Raibnya
Etik dalam Politik Pertunjukan
Lely Arrianie ; Dosen Komunikasi Politik Universitas Bengkulu;
Ketua Program Magister Komunikasi
Universitas Jayabaya Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 05 April 2018
DI Pilkada 2018 ini dan
menjelang Pileg dan Pilpres 2019, penggunaan komunikasi massa di berbagai
arena politik kian 'bising'. Politik pertunjukan (performance politics) untuk
melempar isu ke publik kian disambut perdebatan, digoreng massa di media
sosial, dan para elite menggunjingnya. Bukan untuk dirundingkan dan
diselesaikan, melainkan malah mempertegas siapa dan mengapa mereka
mementaskan pertunjukan politik itu. Yang bahkan untuk sekadar menguji
apresiasi publik barangkali, untuk satu pertanyaan, layakkah ia menjadi
bagian dari kontestan politik kekuasaan yang akan ditentukan di tahun ini
juga.
Citra
tanpa etika
Melubernya informasi
publik terutama yang menggelinjang di media sosial tampak begitu terstruktur.
Para elite pemburu kekuasaan dan pendukung militan seolah begitu berjuang
memaksimalkan ceruk-ceruk dukungan di media sosial dalam berbagai bentuk.
Memviralkan, menjadikannya trending topic sementara media mainstream telah
mengalami pergeseran dalam mengelola isu. Jika sebelumnya apa yang menjadi
trending topic di media mainstream-lah yang menjadi dasar komunikasi massa di
media sosial, kini, apa yang menjadi trending topic di media sosial, justru
yang dijadikan isu yang diangkat di media mainstream.
Pergeseran itu menyebabkan
para pelakon politik dalam politik pertunjukannya semakin 'seenaknya'
melempar isu politik dengan maksud juga untuk memaksimalkan liputan media
yang menguntungkannya agar dianggap 'bercitra'. Ia akan diuntungkan dalam dua
sisi, yakni citra pribadinya sebagai pelaku politik dan citra organisasi
partainya.
Padahal, jika diselisik
dari pendekatan perilaku politik politisi modern, apalagi jika mengaku
sebagai negarawan, elite politik itu tidak hanya dilihat berdasarkan
perkataan dan perbuatannya, tetapi juga berdasarkan 'cara ia mengatakan' dan
'bagaimana ia melakukannya'.
Sebulan terakhir dan
berbulan-bulan ke depan kita akan menyaksikan diksi-diksi yang menyesatkan
citra itu. Para elite yang bahkan sebelumnya menganggap dirinya negarawan
akan melupakan kapasitas dirinya untuk pentas dalam impression management
politiknya di panggung politik.
Tidak penting baginya
masyarakat menilai tentang bagaimana cara ia mengatakan dan melakukannya.
Yang penting baginya ialah tentang mengapa dan siapa dirinya yang mengatakan
itu. Tidak juga penting baginya untuk ‘bercitra' bagi pembelajaran sosial
politik publik, yang penting bagaimana ia memenangi hati pendukung militan
yang mengidolakannya meski ia mengemas citra tanpa etika, mengumbar syahwat
kebencian dan hoaks serta memprovokasi massa untuk menebar ancaman dengan
cara berantai di media sosial dan media massa.
Padahal, di saat media
massa dan media sosial demikian dominan, pertimbangan 'gaya komunikasi yang
lebih beretika' seharusnya dianggap penting bagi proses politik. Bahkan sejak
pemimpin dunia sekelas George Washingtonpun butuh cara 'sadar' menyajikan
'citra' ke hadapan konstituennya. Bukan karena kalap 'tidak sadar' dan panik
sehingga memilih kosakata politik yang alih-alih membangkitkan citra, malah
kemudian menuai 'pro dan kontra'.
Brendan dan Bruce (1990)
menarik kita untuk menemukan benang merah perdebatan massa tentang provokasi
diksi elite yang makin mencemaskan. Ada yang menuduh, mengancam,
mendiskreditkan, bahkan memaki dan memfitnah. 'Citra memberi arti penting
bagi ciri pembeda, kepribadian menjadi cara yang lebih penting bagi pemilih
untuk menentukan kredibilitas'. Karena itu, tidak penting sesungguhnya
tentang siapa mengatakan apa, yang lebih penting adalah bagaimana cara ia
mengatakan dan melakukannya dan 'cara' elite mengomunikasikan komunikasi
politiknya telah kehilangan keadaban. Etika seolah raib dan tercerabut dari
akar budaya politik yang diajarkan para pendiri bangsa ini.
Modal
kultural
Para pelaku politik
dominan seharusnya memiliki apa yang dinamakan kredibilitas dan otoritas.
Namun, kita tidak boleh tersinggung jika Philip Schlesinger meminjam
Goldenberg (1984) yang mengatakan rata-rata mereka tidak memiliki kuasa
definisional, yang ada ialah 'definisi utama' yang menegaskan pola akses media
yang terstruktur, termasuk kuasa untuk menentukan isu yang bisa diangkat
melalui akses tersebut. Elite politik kemudian menjadi tidak lagi elite
ketika ia merugikan kelompok masyarakat kebanyakan dengan argumentasi
politiknya. Ia sekadar mengekalkan alibinya, tetapi ia sesungguhnya tidak
memiliki modal kultural dan bagi pendukungnya itu tidaklah penting.
Kehilangan modal kultural
dalam berkomunikasi politik lazim dilakukan pihak oposisi dan kelompok
subordinat ketika mereka menjelaskan realitas sosial di media massa. Terutama
pada saat data dan fakta relatif langka mereka dapatkan, Stuart Hall (1978)
menegaskan itu sebagai problematik marxis.
Pilihan mereka adalah
mengemukakannya dengan cara 'vulgar' dan dengan materialisme yang kasar.
Kelompok elite seolah berhak menjadi pendefinisi utama, sementara para
jurnalis juga cenderung memilih tempat yang 'bias' terhadap mereka.
Wacana media terhadap
berbagai persoalan politik kalah oleh wacana publik yang diviralkan di media
sosial. Para pemburu kekuasaan seperti biasa-biasa saja ketika ia dengan
sadar membuang jauh-jauh modal kulturalnya dalam melakukan komunikasi
politik. Tidak lain dan tidak bukan, untuk satu hal, yang begitu diributkan
dan diperebutkan, yakni 'kekuasaan'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar