Daniel
Dhakidae, Cendekiawan Pendaki Robert Bala ; Diploma Resolusi Konfik Asia
Pasifik, Universidad Complutense de Madrid |
KOMPAS,
07 April
2021
Kabar wafatnya Daniel Dhakidae cukup
mengagetkan. Pria kelahiran Toto-Wolowae, Ngada, ini wafat di usianya yang
ke-76. Sebuah kehilangan karena ia adalah seorang pemikir hebat. Di setiap
tulisan baik artikel maupun buku, ia selalu sertakan konteks yang menjadi
rahim lahirnya sebuah pemikiran. Secara pribadi, saya hanya bertemu Daniel
dalam dua kesempatan. Pertama, tahun 1994, dalam sebuah seminar di STFK
Ledalero. Daniel mengupas sejarah misi mengaitkan dengan perubahan politik di
Eropa saat itu. Dalam sebuah candaannya, ia menyeletuk ironis tentang
terminologi ’awam’ untuk membedakannya dari kaum biarawan. Harusnya orang
risih kalau seseorang yang punya kompetensi teruji di masyarakat hanya disapa
sebagai ’awam’. Pertemuan kedua tahun 2006 di ruangannya,
Litbang Kompas. Saya tidak ingat topik pembicaraan saat itu. Yang terekam
kuat hingga kini hanyalah kesan tentang tumpukan buku di atas meja. Hal itu
memberi kesan tentang target buku yang harus dibaca setiap hari. Selebihnya tidak ada. Hanya sekitar tahun
2008, seorang sahabat menginformasikan bahwa Daniel menjadi salah satu
kandidat rektor UMN. Saya hanya manggut sambil mengatakan bahwa ia memang
pantas untuk itu. Kualitas intelektualitasnya sangat tidak diragukan. Analisis
wacana Membaca berbagai tulisan baik artikel
maupun buku cepat diketahui bahwa Daniel sangat menonjol dalam hal discourse
analysis (analisis wacana). Dalam menulis tentang pemikiran orang, pria
kelahiran 22 Agustus 1945 ini, tidak seperti banyak penulis membahas biografi
atau pemikiran cendekiawan. Ia meneropong melampaui batasan-batasan yang ada. Dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam
Negara Orde Baru, 2003, alumnus Seminari Todabelu ini tidak menguraikan
definisi tentang cendekiawan. Definsi, baginya, seakan menarik fakta dari
sebuah substansi. Hal itu tidak bisa diterapkan untuk cendekiawan, seorang
cendekiawan hanya bisa dimengerti dalam relasi dengan modal, kekuasaan, dan
kebudayaan. Modal yang dimaksud tentu tidak terbatas
pada kekuatan finansial. Modal lebih dimaknai sebagai kekuatan yang dimiliki
yang bila dioptimalkan dapat memberi manfaat. Sayangnya, kekuatan itu kerap
tidak dimanfaatkan secara produktif. Yang terjadi, modal itu tidak
dioptimalkan sehingga memberi ruang bagi penguasa untuk melaksanakan fugsi
yang destruktif. Atas kesadaran ini, cendekiawan hanya akan
terbukti ketika ia terus berada dalam proses menjadi. Modal diri harusnya
dapat ditransformasi secara positif menjadi kekuatan. Kekuatan ini bila
dilaksanakan secara perlahan dan konsekuen sehingga dapat melahirkan budaya
yang lebih transformatif. Pendaki
sejati Keengganan memberikan definisi tentang
cendekiawan seakan menjadi pengalaman yang sama untuk bisa mendefinsikan
seorang Daniel Dhakidae. Pemikir multidimensional yang paham tentang
comparatve politics menjadi pemikir yang tidak bisa disimpulkan apalagi
didefinsikan. Yang bisa dilakukan adalah mereka-reka beberapa kekuatan yang
bisa menjadi pembanding. Pertama, kekuasaan sepertinya tidak
diartikan oleh Daniel sebagai kekuatan fisik. Soeharto yang pada masanya
menjadi representasi kekuasaan otoriter yang nyaris tak tertandingi, bagi
Daniel sebenarnya menjadi ironi. Kekuatan yang dimiliki sebenarnya
dikonstruksi dengan bantuan militer dan media. Hal itu menjadikan Soeharto
yang awalnya hanya seorang anak petugas desa pengatur air bisa memiliki
kekuasaan yang begitu dahsyat. Ini seakan suatu ironi yang tertuju kepada
para cendekiawan. Mereka yang sebenarnya melampaui Soeharto, memiliki modal
untuk turut berperan merancang pembentukan kekuasaan alternatif. Yang
terjadi, tidak sedikit cendekiawan yang seakan tak berdaya berhadapan dengan
kekuasaan. Kenyataan ini disebutnya sebagai kekacauan irasional yang hampir
tak terselamatkan. Kedua, sebagai cendekiawan, Dhakidae seakan
tidak menyukai jalan ’rata’. Hal yang bersifat biasa dan rutin dan melihat
realitas seperti apa adanya sangat jauh dari kegiatan berpikirnya. Demikain
juga fakta yang terjadi baik masa lalu, apalagi masa kini tidak pernah
diterima dan diwariskan begitu saja sekadar fakta. Dhakidae justru menyulut optimisme untuk
melakukan pendakian mencapai makna yang lebih mendalam. Makna itu yang
dimaksud diawali dengan rangkaian beberan kronologi untuk kemudian diberi
nyawa menjadi karya sejarah. Di sana semua fakta dipahami dalam konteks
sehingga akhirnya menjadi karya historiografis. Bila analisis tidak sampai ke jiwa sejarah
menghasilkan karya sejarah maka hal yang sangat ironis. Ia ibarat loteng
rumah yang dipenuhi benda-benda antik yang sudah lama ditinggalkan dalam
keadaan lusuh. Loteng itu ibarat kepala yang hanya meyimpan fakta sejarah,
tetapi tidak mampu mengaktualisasikannya menjadi bermanfaat. Karenanya, perlu
keberanian membongkar atau malah menyerunduknya agar debu bisa terangkat. Ketiga, analisis Dhakidae menjadi bermakna
kini bukan karena ia bisa diterapkan secara otomatis untuk konteks kini. Yang
justru terjadi bahwa ia sangat akrab dengan metode heuristik. Sebuah metode
yang pada saat menghasilkan sebuah karya, ia sangat akrab membuat analisis
dari perangkat yang disiapkan pada masanya seperti: buku, kamus, ensiklopedi,
dan juga surat kabar, majalah, jurnal. Dengan data yang heuristik pada
zamannya, ia sanggup membuat analisis kontekstual yang diharapkan memberi
jawaban atas masalah zaman itu. Dewasa ini, perangkat itu tentu berbeda.
Era digital menghadirkan secara lebih variatif dan kaya. Semua data heurestik
yang ada kini, yang mestinya dijadikan pijakan, tidak saja untuk dianalisis,
tetapi juga untuk menemukan solusi yang hanya cocok pada zamannya. Karya
Daniel, karenanya, hanya menjadi pembanding agar dapat diformulasikan figur
cendekiawan kini yang lebih sesuai dengan zaman. Kegalauan seperti inilah yang Daniel
rindukan. Ia seakan mendorong setiap cendekiawan untuk berani mendaki demi
mencapai puncak impian. Sebuah komitmen yang tentu melelahkan seperti
dikatakan Ingrid Bergman: ”Getting wise (old) is like climbing a mountain;
you get a little out of breath, but the view is much better!” Ia pastikan,
cara berpikirnya menjanjikan pemandangan hidup menjadi lebih baik. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar