Ghost
Fleet, Iklan Zaman Now, dan Blunder Gerindra
Effnu Subiyanto ; Senior Advisor Cikalafa-umbrella;
Direktur Koridor; Doktor Ilmu
Ekonomi FEB Unair
|
MEDIA
INDONESIA, 05 April 2018
MENCARI perhatian pada
zaman now ini memang di luar framework pemikiran normal manusia. Beberapa
waktu lalu seluruh media massa Indonesia dipenuhi iklan proyek properti
sampai berbulan-bulan dan menyita mainstream yang mahal. Menggunakan iklan
pada media sosial start-up semisal wall Facebook, Twitter, dan Instagram
sudah tidak efektif lagi dan dengan cepat tampak menjadi kuno.
Namun, berbeda dengan
strategi iklan buku fiksi Ghost Fleet (GF) yang menggelegar akhir-akhir ini.
Pimpinan partai besar bahkan tertarik membahasnya dalam forum resmi partai,
tokoh-tokoh dunia pun memberikan komentar dan kian ramai. Model penjualan
buku fiksi GF ini tentu tidak biasa dan akhirnya justru memopulerkan buku GF
menjadi buku yang laris.
Buku GF karya Peter Warren
Singer dan August Cole yang memancing polemik itu justru menuai berkah karena
diberikan 'sinopsis' gratis oleh Prabowo Subianto dan seluruh media massa
Indonesia. Bahkan Darby Stratford, peneliti badan intelijen Amerika Serikat
Central of Intelligent Agency (CIA), juga memberikan komentar atas novel
tersebut. Komentar Stratford diunggah dalam laman resmi CIA.
Basis fiksi yang menjadi
sentrum buku tersebut ialah konflik energi yang kemudian memicu perang dunia
ketiga antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia. Prajurit cyber Tiongkok
mampu meretas sistem militer berbasis satelit Amerika Serikat dan menjadikan
Tiongkok dan Rusia unggul di medan perang teknologi.
Menarik isu energi dalam
konstelasi politik global sebetulnya kini tidak populis jika melihat perkembangan
harga minyak yang justru antitesis. Peneliti Stephen Leb PhD dalam bukunya,
The Oil Factor (2004), dan disusul buku berikutnya, The Coming Economic
Collapse (2006), memperkirakan harga minyak akan US$200 per barel pada 2010.
Leb menggunakan asumsi bahwa tingkat produksi minyak beberapa negara terus
berkurang. Misalnya produksi minyak AS pada 1970 mampu 9 juta bph, pada 2007
hanya mampu 5,5 juta bph. Cadangan minyak Saudi pada 1979 masih 110 miliar
barel dan kini tinggal separuhnya, sementara permintaan minyak dunia per
tahun naik 1,5%-2%.
Leb belum memperkirakan
teknologi shale oil dan shale gas pada 2010-an dan akhirnya mengobrak-abrik
harga minyak mentah pada titik terendah seperti saat ini. Riset Reuter (2007)
malah benar karena meramalkan bahwa harga minyak pada 2010 hanya mencapai
US$51,4 per barel akibat diversifikasi energi.
Namun, karena buku GF
adalah hiburan, krisis energi yang ditarik tidak perlu dipersoalkan. Hanya
perlu diketahui bahwa kedudukan Indonesia sebetulnya figuran dalam buku fiksi
tersebut. Untuk menambah dramatisasi efek fiksi, Indonesia pada 2030 itu
ditulis sebagai 'bekas negara Indonesia' yang maknanya negara Indonesia sudah
menjadi korban terlebih dulu dari efek perang dunia maya yang sebetulnya
sudah berlangsung sejak tahun-tahun ini.
Penulis Warren Singer dan
August Cole tentu jeli memanfaatkan momentum GF dengan menarik 'bekas
Indonesia' dalam buku fiksi karena mengetahui konstruksi psikis rakyat
Indonesia yang mudah terpancing jika mendiskusikan kebangsaan. Jika saja pada
buku tersebut Indonesia ditulis sebagai negara demokratis terbesar atau
hal-hal yang positif dan menyenangkan, tentu buku GF tidak akan laku dibahas
politisi Indonesia. Momentum waktunya juga sangat tepat karena berbarengan
dengan tahun-tahun politik pendahuluan pada pilkada serentak 2018 dan agenda
politik akbar 2019.
Dari sisi timing tentu
penulis Warren Singer dan Cole unggul dan tentu saja sudah mempertimbangkan
jumlah penduduk 250 juta sebagai pasar potensial buku tersebut. Hanya 1 juta
saja penduduk Indonesia membeli atau mengunduh dalam format digital, Warren
Singer dan Cole langsung seketika menjadi sangat populer.
Konspirasi
intelektual
Sebuah produk fiksi yang
terangkat dalam perbincangan nasional dan jagat maya memang buku GF. Semakin membuat
konflik dan semakin ramai dibicarakan maka penjualannya akan semakin laris
karena akan memancing psikologis seseorang untuk mengetahui duduk persoalan
sebenarnya.
Beberapa tahun silam buku
Membongkar Gurita Cikeas karya George Junus Aditjondro juga laris manis
karena keberaniannya membuka bisnis keluarga Presiden SBY ketika itu. Warren
Singer dan Cole sebenarnya menggunakan metode yang tidak terlalu jauh berbeda
dengan yang dilakukan George Junus dan seharusnya bukan hal yang aneh.
Yang membedakan kali ini
karena bakal calon presiden 2019-2024 Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto
menyitir buku itu yang jelas-jelas fiksi. Rakyat Indonesia pasti akan
terjebak dalam kerangka pikir apakah Prabowo memiliki interest dengan buku
tersebut ataupun atas tendensi politik semata. Sekelas politisi Gerindra,
kajian politis yang dalam seharusnya dimiliki tidak serta-merta menyitir atau
menyadur dari buku fiksi yang tujuan awalnya untuk hiburan.
Jika berdasarkan kajian,
justru Indonesia tidak bubar pada 2030. Laporan lembaga riset internasional
Pricewaterhousecoopers (PwC) September 2017 malah menyebutkan Indonesia ialah
salah satu dari 21 negara dengan pertumbuhan sangat pesat. Negeri 'bekas
Indonesia' pada buku GF tersebut malah berada di posisi 5 setelah Brasil,
Rusia, Tiongkok, dan India.
Dari sisi PDB, Indonesia
juga berada di urutan ke-5. PDB Indonesia mencapai US$5,42 triliun dengan
pendapatan per kapita di atas US$18 ribu. PDB Indonesia itu di bawah Tiongkok
dengan PDB US$38,01 triliun, PDB Amerika Serikat US$23,47 triliun, PDB India
US$19,61 triliun, dan PDB Jepang US$5,61 triliun.
Tidak hanya PwC, Yayasan
Indonesia Forum (YIF) pun memunculkan mimpi baru dengan Visi 2030. Lembaga
MPR bahkan sudah menetapkan dalam Tap MPR VII/2001.
Perbedaan hasil penafsiran
antara PwC dan Warren Singer yang juga peneliti politik dan perang itu tentu
saja merefleksikan muatan dan kepentingan. Normal rakyat Indonesia
mempertanyakan agenda buku GF yang mencerminkan interest penulisnya dan tentu
saja kepentingan strategis di baliknya yang notabene pemerintah AS.
Tersirat kecemasan
pemerintahan Donald Trump apabila Indonesia berbelok dari politik bebas aktif
menuju ke arah poros tertentu. Warren dan Cole berlindung sebagai penulis
melakukan counter-attack dengan mendiskreditkan poros tertentu dengan
mendramatisasikan kapal-kapal dengan teknologi lama sebagai kapal hantu atau
ghost fleet.
Warren menarik dasar
psikologis bangsa Indonesia yang pernah berperang secara tradisional
menggunakan bambu runcing melawan senjata api pada masa kolonial Belanda dan
imperialis Jepang. Harapan Warren dan Cole tentu kasatmata, undangan
menghadang ekspansi ekonomi Tiongkok yang nanti akan mengancam AS pada 2030.
Kini sebaiknya dihentikan
polemik buku GF karena sangat membuang waktu. Jika Prabowo Subianto dan
kandidat lainnya akan mencalonkan diri sebagai presiden alternatif, sebaiknya
mengambil tema-tema baru yang orisinal dan cerdas. Memunculkan 'Indonesia
Bubar' malah kontraproduktif dan blunder bagi Partai Gerindra. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar