Jumat, 09 April 2021

 

Jakarta Setelah Tidak Lagi Menjadi Ibu Kota

 Irfan Ridwan Maksum ; Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi Negara-UI; Ketua Klaster Democracy and Local Governance

                                                         KOMPAS, 07 April 2021

 

 

                                                           

Langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memindahkan ibu kota RI ke wilayah Kalimantan Timur membawa konsekuensi terhadap DKI Jakarta yang akan datang, setelah tidak menjadi ibu kota.

 

Pertanyaan pentingnya adalah seperti apakah nantinya tata kelola internal Kota Jakarta, hubungan dengan Pemerintah Pusat dan nasib kekhususan Jakarta itu sendiri?

 

Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang jitu terkait desain kelembagaan Kota Jakarta kelak, mengingat beban Jakarta yang begitu besar, permasalahan perkotaan yang begitu dahsyat, dan tantangan ke depan yang dihadapi kota Jakarta yang tidak ringan, tentunya.

 

Artikel ini berupaya memberikan sumbang pikir, sehingga Jakarta justru mendapatkan predikat ”livable city” dan kota kelas dunia yang makin nyaman.

 

Tetap melekat

 

Jakarta setelah bukan ibu kota adalah sebuah provinsi berkarakter urban. Tidak tanggung-tanggung mega-urban atau biasa disebut megalopolitan. Provinsi lain tidak ada yang memiliki karakter seperti Jakarta. Provinsi lain masih didominasi perdesaan (rural area). Jakarta adalah megalopolitan, setidaknya menurut catatan Bank Dunia (2015) masuk dalam 20 megalopolitan dunia.

 

Jakarta adalah kota di atas tipikal kota metropolitan. Metropolitan adalah kota dengan dua atau lebih Central Business District (CBD). Dalam bahasa planolog, kota metropolitan adalah kota dengan lebih dari dua nukleus, pusat kota. Kota metropolitan berada di atas kota kecil yang memiliki satu pusat kota. Sebuah Megalapolitan membentuk jejaring antar-metropolitan. Fakta ini melekat di Kota Jakarta meski status ibu kota pindah.

 

Fakta empiris tersebut, selama ini tidak diakomodasi dalam payung hukum pemerintahan di Indonesia. Bangsa Indonesia lebih memiliki mengatur dan mengurus desa-desa di Indonesia daripada kota-kota, padahal seluruh wilayah di Indonesia berkembang menjadi perkotaan kelak, sesuai dengan perkembangan peradaban manusia dan pertumbuhan penduduk.

 

Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No 23/ 2014, terdapat hanya satu pasal mengatur mengenai wilayah kota belum operasional. UU No 23/2014 sudah menyinggung konsep metropolitan, tetapi belum mega urban atau megalopolitan atau megacity (lihat Bab XV Pasal 355 sampai dengan Pasal 359 UU No 23/ 2014).

 

Pasal 355 (1) Perkotaan adalah wilayah dengan batas-batas tertentu yang masyarakatnya mempunyai kegiatan utama di bidang industri dan jasa. (2) Perkotaan dapat berbentuk: a. kota sebagai Daerah; dan b. kawasan perkotaan. (3) Kawasan Perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa: a. bagian Daerah kabupaten; dan b. bagian dari dua atau lebih Daerah yang berbatasan langsung. (4) Penyelenggaraan pemerintahan pada kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

 

Pasal 356 (1) Kawasan perkotaan dapat terbentuk secara alami atau dibentuk secara terencana. (2) Kawasan perkotaan yang dibentuk secara terencana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah dan/ atau badan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal selanjutnya tidak secara langsung berkaitan dengan kelembagaan perkotaan juga yang lebih akomodatif terhadap fenomena empirik kota-kota di Indonesia.

 

Perkembangan Jakarta yang dahsyat dan juga akan dialami oleh kota-kota lain di Indonesia, tidak cukup baik ditata oleh bangsa Indonesia melihat bangun pengaturan wilayah perkotaan dalam UU pemerintahan daerah di atas. Dengan tidak menjadi ibu kota yang seolah bukan menjadi kekhususan lagi, Jakarta menghadapi persoalan serius kelembagaan kotanya karena kosongnya pengaturan kelembagaan perkotaan nasional di Indonesia.

 

Inisiatif berani

 

Jika menunggu pengaturan payung hukum nasional mengenai perkotaan di Indonesia, tentu akan memakan waktu lama. Tetapi, memindahkan ibu kota dari Jakarta ke mana pun harus tetap memikirkan disain kelembagaan Kota Jakarta, nantinya. Harus dihindari pindah ibu kota, tetapi status Jakarta masih juga sebagai ibu kota. Dapat terjadi ibu kota negara kembar. Ini dapat menyebabkan chaos.

 

Pemerintah perlu memikirkan desain kerangka waktu untuk mengatur hal ini sembari berorientasi menyusun kelembagaan Jakarta seperti apa nantinya jika tidak sebagai ibu kota. Sementara pemerintah menyiapkan ibu kota baru, Jakarta masih difungsikan sebagai ibu kota transisi.

 

Ibu kota transisi ini dapat mempertahankan kelembagaan seperti sekarang. Setelah transisi, baru Jakarta setelah bukan ibu kota harus diatur. Lebih tepatnya peraturan perundangan yang mengatur persiapan ibu kota baru, Jakarta Transisi dan Jakarta setelah bukan ibu kota ada dalam satu produk hukum, katakanlah peraturan pengganti undang-undang (perppu).

 

Karakter ”megalopolitan” ditandai oleh nilai-nilai yang tunggal sebagai sebuah ”super-big city”. Integrasi fungsional berbagai aspek kehidupan Kota Raya Jakarta ini harus ditegakkan agar kota ini lincah, cepat, dan memiliki daya saing yang kuat dibanding kota-kota dunia lainnya.

 

Oleh karena itu, Jakarta setelah bukan ibu kota dapat didesain berdasarkan empat alternatif berikut. Pertama, terdapatnya struktur hirarkis yang sangat fragmented dan specialized. Di sini tidak diperlukan struktur kecamatan bahkan mungkin wali kota dan bupati.

 

Secara geografi kewilayahan masih tersusun kota-kota di dalam megalopolitan Jakarta, tetapi tidak ada struktur pejabat berbasis kewilayahan, melainkan tempat cabang special agent dari Pemerintah Megalopolitan Jakarta. Dewan Kota seperti sekarang tidak dibutuhkan kembali, melainkan terdapatnya Dewan Megalopolitan saja di tingkat provinsi sekarang. Tetapi, dapat saja dalam wilayah setingkat kelurahan dibentuk kelembagaan informal mirip ”city-wards” di Tokyo dengan collegial governance.

 

Kedua, kawasan perkotaan adalah kawasan maju dengan ciri sosial budaya ekonomi yang berbeda dengan kawasan perdesaan. Oleh karena itu, cocoknya dikembangkan stuktur ”managerialism”, seperti di USA dengan council-manager system. Terdapat Dewan Megalopolitan seperti DPRD sekarang, kemudian pemerintahan dijalankan oleh ”chief executive organizer” yang dipilih secara profesional.

 

Dewan megalopolitan seperti komisaris perusahaan, sedangkan CEO seperti direktur perusahaan. CEO bertanggung jawab kepada Dewan Megalopolitan. Dewan megalopolitan diisi melalui pileg dari sistem partai yang ada. Dalam alternatif ini, karena terdapat hubungan langsung antara DPRD dan CEO, sangat mudah terjebak politisasi dan menjadi mirip commissioner systems. Ini mirip Pemerintahan Daerah masa UU No 22/1999.

 

Alternatif ketiga, masih managerialism, terdapat kepemimpinan simbolik untuk komunikasi politik dengan dewan megalopolitan, yakni adanya kepala daerah seperti di Indonesia sekarang yang dipilih langsung oleh masyarakat, hanya tidak menjalankan pemerintahan sehari-hari.

 

Pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh CEO yang dipilih KDH yang harus mendapat persetujuan Dewan Megalopolitan. Hal tersebut merupakan modifikasi dari model council manager system” di AS di mana CEO dipilih oleh DPRD menghindari impeachment yang mudah dijatuhkan.

 

CEO dan organisasi birokrasinya layaknya direktur utama perusahaan dan jajarannya, bertanggung jawab kepada KDH. Dalam sistem di USA, bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah tidak berbuat banyak. Mirip masa pilkada langsung sekarang, hanya kepala daerah mengangkat CEO untuk memimpin keseharian pemerintahan dengan nilai-nilai publik megalopolitannya.

 

Yang terakhir, keempat yang dapat didesain untuk Jakarta kelak, adalah megalopolitan Jakarta terdiri dari dua lembaga besar. Pertama, Dewan Megalopolitan Jakarta yang unsurnya terdiri dari DPRD dan KDH dan kedua, Badan Eksekutif Megalopolitan yang terdiri dari direktur utama dan para direksinya.

 

Dewan Megalopolitan berwenang mengatur (politis) berbagai urusan yang menjadi hak dan kewajiban Kota Jakarta, sedangkan badan eksekutif megalopolitan berwenang mengurus (administrative)-nya. Hampir sama dengan alternatif ke-3, hanya kepala daerah membawahi Badan Eksekutif Megalopolitan Jakarta yang dikepalai oleh direktur utama dan jajarannya seperti perusahaan.

 

Badan Eksekutif Megalopolitan ini bertanggung jawab kepada KDH. Kepala daerah mengawasi Badan Eksekutif Megalopolitan Jakarta yang dilaporkan kepada DPRD. DPRD adalah partner KDH dalam pengawasan kepada Badan Eksekutif Megalopolitan ini. DPRD dan KDH mengatur segala aspek yang dijalankan Badan Eksekutif Megalopolitan Jakarta ini sesuai wewenang yang dimiliki Megalopolitan Jakarta.

 

Pemerintah dapat memilih salah satu di antara alternatif di atas agar Jakarta bukan seperti Provinsi lain di Indonesia dengan tantangan khas ”super-big city” dengan menjadikan Jakarta sebagai kota cerdas kelas dunia. Masuk atau tidaknya wilayah di sekitar Jakarta dapat menyesuaikan kelembagaan di atas. Tidak perlu dirisaukan jika wilayahnya bertambah besar atau tetap. Inilah kekhususan yang melekat di Jakarta sehingga lembaganya pun harus tetap diatur khusus. Semoga. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar