Mengembalikan
Norma UU ITE Henry Subiakto ; Guru Besar FISIP Unair, Pengajar Hukum Media |
KOMPAS, 17 Juli 2021
Sorotan publik terhadap
kontroversi kasus-kasus pelaksanaan Undang-Undang tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik di lapangan telah direspons positif oleh pemerintah. Menteri Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menindaklanjuti
arahan Presiden Joko Widodo agar mengevaluasi dan mengkaji Undang-Undang
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tersebut, dengan
membentuk tim kajian. Tim itu terdiri atas dua subtim. Subtim I menyusun pedoman
penerapan teknis terhadap pasal-pasal krusial yang sering digunakan aparat
penegak hukum, sedangkan Subtim II menyusun substansi revisi UU ITE. Tim
pembuat pedoman implementasi UU ITE atas pasal tertentu yang selama ini
menjadi kontroversi, atau disebut pasal karet, telah menyelesaikan tugasnya. Pedoman penerapan
implementasi ini bukan bagian dari peraturan perundang-undangan, melainkan
pedoman teknis bagi aparat penegak hukum, yang diterbitkan dalam bentuk surat
keputusan bersama (SKB), yang ditandatangani pada 23 Juni oleh Menteri
Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian Negara RI,
di hadapan Menko Polhukam. Penyusunan pedoman itu
diharapkan dapat mendukung upaya penegakan UU ITE secara lebih baik, terutama
dengan mengedepankan penerapan restorative justice. Menyelesaikan
permasalahan ITE tanpa harus menempuh mekanisme peradilan, melainkan dengan
menguatkan prinsip ultimum remidium, peradilan pidana sebagai pilihan
terakhir. Adapun SKB tersebut
lampirannya berisi pedoman implementasi atas pasal kontroversial. Pasal
kontroversial tersebut antara lain Pasal 27 Ayat (1) mengenai konten
elektronik yang melanggar kesusilaan. Selain itu, Pasal 27 Ayat (2) mengenai
konten perjudian. Pasal 27 Ayat (3) mengenai konten penghinaan dan pencemaran
nama baik. Kemudian, Pasal 27 Ayat
(4) mengenai konten pemerasan dan/atau pengancaman. Pasal 28 Ayat (1)
mengenai kabar bohong yang merugikan konsumen. Pasal 28 Ayat (2) mengenai
konten yang menyebarkan kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA). Selanjutnya, Pasal 29
mengenai konten menakut-nakuti dengan kekerasan. Pasal 36 mengenai pemberatan
sanksi akibat kerugian yang ditimbulkan karena tindak pidana UU ITE. Pasal-pasal inilah yang
selama ini paling banyak disorot dan dianggap sebagai bermasalah. Lebih
demokratis dan hindari kriminalisasi pers Pemerintah melalui
penerbitan surat keputusan bersama ini berupaya memotong interpretasi yang
lebar terhadap pasal-pasal UU ITE. Pengertian dan batasannya menjadi lebih
pasti, tegas, dan menghilangkan multiinterpretasi. Sebagai misal, kalau
selama ini ada kesan dan tudingan bahwa kritik dan pendapat masyarakat bisa
terancam dipidana, khususnya terkena Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, maka pedoman
ini memberikan pengertian yang tegas tentang apa itu penghinaan dan
pencemaran nama baik, yang jelas berbeda dengan kritik dan pendapat. Disebutkan, pengertian
muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik itu merujuk pada ketentuan
Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu
”menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui
umum” (Pasal 310 KUHP). Atau Pasal 311 KUHP,
berkaitan dengan perbuatan menuduh seseorang yang tuduhannya diketahui tidak
benar oleh pelaku. Diperjelas lagi, bahwa delik pidana Pasal 27 Ayat (3) UU
ITE adalah delik aduan absolut, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 45
Ayat 5 UU ITE. Sebagai delik aduan, maka
harus korban sendirilah yang mengadukan kepada aparat penegak hukum, kecuali
dalam hal korban masih di bawah umur atau dalam perwalian. Korban sebagai
pelapor harus orang perseorangan (natuurlijk persoon) dengan identitas
spesifik; bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan. Penjelasan yang ada dalam
pedoman tersebut tak lain untuk meniadakan praktik yang selama ini sering
terjadi. Laporan pencemaran nama baik, pengadunya adalah orang lain.
Pengadunya bukan korban yang disebut jelas dalam informasi elektronik. Bahkan
perusahaan, asosiasi profesi, atau atas nama pemerintah bisa juga mengadukan
terjadinya pencemaran nama baik. Interpretasi semacam itu secara tegas
diluruskan oleh pedoman ini. Kritik dan pendapat kepada
pemerintah tidak masuk pada kriteria yang diancam hukuman UU ITE. Pedoman ini
juga menjadi angin segar bagi pers. Disebutkan, untuk
pemberitaan di internet yang dilakukan oleh institusi pers, yang merupakan
kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan UU No 40 Tahun 1999 tentang
Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis.
Bukan dikenai Pasal 27 Ayat 3 UU ITE. Untuk kasus terkait pers,
Dewan Pers perlu dilibatkan. Berbeda dengan jika wartawan secara personal
mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka akan tetap
berlaku UU ITE, termasuk Pasal 27 Ayat (3). Ini memperkuat prinsip bahwa
pemberitaan pers, walau diberitakan secara daring (online), berlaku ketentuan
yang ada di UU Pers. Jika terjadi sengketa
karena isi pemberitaan, diselesaikan melalui mekanisme hak jawab. Bukan
diancam pidana. Untuk itu, keterlibatan Dewan Pers menjadi penting. Pemahaman pengertian
seperti ini amat diperlukan supaya UU ITE tidak diterapkan serampangan,
tatkala berhadapan dengan pemberitaan institusi pers. UU ITE hanya berlaku
untuk informasi elektronik yang didistribusikan oleh individu (orang), akun
media sosial, media abal-abal (media yang tidak mengikuti ketentuan UU Pers),
dan penyelenggara sistem elektronik. Oleh karena itu, walau
wartawan profesional sekalipun, jika mengunggah tulisan pribadi di media
sosial atau internet, maka berlaku UU ITE, termasuk Pasal 27 Ayat (3).
Artinya, wartawan tidak kebal hukum. Namun, institusi pers memiliki kemerdekaan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di dalam UU Pers. Memperjelas
delik mereduksi ancaman Salah satu pasal yang juga
kontroversial dan sering dikeluhkan publik adalah Pasal 28 Ayat (2) tentang
Penyebaran Kebencian. Pasal ini sering dituding telah dipakai secara longgar
pengertiannya untuk menjerat pelaku kritik. Disebutkan dalam pedoman
tentang pasal tersebut, ”Aparat penegak hukum harus dapat membuktikan bahwa
pengiriman konten yang dimaksud pasal ini adalah mengajak atau menghasut
masyarakat, atau mengadu domba, dengan tujuan menimbulkan kebencian, dan atau
permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasar
SARA”. Artinya, bukan setiap ada
pernyataan tidak suka kepada orang lain atau kelompok lain yang tersebar di
media sosial lalu terancam pasal ini. Tidak demikian. Pasal ini benar-benar
hanya diterapkan pada orang yang menyebarkan konten lewat internet, yang
sengaja menghasut atau memprovokasi masyarakat agar membenci dan atau
memusuhi orang lain berdasarkan SARA. Pengertian antargolongan
pun oleh pedoman ini secara khusus didefinisikan dengan mengacu pada Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU- XV/2017, yaitu ”entitas golongan rakyat di
luar Suku, Agama dan Ras”. Jadi, menyebarkan
informasi dengan maksud mengajak atau menghasut orang lain untuk membenci dan
atau memusuhi itu memang dilarang. Baik ditujukan terhadap individu maupun
kelompok masyarakat yang berbeda karena golongan aliran agama, berbeda
golongan politik, berbeda golongan ekonomi dan lain-lain, di luar entitas
suku, agama, dan ras. Pedoman implementasi ini
juga memperjelas pengertian Pasal 36 yang berisi pemberatan sanksi pidana
akibat pelanggaran pasal-pasal UU ITE. Pasal 36 tersebut memang sering
dipakai untuk melapisi pasal lain yang ancaman hukumannya di bawah lima
tahun. Dengan ditambahkan Pasal
36, sanksi pidananya menjadi 12 tahun, sehingga tersangka bisa ditahan selama
proses pengadilan. Untuk menghindari penggunaan pasal ini secara tidak tepat,
dalam SKB pedoman implementasi tentang pasal itu dikembalikan kepada norma
asli saat pasal ini dibuat. Pengertiannya disebutkan,
Pasal 36 UU ITE hanya dapat digunakan dalam hal korban kejahatan yang
melanggar Pasal 27 hingga 34 UU ITE mengalami kerugian materiil yang nyata.
Artinya, harus ada kerugian langsung secara materiil atas perbuatan yang
dilakukan tersangka, bukan kerugian tidak langsung. Bukan pula potensi
kerugian, dan bukan juga kerugian bersifat nonmateriil. Ini menjadi jelas, Pasal
36 tetap berlaku, dan bisa dikenakan, tapi dengan syarat jika ada kerugian
materiil dari korban. Kalau kerugian imateriil, yang hanya berdasarkan
kira-kira, pasal ini tidak bisa diimplementasikan. Demikian sebagian materi
isi pedoman implementasi tentang pasal tertentu yang baru saja
ditandatangani. Pedoman ini menjadi penting sebagai pelengkap UU ITE, sambil
menunggu proses adanya revisi ataupun dituangkannya norma- norma hukum siber
itu ke dalam KUHP yang baru. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar