Gangguan
Navigasi Sperma Jean Couteau ; Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas
Minggu |
KOMPAS,
04 April
2021
Sebagai seorang kakek yang sudah cukup
produktif, saya tidak mungkin tidak hirau terhadap fenomena pembuahan diri
kita menjadi manusia. Segi konkretnya tak perlu saya tekankan di sini. Takut
melanggar etika jurnalistik. Namun, kenyataan berbicara: kalau sudah
berpredikat ayah atau ibu, berarti kita pernah terbawa oleh semacam program
ragawi yang membuat kita melekat pada lawan jenis kita. Di situ,
ujung-ujungnya, kita pernah berurusan dengan sperma/ovula atau, lebih
tepatnya, sperma/ovula itu berurusan dengan kita. Kita pernah mengalami
proses pembenihan atau pembuahan hidup. Mengetahui hal ini, bisa dibayangkan betapa
saya kaget dengan berita yang tiba-tiba muncul di depan mata saya beberapa
hari yang lalu: volume spermatozoid yang kini dihasilkan kaum pria cenderung
menurun drastis dibandingkan dengan beberapa puluh tahun yang lalu, notabene
sebelum saya menjadi kakek. Singkatnya, sang ovula, alih-alih dibanjiri
ribuan spermatozoid, kini paling-paling berhadapan dengan satu-dua peminat
saja. Akibatnya, ya! Semangat sang ovula pun berkurang! Maka, pembuahan
gagal. Oleh karena fenomena ini massal, masa depan manusia terancam. Kalau tak percaya, bacalah tulisan The
Guardian (28/03/21 dan kutipan 12/05/14): ”kepintaran renang dan navigasi
sperma terganggu produk kimia biasa”. Lupakan alegori lautan, yang dimaksud
ialah, apabila kini pria kekurangan sperma, ialah karena bahan-bahan kimia
tengah merasuki unsur-unsur genetis kita. Perusakan ekologi tidak menimpa
alam luar saja, tetapi juga terjadi di dalam tubuh kita. Alangkah baiknya apabila kita bisa tetap
”naif” seperti dulu, seperti orang Bali, misalnya, ketika hidup di dalam
keakraban dengan alam. Belum ada kimia-pestisida, belum ada ilmu pengetahuan
teknologi alias iptek, yang ada hanyalah proses kama dan atma: pada awal
proses penghamilan, katanya, ada intervensi seorang ”batara” yang disebut
Sang Hyang Deleng, yaitu ”Sang Hyang Lirik”. Akibatnya lirikan ajaibnya, dari sepasang
manusia kasmaran keluarlah dua kama, yaitu dua wujud nafsu yang berbeda. Yang
satu, kama bang, berwarna merah, produk sang wanita; sedangkan yang satunya lagi
kama petak, berwarna putih, produk sang pria. Lalu, ketika kedua tipe kama
beradu di garba sang wanita, tiba-tiba, jreng-jreng!! Dari persemayaman para
leluhur, yaitu dari Gunung Agung, turunlah atma yang sudah lama merindukan
gumi Bali dan membidik untuk itu permainan asmara sang cucunya di madyapada
itu. Jreng-jreng lagi!! Terwujudlah si jabang bayi, yang akan lahir 9 bulan
kemudian. Puitis, kan? Kini, sayangnya, masa mitos ala Bali yang
puitis itu sudah lewat. Masa kita adalah masa ilmu, masa intervensi manusia
atas alam. Masa kimia merasuki semua. Masa lahirnya Covid-19 dan matinya
sperma. Memang manusia luar biasa, kata kaum optimistis, yakin: apabila kimia
dan ilmunya merusak ”navigasi” sperma, ilmu medis akan membantu. Kalau perlu,
dengan ”Program Bayi Tabung”. Kasarnya, sperma dan ovula ditaruh di tabung,
dikocok, dan lahirlah sang bayi. Ajaib, bukan? Namun, hal ini menimbulkan
masalah yang tidak hanya etis, tetapi juga filsafati: sejauh mana program
bayi tabung merupakan tanda kuasa manusia atas alam? Sejauh mana tantangan
terhadap misteri kehidupan dan kuasa ketuhanan? Problematika ini bernada
metafisik! Hingga pernah dijadikan seni konseptual oleh salah seorang ”dokter
tabung” Indonesia, Dr Augky Hinting, dari Surabaya. Dia memvisualisasi di karyanya
manipulasi sperma dan ovula di tabung, atau dia memperlihatkan spermatozoid
bagai pilot Formula One di ajang perlombaan? Dengan ini, dia jelas
memundurkan batas kesakralan pembuahan manusi, tetapi juga, secara
paradoksal, mengangkat kesakralan hidup baru itu sebagai isu tersendiri. Itu masalahnya. Bisa jadi Dr Augky dan
dokter-dokter lain menghasilkan kian banyak bayi tabung. Bahkan, bisa jadi,
seperti ditulis salah satu artikel The Guardian lainnya (25/03/21), bahwa
harinya tidak jauh ketika manusia akan mampu memproduksi bayi di dalam
inkubator/womb artifisial. Manipulasi ini bisa jadi menutupi kekurangan
spermatozoid dan keengganan ovula. Namun, sejauh mana alam akan menerima
pongah tingkahnya manusia. Dan, sejauh mana cucu-cucu kita pun bisa
menerimanya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar