Jumat, 09 April 2021

 

Daniel Dhakidae, Cendekiawan Pendaki

 Robert Bala ; Diploma Resolusi Konfik Asia Pasifik, Universidad Complutense de Madrid

                                                         KOMPAS, 07 April 2021

 

 

                                                           

Kabar wafatnya Daniel Dhakidae cukup mengagetkan. Pria kelahiran Toto-Wolowae, Ngada, ini wafat di usianya yang ke-76. Sebuah kehilangan karena ia adalah seorang pemikir hebat. Di setiap tulisan baik artikel maupun buku, ia selalu sertakan konteks yang menjadi rahim lahirnya sebuah pemikiran.

 

Secara pribadi, saya hanya bertemu Daniel dalam dua kesempatan. Pertama, tahun 1994, dalam sebuah seminar di STFK Ledalero. Daniel mengupas sejarah misi mengaitkan dengan perubahan politik di Eropa saat itu. Dalam sebuah candaannya, ia menyeletuk ironis tentang terminologi ’awam’ untuk membedakannya dari kaum biarawan. Harusnya orang risih kalau seseorang yang punya kompetensi teruji di masyarakat hanya disapa sebagai ’awam’.

 

Pertemuan kedua tahun 2006 di ruangannya, Litbang Kompas. Saya tidak ingat topik pembicaraan saat itu. Yang terekam kuat hingga kini hanyalah kesan tentang tumpukan buku di atas meja. Hal itu memberi kesan tentang target buku yang harus dibaca setiap hari.

 

Selebihnya tidak ada. Hanya sekitar tahun 2008, seorang sahabat menginformasikan bahwa Daniel menjadi salah satu kandidat rektor UMN. Saya hanya manggut sambil mengatakan bahwa ia memang pantas untuk itu. Kualitas intelektualitasnya sangat tidak diragukan.

 

Analisis wacana

 

Membaca berbagai tulisan baik artikel maupun buku cepat diketahui bahwa Daniel sangat menonjol dalam hal discourse analysis (analisis wacana). Dalam menulis tentang pemikiran orang, pria kelahiran 22 Agustus 1945 ini, tidak seperti banyak penulis membahas biografi atau pemikiran cendekiawan. Ia meneropong melampaui batasan-batasan yang ada.

 

Dalam buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, 2003, alumnus Seminari Todabelu ini tidak menguraikan definisi tentang cendekiawan. Definsi, baginya, seakan menarik fakta dari sebuah substansi. Hal itu tidak bisa diterapkan untuk cendekiawan, seorang cendekiawan hanya bisa dimengerti dalam relasi dengan modal, kekuasaan, dan kebudayaan.

 

Modal yang dimaksud tentu tidak terbatas pada kekuatan finansial. Modal lebih dimaknai sebagai kekuatan yang dimiliki yang bila dioptimalkan dapat memberi manfaat. Sayangnya, kekuatan itu kerap tidak dimanfaatkan secara produktif. Yang terjadi, modal itu tidak dioptimalkan sehingga memberi ruang bagi penguasa untuk melaksanakan fugsi yang destruktif.

 

Atas kesadaran ini, cendekiawan hanya akan terbukti ketika ia terus berada dalam proses menjadi. Modal diri harusnya dapat ditransformasi secara positif menjadi kekuatan. Kekuatan ini bila dilaksanakan secara perlahan dan konsekuen sehingga dapat melahirkan budaya yang lebih transformatif.

 

Pendaki sejati

 

Keengganan memberikan definisi tentang cendekiawan seakan menjadi pengalaman yang sama untuk bisa mendefinsikan seorang Daniel Dhakidae. Pemikir multidimensional yang paham tentang comparatve politics menjadi pemikir yang tidak bisa disimpulkan apalagi didefinsikan. Yang bisa dilakukan adalah mereka-reka beberapa kekuatan yang bisa menjadi pembanding.

 

Pertama, kekuasaan sepertinya tidak diartikan oleh Daniel sebagai kekuatan fisik. Soeharto yang pada masanya menjadi representasi kekuasaan otoriter yang nyaris tak tertandingi, bagi Daniel sebenarnya menjadi ironi. Kekuatan yang dimiliki sebenarnya dikonstruksi dengan bantuan militer dan media. Hal itu menjadikan Soeharto yang awalnya hanya seorang anak petugas desa pengatur air bisa memiliki kekuasaan yang begitu dahsyat.

 

Ini seakan suatu ironi yang tertuju kepada para cendekiawan. Mereka yang sebenarnya melampaui Soeharto, memiliki modal untuk turut berperan merancang pembentukan kekuasaan alternatif. Yang terjadi, tidak sedikit cendekiawan yang seakan tak berdaya berhadapan dengan kekuasaan. Kenyataan ini disebutnya sebagai kekacauan irasional yang hampir tak terselamatkan.

 

Kedua, sebagai cendekiawan, Dhakidae seakan tidak menyukai jalan ’rata’. Hal yang bersifat biasa dan rutin dan melihat realitas seperti apa adanya sangat jauh dari kegiatan berpikirnya. Demikain juga fakta yang terjadi baik masa lalu, apalagi masa kini tidak pernah diterima dan diwariskan begitu saja sekadar fakta.

 

Dhakidae justru menyulut optimisme untuk melakukan pendakian mencapai makna yang lebih mendalam. Makna itu yang dimaksud diawali dengan rangkaian beberan kronologi untuk kemudian diberi nyawa menjadi karya sejarah. Di sana semua fakta dipahami dalam konteks sehingga akhirnya menjadi karya historiografis.

 

Bila analisis tidak sampai ke jiwa sejarah menghasilkan karya sejarah maka hal yang sangat ironis. Ia ibarat loteng rumah yang dipenuhi benda-benda antik yang sudah lama ditinggalkan dalam keadaan lusuh. Loteng itu ibarat kepala yang hanya meyimpan fakta sejarah, tetapi tidak mampu mengaktualisasikannya menjadi bermanfaat. Karenanya, perlu keberanian membongkar atau malah menyerunduknya agar debu bisa terangkat.

 

Ketiga, analisis Dhakidae menjadi bermakna kini bukan karena ia bisa diterapkan secara otomatis untuk konteks kini. Yang justru terjadi bahwa ia sangat akrab dengan metode heuristik. Sebuah metode yang pada saat menghasilkan sebuah karya, ia sangat akrab membuat analisis dari perangkat yang disiapkan pada masanya seperti: buku, kamus, ensiklopedi, dan juga surat kabar, majalah, jurnal. Dengan data yang heuristik pada zamannya, ia sanggup membuat analisis kontekstual yang diharapkan memberi jawaban atas masalah zaman itu.

 

Dewasa ini, perangkat itu tentu berbeda. Era digital menghadirkan secara lebih variatif dan kaya. Semua data heurestik yang ada kini, yang mestinya dijadikan pijakan, tidak saja untuk dianalisis, tetapi juga untuk menemukan solusi yang hanya cocok pada zamannya. Karya Daniel, karenanya, hanya menjadi pembanding agar dapat diformulasikan figur cendekiawan kini yang lebih sesuai dengan zaman.

 

Kegalauan seperti inilah yang Daniel rindukan. Ia seakan mendorong setiap cendekiawan untuk berani mendaki demi mencapai puncak impian. Sebuah komitmen yang tentu melelahkan seperti dikatakan Ingrid Bergman: ”Getting wise (old) is like climbing a mountain; you get a little out of breath, but the view is much better!” Ia pastikan, cara berpikirnya menjanjikan pemandangan hidup menjadi lebih baik. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar