KPK lebih banyak fokus pada pencegahan.
Logika ini
berbanding terbalik dari logika pembentukan KPK. Salah satu alasan lahirnya
KPK adalah ketidakefektifan institusi penegak hukum lain dalam memberantas
korupsi. Kewenangan penegakan hukum KPK melalui penindakan masih sangat
dibutuhkan. ICW mencatat sejak 2010 baik kepolisian dan kejaksaan masih
memiliki ribuan tunggakan kasus korupsi yang tak tuntas (lihat Tren Korupsi
ICW).
Mereduksi
fungsi penegakan hukum KPK juga dilakukan dalam ketentuan penuntutan KPK. RUU
secara tegas menyatakan penuntut umum adalah jaksa pada lembaga Kejaksaan
Agung, bukan pada institusi KPK. Implikasinya proses penuntutan hanya dapat
dilakukan oleh jaksa penuntut umum yang bertugas di institusi kejaksaan.
Berbeda dengan UU 30 Tahun 2002 tentang KPK di mana penuntut umum adalah
jaksa yang bertugas di KPK sehingga kewenangan penuntutan dipegang oleh penuntut
umum KPK.
Proses
penuntutan yang dilakukan kejaksaan akhirnya akan menimbulkan persoalan
birokrasi yang berbelit-belit. Kewenangan penegakan hukum KPK yang berada
dalam satu atap justru lebih efektif. Sistem ini meminimalisasi bolak- balik
perkara antara penyidik dan penuntut umum.
Selain itu,
sistem penuntutan yang tak satu atap juga memunculkan peluang penghentian
perkara oleh kejaksaan. Selain hal tersebut, yang perlu diperhatikan adalah
rapor penuntutan di kejaksaan. Tren Vonis ICW 2014-2015 sedikitnya mencatat
ada 86 terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas pengadilan tipikor. Artinya,
penuntut umum gagal membuktikan bahwa terdakwa bersalah dalam dugaan kasus
korupsi. Hal ini berbanding terbalik dengan KPK yang memiliki 100% conviction rate.
Kelembagaan KPK
Kelembagaan
KPK pun tak luput dari upaya pelemahan. Upaya ini seakan melengkapi berbagai
upaya pelemahan dalam RUU. Dalam susunan kelembagaan KPK versi RUU, penasihat
KPK dihilangkan dan diganti dengan dewan eksekutif. Jika dilihat lebih jauh,
ada dua persoalan besar dari kehadiran dewan eksekutif.
Pertama,
persoalan seleksi dewan eksekutif. RUU mengamanatkan pemilihan dewan
eksekutif dilakukan laiknya pemilihan calon komisioner KPK. Ada tahapan
seleksi yang harus diikuti hingga terpilih anggota dewan eksekutif. Proses
yang demikian tentu akan menghabiskan anggaran yang dapat dialokasikan untuk
keperluan KPK lainnya. Di samping akan memakan waktu yang cukup panjang dan
melelahkan.
Proses
pemilihan diakhiri dengan dipilihnya anggota dewan eksekutif oleh Presiden.
Dewan eksekutif dalam hal ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Karena dipilih oleh Presiden, artinya dewan eksekutif juga bertanggung jawab
pada Presiden. Ketentuan ini tentu akan mengganggu independensi KPK sebagai
lembaga yang juga mengawasi kekuasaan eksekutif.
Kedua, tugas
dan wewenang dewan eksekutif sedikit-banyak tumpang tindih dengan kewenangan
komisioner KPK. Persoalan ini akan menimbulkan masalah serius di
keorganisasian KPK. KPK sebagai organisasi yang terus tumbuh juga dibonsai
dengan membatasi rekrutmen pegawai secara mandiri. RUU KPK mengamanatkan
pegawai KPK merupakan PNS pada kepolisian, kejaksaan, BPK, dan Kementerian
Informasi.
Ketentuan ini menutup celah bagi KPK untuk merekrut orang-orang
yang memiliki kualifikasi baik untuk bergabung dengan KPK. Dengan berbagai
persoalan dalam RUU KPK, tidak salah rasanya jika menilai semangat RUU KPK
ini adalah melemahkan KPK. RUU KPK ini dapat dinilai sebagai upaya pembunuhan
berencana pada kerja-kerja KPK dan pemberantasan korupsi. Sudah sewajarnya
pemerintah menolak dan menarik dukungan atas rencana pembahasan UU KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar