Senin, 05 April 2021

 

Gangguan Navigasi Sperma

 Jean Couteau ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu

                                                         KOMPAS, 04 April 2021

 

 

                                                           

Sebagai seorang kakek yang sudah cukup produktif, saya tidak mungkin tidak hirau terhadap fenomena pembuahan diri kita menjadi manusia. Segi konkretnya tak perlu saya tekankan di sini. Takut melanggar etika jurnalistik. Namun, kenyataan berbicara: kalau sudah berpredikat ayah atau ibu, berarti kita pernah terbawa oleh semacam program ragawi yang membuat kita melekat pada lawan jenis kita. Di situ, ujung-ujungnya, kita pernah berurusan dengan sperma/ovula atau, lebih tepatnya, sperma/ovula itu berurusan dengan kita. Kita pernah mengalami proses pembenihan atau pembuahan hidup.

 

Mengetahui hal ini, bisa dibayangkan betapa saya kaget dengan berita yang tiba-tiba muncul di depan mata saya beberapa hari yang lalu: volume spermatozoid yang kini dihasilkan kaum pria cenderung menurun drastis dibandingkan dengan beberapa puluh tahun yang lalu, notabene sebelum saya menjadi kakek. Singkatnya, sang ovula, alih-alih dibanjiri ribuan spermatozoid, kini paling-paling berhadapan dengan satu-dua peminat saja. Akibatnya, ya! Semangat sang ovula pun berkurang! Maka, pembuahan gagal. Oleh karena fenomena ini massal, masa depan manusia terancam.

 

Kalau tak percaya, bacalah tulisan The Guardian (28/03/21 dan kutipan 12/05/14): ”kepintaran renang dan navigasi sperma terganggu produk kimia biasa”. Lupakan alegori lautan, yang dimaksud ialah, apabila kini pria kekurangan sperma, ialah karena bahan-bahan kimia tengah merasuki unsur-unsur genetis kita. Perusakan ekologi tidak menimpa alam luar saja, tetapi juga terjadi di dalam tubuh kita.

 

Alangkah baiknya apabila kita bisa tetap ”naif” seperti dulu, seperti orang Bali, misalnya, ketika hidup di dalam keakraban dengan alam. Belum ada kimia-pestisida, belum ada ilmu pengetahuan teknologi alias iptek, yang ada hanyalah proses kama dan atma: pada awal proses penghamilan, katanya, ada intervensi seorang ”batara” yang disebut Sang Hyang Deleng, yaitu ”Sang Hyang Lirik”.

 

Akibatnya lirikan ajaibnya, dari sepasang manusia kasmaran keluarlah dua kama, yaitu dua wujud nafsu yang berbeda. Yang satu, kama bang, berwarna merah, produk sang wanita; sedangkan yang satunya lagi kama petak, berwarna putih, produk sang pria. Lalu, ketika kedua tipe kama beradu di garba sang wanita, tiba-tiba, jreng-jreng!! Dari persemayaman para leluhur, yaitu dari Gunung Agung, turunlah atma yang sudah lama merindukan gumi Bali dan membidik untuk itu permainan asmara sang cucunya di madyapada itu. Jreng-jreng lagi!! Terwujudlah si jabang bayi, yang akan lahir 9 bulan kemudian. Puitis, kan?

 

Kini, sayangnya, masa mitos ala Bali yang puitis itu sudah lewat. Masa kita adalah masa ilmu, masa intervensi manusia atas alam. Masa kimia merasuki semua. Masa lahirnya Covid-19 dan matinya sperma. Memang manusia luar biasa, kata kaum optimistis, yakin: apabila kimia dan ilmunya merusak ”navigasi” sperma, ilmu medis akan membantu. Kalau perlu, dengan ”Program Bayi Tabung”. Kasarnya, sperma dan ovula ditaruh di tabung, dikocok, dan lahirlah sang bayi.

 

Ajaib, bukan? Namun, hal ini menimbulkan masalah yang tidak hanya etis, tetapi juga filsafati: sejauh mana program bayi tabung merupakan tanda kuasa manusia atas alam? Sejauh mana tantangan terhadap misteri kehidupan dan kuasa ketuhanan? Problematika ini bernada metafisik! Hingga pernah dijadikan seni konseptual oleh salah seorang ”dokter tabung” Indonesia, Dr Augky Hinting, dari Surabaya. Dia memvisualisasi di karyanya manipulasi sperma dan ovula di tabung, atau dia memperlihatkan spermatozoid bagai pilot Formula One di ajang perlombaan? Dengan ini, dia jelas memundurkan batas kesakralan pembuahan manusi, tetapi juga, secara paradoksal, mengangkat kesakralan hidup baru itu sebagai isu tersendiri.

 

Itu masalahnya. Bisa jadi Dr Augky dan dokter-dokter lain menghasilkan kian banyak bayi tabung. Bahkan, bisa jadi, seperti ditulis salah satu artikel The Guardian lainnya (25/03/21), bahwa harinya tidak jauh ketika manusia akan mampu memproduksi bayi di dalam inkubator/womb artifisial. Manipulasi ini bisa jadi menutupi kekurangan spermatozoid dan keengganan ovula. Namun, sejauh mana alam akan menerima pongah tingkahnya manusia. Dan, sejauh mana cucu-cucu kita pun bisa menerimanya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar