Memilih
Takdir Baik di Era Pandemi Biyanto ; Guru Besar Filsafat UIN Sunan Ampel dan
Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur |
KOMPAS, 15 Juli 2021
Setidaknya ada tiga aliran
penting yang membahas takdir dalam literatur tentang ilmu kalam (teologi).
Tiga aliran itu adalah jabariyah (fatalism), qadariyah (free will atau free
act), dan ahlus sunnah wal jamaah (middleism). Aliran jabariah
mengajarkan bahwa seluruh perbuatan manusia pada dasarnya telah ditentukan
Tuhan sejak semula. Manusia seakan tidak memiliki pilihan dalam berbuat. Sementara aliran qadariah
menekankan pentingnya kebebasan manusia untuk memilih perbuatan baik atau
buruk. Atas dasar itulah manusia dimintai pertanggungjawaban terhadap
perbuatannya di hadapan pengadilan akhirat kelak. Di tengah aliran jabariyah
dan qadariyah yang ekstrem itu muncul mazhab tengahan (wasathiyah), yakni
ahlus sunnah wal jamaah. Tokoh utamanya adalah Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu
Mansur al-Maturidi. Meski dua tokoh ini
berbeda dalam beberapa hal, namun memiliki pandangan yang hampir sama dalam
memosisikan perbuatan manusia di hadapan kekuasaan Tuhan. Dua pendiri aliran ahlus
sunnah wal jamaah itu menyatakan bahwa dengan daya dan kekuatan yang
diberikan Tuhan, manusia memiliki pilihan dalam menentukan perbuatan. Pada
konteks ini kita mengenal teori tentang ikhtiar atau usaha (kasb) manusia. Respons
tokoh agama terhadap Covid-19 Perspektif teologi itu
penting untuk mencermati respons tokoh-tokoh agama terhadap berbagai ikhtiar
dalam pengendalian pandemi Covid-19. Kata “pengendalian” dipilih karena itu
berada dalam jangkauan ikhtiar manusia. Kebijakan pemberlakuan
pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat Covid-19 mulai 3 Juli hingga 20
Juli 2021 merupakan bagian dari ikhtiar mengendalikan pandemi. Ironinya, terjadi silang
pendapat antar tokoh agama dalam merespons kebijakan PPKM. Perbedaan pendapat
semakin mengeras jika kebijakan PPKM berkaitan dengan pembatasan pemanfaatan
tempat ibadah. Sebagian tokoh agama bahkan ada yang mengaitkan kebijakan itu
dengan murka Tuhan. Pandangan ini memang tidak
merepresentasikan keseluruhan tokoh agama. Sejumlah tokoh agama yang
berhimpun di Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
(NU) justru mendukung kebijakan pemerintah dalam pengendalian pandemi
Covid-19. Mereka berpandangan bahwa
kebijakan itu merupakan bagian dari ikhtiar menjalankan ajaran agama yang
sangat fundamental, yakni menjaga keselamatan jiwa (hifdz al-nafs). Karena itulah tatkala
pemerintah memutuskan kebijakan PPKM, maka umat diimbau untuk mematuhi dengan
penuh kesadaran. Kebijakan ini diberlakukan sejak terjadi lonjakan kasus
Covid-19 pada tahun kedua pandemi. Di sejumlah kampung yang jauh
dari keramaian tetapi masuk zona merah, para pemimpinnya bahkan telah
melakukan lockdown, yakni penutupan akses dari dalam atau luar desa. Kebijakan ini memang tidak
mudah, terutama bagi para pekerja harian. Musim pandemi sama sekali tidak
menyurutkan langkah pekerja harian untuk beraktivitas. Mereka tetap keluar
dari rumah seraya menyatakan; “Kami tidak takut Covid. Kami hanya takut
anak-istri tidak makan.” Jalan pikiran ini dapat
dipahami karena mereka tidak memiliki banyak pilihan. Jika mereka berada di
rumah, berarti tidak ada penghasilan. Dampaknya, kebutuhan hidup mereka
terganggu. Untuk kelompok masyarakat ini pemerintah beserta elemen civil
society harus terus-menerus memberikan perhatian agar mereka terjaga dari
bahaya dan tetap berkehidupan layak. Selama kebijakan PPKM,
kegiatan keagamaan di luar rumah juga dibatasi. Umat diminta menahan diri
dengan tak beribadah berjamaah di masjid, gereja, dan rumah ibadah lainnya.
Kegiatan keagamaan yang melibatkan kerumunan massa juga harus dihentikan. Pentingnya
ikhtiar Pada konteks ini penting
mengikuti imbauan para ulama dan tokoh agama dari berbagai ormas keagamaan
agar umat sementara waktu beribadah di rumah. Imbauan itu sejalan dengan
ajaran; “Menghindari bahaya harus lebih diutamakan daripada mewujudkan
kebaikan (Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih). Umat perlu menempatkan
keselamatan jiwa dan kesehatan diri di atas segalanya. Imbauan ini penting
karena dalam beberapa hari ke depan umat Islam akan merayakan Idul Adha dan
ibadah kurban. Pelaksanaan Idul Adha dan
ibadah kurban penting memerhatikan panduan yang sudah dirumuskan pemerintah
dan ormas keagamaan. Dalam kondisi darurat
Covid-19, umat harus berpikir dengan kaidah: “Semua orang pada dasarnya
sakit, kecuali yang telah terbukti sehat.” Pola pikir ini penting
untuk menjaga diri supaya tidak tertular virus korona. Sebab, secara fisik
tidak dapat dibedakan siapa yang terkena virus dan siapa yang tidak. Menjaga diri agar
terhindar dari wabah berbahaya merupakan ikhtiar yang rasional. Dalam situasi
wabah yang pandemik, jangan ada agamawan yang menantang takdir seraya
berpikiran fatalistik. Mereka selalu menyatakan bahwa hidup, mati, sehat,
sakit, dan rezeki merupakan takdir Tuhan. Mereka yang berpandangan
fatalistik juga mengritik fatwa ulama dan ormas keagamaan yang menyerukan
umat agar beribadah di rumah. Mereka yang berfatwa agar masjid dan musala
ditutup selama musim pandemi bahkan dikatakan sebagai paranoid. Pandangan tersebut sangat
berbahaya karena berdasarkan hukum Tuhan (sunnatullah), seseorang akan sakit
jika tidak menjaga diri dan berbudaya hidup sehat. Itu berarti kondisi sehat
bukan semata pemberian Tuhan, melainkan juga hasil ikhtiar terbaik manusia. Untuk itulah senyampang
masih ada kesempatan untuk memilih, marilah kita berikhtiar yang terbaik.
Sebagai umat yang beriman dan berilmu, kita tidak boleh gagap merespons musim
pandemik. Terlebih jika yang gagap itu adalah tokoh-tokoh agama. Semua orang tentu tidak
ingin menjadi korban di era pandemi. Apalagi jika hal itu disebabkan perilaku
ceroboh seraya berlindung di balik pandangan yang fatalistik. Pilihan
rasionalnya tentu kita berikhtiar untuk memilih takdir terbaik di era
pandemi. Penting dipahami bahwa di ujung ikhtiar kita itulah takdir Tuhan
akan menyertai. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar