Perbudakan
Modern, Perdagangan Manusia, dan Sepak Bola Wahyu Susilo ; Direktur Eksekutif Migrant CARE |
KOMPAS, 7 Juli 2021
Homo ludens. Manusia
adalah makhluk yang bermain, demikian kata sejarawan Johan Huizinga. Dalam
perkembangan sejarah peradaban dan kebudayaan manusia, tumbuh dan berkembang
permainan-permainan yang di kemudian hari bertumbuh secara sistematik menjadi
olahraga. Salah satu permainan itu adalah sepak bola. Ketika sepak bola masih
diperlakukan sebagai permainan semata, kemenangan menjadi tujuan nomer dua
karena tujuan utamanya adalah kesenangan, kegembiraan, dan kesehatan.
Kekalahan mendapatkan penghiburan dengan kata-kata ”hanya sekadar permainan”.
Namun ketika sepak bola dikompetisikan sebagai olahraga dengan tujuan
utamanya adalah kemenangan, ia tak lagi sekadar permainan. Huizinga mungkin akan
memikirkan lagi teori homo ludens ketika melihat langsung perubahan
revolusioner yang terjadi dalam permainan sepak bola. Sepak bola tak hanya
dibatasi arena bermainnya seluas lapangan hijau persegi panjang yang berisi 2
x 11 pemain di dalamnya. Arenanya telah meluas dalam kibaran bendera-bendera
negara dan klub-klub sepak bola dengan segala fanatismenya serta tertera
iklan-iklan komoditas yang kian hari kian memengaruhi mati dan hidupnya sepak
bola. Sepak bola telah menjadi
industri yang dihidupi oleh industri-industri komoditas dan menghidupi
industri penyiaran. Di Amerika Latin, sepak bola bahkan telah dianggap
sebagai agama baru yang menyihir para penggilanya. Setidaknya dalam sejarah
persepakbolaan modern, ada dua rezim otoriter yang memanfaatkan sepak bola
sebagai propaganda politik pada saat penyelenggaraan Piala Dunia. Mereka
adalah Benito Mussolini, pemimpin rezim fasis Italia saat Piala Dunia 1934
dan Jorge Rafael Videla, pemimpin junta militer Argentina saat Piala Dunia
1978. Pengalaman buruk inilah
yang kemudian memunculkan larangan intervensi negara dalam tata kelola
persebakbolaan nasional, misalnya dengan campur tangan negara dalam
menentukan kepengurusan asosiasi sepak bola nasional. PSSI pernah mendapat
sanksi dari FIFA akibat campur tangan ini. Larangan ini untuk menjaga
independensi dan sportivitas sebagai nilai-nilai yang harus dijaga dalam
dunia persepakbolaan, tetapi FIFA sebagai rezim sepak bola dunia tak cukup
daya untuk menahan pengaruh bisnis dalam percaturan sepak bola dunia. Dalam
kenyataannya, pengaruh bisnis dalam percaturan sepak bola memiliki implikasi
serius yang tak kalah berbahaya dengan intervensi negara. Eksploitasi sumber
daya alam, pelanggaran hak-hak pekerja, anak dan perempuan hingga ketimpangan
akses informasi karena monopoli atas nama hak siar. Aspek-aspek ini sering
tersembunyi dalam hiruk-pikuk dan riuh rendah setiap event sepak bola,
misalnya Piala Eropa atau Copa America yang sekarang sedang berlangsung. Langkah FIFA yang melarang
ekspresi rasisme dalam segala tindakan, baik dilakukan oleh pemain, pelatih,
maupun penonton, patut mendapatkan apresiasi dan dukungan. Kompetisi sepak bola
dunia (baik dalam event antarnegara maupun antarklub) memperlihatkan warna
dunia yang beragam. Warna yang beragam ini tak lepas pula dari proses migrasi
antarbangsa dan antarbenua. Oleh karena itu, segala prasangka atas nama
perbedaan warna kulit dan kebangsaan harus dijauhkan untuk memastikan sepak
bola tetap menjunjung tinggi kemanusiaan sebagai titik sportivitas yang
tertinggi. Namun, FIFA harus terus
didorong bertindak lebih progresif untuk bersikap menyangkut soal hak asasi
manusia; pelestarian lingkungan; perlindungan hak-hak pekerja, perempuan, dan
anak; serta potensi eksploitasi bisnis dalam persepakbolaan. Tidak banyak hal yang
dilakukan FIFA pada saat beberapa organisasi HAM dan buruh migran global
menyampaikan protes atas eksploitasi pekerja migran dalam proyek
infrastruktur untuk penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar. Pada tahun
2015, penulis mengunjungi Qatar sebagai calon tuan rumah Piala Dunia 2022 dan
menemukan fakta terjadinya eksploitasi pekerja migran (sebagian besar berasal
dari Asia Selatan) yang bekerja di proyek-proyek infrastruktur Piala Dunia
2022. Dalam kemegahan proyek
infrastruktur tersebut, para pekerja migran ini tinggal di tempat hunian yang
tidak layak, sementara iklim ekstrem bisa memengaruhi kesehatan mereka.
Banyak di antara mereka direkrut secara ilegal sehingga tidak mendapatkan
hak-hak pengupahan dan jaminan sosial yang memadai. Hingga Maret 2021,
menurut data investigasi The Guardian, Amnesty International, Human Rights
Watch, serta beberapa organisasi HAM dan pekerja migran global, telah terjadi
kematian 6.851 pekerja migran asal India, Bangladesh, Pakistan, dan Sri
Lanka. Pekerja migran memang
selalu menjadi tumbal dalam proyek infrastruktur event olahraga
internasional. Migrant CARE juga pernah menerima pengaduan kasus perekrutan
pekerja migran asal Indonesia untuk bekerja pada proyek infrastruktur
Olimpiade 2020 Tokyo, Jepang, dan Asian Games 2014 di Incheon, Korea Selatan. Bermain dalam liga sepak
bola Eropa juga menjadi mimpi anak-anak muda dari benua lain. Selain untuk
mengukir prestasi juga untuk mengangkat derajat kehidupan. Impian ini sering
kali dimanfaatkan oleh para sindikat perdagangan manusia untuk
memperjualbelikan anak-anak muda asal benua miskin Afrika ataupun Amerika
Latin ke Eropa, dengan janji palsu bisa bermain di klub Eropa. Modus ini menjebak
orangtua anak yang bermimpi bermain di Eropa dalam jeratan utang, sementara
dalam kenyataannya anak-anak dipekerjakan secara eksploitatif di benua
impiannya, atau bahkan dikirim ke kawasan Asia Tenggara yang sebenarnya bukan
impiannya. Setidaknya ada dua kajian terkini tentang perdagangan anak dan
perbudakan atas nama sepak bola yang ditulis James Esson (2018), berjudul
Challenging Popular Representations of Child Trafficking in Football dan
kasus di Asia Tenggara yang ditulis oleh Jeremy Luedi (2018), berjudul
Southeast Asia’s African Football Slaves. Realitas tersebut
memperlihatkan bahwa di antara berbagai pekik dan sorak kemeriahan sepak bola
masih tersembunyi penderitaan pekerja migran dan anak-anak yang terjebak
dalam praktik perbudakan dan perdagangan manusia di jaman modern ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar