Pelayanan
Penyakit Jantung Anak Wira Dika Orizha Piliang ; Ketua Divisi Litbang GMNI
Universitas Andalas |
KOMPAS,
06 April
2021
Istilah radikalisme berasal dari bahasa
latin, yaitu radix atau radicis yang berarti akar. Dalam bahasa Inggris, kata
radical dapat bermakna ekstrem, menyeluruh, fanatik, revolusioner, dan
fundamental. Dari sisi bahasa, istilah radikal
sebenarnya netral, bisa berarti positif ataupun negatif. Mitsuo Nakamura,
seorang antropolog dalam tulisannya menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama adalah
organisasi yang berwatak tradisionalisme radikal. Istilah radikal dipilih oleh Mitsuo
Nakamura untuk menggambarkan bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang
otonom dan independen, dan bukan merupakan derivasi dari organisasi yang
lain. Secara definitif, radikalisme merupakan
suatu sikap atau pemahaman yang mendambakan perubahan secara total dan
bersifat revolusioner dengan cara menodai nilai-nilai yang ada, sehingga
sering kali berkaitan dengan gerakan ekstremis yang terimplementasikan
melalui aksi-aksi terorisme. Sederhananya, radikalisme adalah embrio
dari lahirnya gerakan-gerakan terorisme yang berkembang hingga saat ini.
Kejadian bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan pada
Minggu (28/3/2021) lalu, menambah catatan kelam aksi terorisme yang terjadi
di Indonesia dan merupakan pekerjaan rumah yang berkelanjutan untuk
diselesaikan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Lahan
subur terorisme Terorisme tidak hanya berbicara mengenai
siapa pelaku, kelompok ataupun jaringannya. Lebih dari itu, terorisme
merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang
bisa menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya paham radikal tergantung di
mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme
sulit untuk menemukan tempat. Sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur,
maka ia akan cepat berkembang. Anomalinya adalah bahwa paham radikal itu
seperti jamur, ia akan tumbuh di tempat lembap. Sebagai bangsa yang plural,
bangsa kita tentu menjadi lahan subur bagi paham radikal untuk berkembang di
dalamnya. Islam
dan stereotip radikalisme Secara historis, sebenarnya istilah
radikalisme diproduksi pertama kali oleh negara Barat. Akan tetapi, perilaku
dan gejala kekerasan yang mengatasnamakan agama itu dapat ditemukan dalam
sejarah dan tradisi umat Islam. Fenomena radikalisme yang terdapat dalam
masyarakat Islam, sebenarnya diyakini sebagai gejala penyakit keberagamaan
yang muncul pada abad ke-20 di dunia islam, dan lahir di wilayah Timur
Tengah. Hal tersebut terjadi sebagai hasil dari krisis identitas agama yang
berujung pada resistensi dan reaksi terhadap negara-negara Barat yang kerap
kali melebarkan modernisasi, kolonialisme dan imperialisme ke dunia
masyarakat Islam. Di Indonesia sebenarnya aksi terorisme
bukanlah hal yang baru. Era Reformasi yang memberikan keterbukaan informasi
dan kebebasan dalam mengekspresikan sesuatu, mengakibatkan paham radikalisme
akan sangat mudah untuk berkembang, tanpa terkecuali dalam topeng
religiositas sekalipun. Indonesia sebagai negara yang bersifat
heterogenitas secara kultural di dalamnya, akan menjadikan perkembangan paham
radikalisme semakin diterima secara mentah oleh masyarakat di Indonesia.
Ditambah lagi dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, menjadikan
kesadaran akan bahaya dari paham radikalisme oleh masyarakat di Indonesia
juga terbatas. Radikalisme Islam di Indonesia muncul dan
dipicu oleh persoalan domestik, di samping itu sebenarnya juga diakibatkan
oleh konstelasi politik internasional yang dinilai telah memojokkan kehidupan
sosial politik umat Islam. Dalam konteks domestik, misalnya, berbagai
kemelut telah melibatkan kelompok islam di Indonesia, mulai dari pembantaian
kiai yang berkedok dukun santet di Poso tahun 1998, maupun juga tragedi yang
terjadi di Ambon pada 1999. Akan tetapi, meskipun telah memakan korban,
kemelut tersebut tidak segera mendapat penanganan eksklusif dari pemerintah.
Akibatnya, hal itu memunculkan inisiatif dari kelompok Islam tertentu di
Indonesia untuk melakukan perlawanan. Radikalisme
dan agama Merujuk pada konsep radikalisme yang kita
pahami bersama, perlu digarisbawahi bahwa paham radikalisme tidak bisa untuk
disandingkan pada kelompok masyarakat ataupun agama tertentu. Radikalisme merupakan pemahaman yang tumbuh
di dalam setiap individu, dalam menyikapi suatu hal dengan aksi-aksi yang
ekstrem. Radikalisme tak seharusnya terfokus pada
umat Islam. Jika kita interpretasikan kembali konsep perlawanan yang kemudian
melahirkan gerakan ekstremis, maka siapapun juga memiliki tindakan radikal
masing-masing tanpa terbatas aliran kepercayaan apapun. Pemahaman agama mempunyai pengaruh yang
sangat kuat terhadap sikap pemeluknya. Secara literal, Islam berarti pasrah
kepada Tuhan dan kedamaian. Kedamaian dalam Islam mengacu pada kondisi batin
yang ada pada setiap individu yang mengamalkan Islam, yakni seseorang yang
berusaha memahami dan menjalankan kehendak Tuhan. Namun perjalanan hidup seseorang tidak
terlepas dengan permasalahan yang dihadapi. Hal ini berpengaruh terhadap
pemahaman dan pengamalan agama, yang terkadang menarik dan mendorong seorang
individu kepada tindakan ekstremisme karena menyangkut keyakinan dan
nilai-nilai yang ada di dalamnya. Pada hakikatnya, setiap agama tidaklah
mengajarkan kekerasan dan cara-cara yang tidak manusiawi. Pemahaman radikal muncul seiring dengan
tekanan terhadap kelompok masyarakat, dan tidak terpaku hanya kepada golongan
tertentu. Cara-cara perlawanan ekstrem yang cenderung
lahir dari adanya pemahaman radikal juga tak mencerminkan masyarakat
Indonesia dalam hidup berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi segala
bentuk keberagaman yang ada. Hal ini dibuktikan dengan slogan Bhinneka
Tunggal Ika dalam menjunjung tinggi persatuan di atas keberagaman yang
menghiasi warna persaudaraan di Indonesia. Pada akhirnya, berangkat dari impian
kehidupan damai dalam masyarakat yang multikultural di Indonesia, peran
negara memang sangat diperlukan. Karl Marx, seorang filsuf dari Jerman
menyatakan bahwa negara merupakan satu organisasi kekuasaan yang
mempertahankan dirinya terhadap organisasi yang lainnya. Artinya, negara
dalam hal ini berkewajiban untuk ikut andil dalam perdamaian di wilayahnya,
serta wajib untuk membentengi diri dari serangan paham-paham yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di wilayahnya. Menumbuhkan kembali semangat Pancasila
dalam koridor persatuan adalah mutlak dilakukan. ● |
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTulisan ini judulnya bukan pelayanan penyakit jantung anak pak. Btw, bapaknya kerja di Kompas, atau comot tulisan dari kompas saja ya, Pak?
BalasHapus