Semua
Jalan Menuju ke Roma Trias Kuncahyono ; Penikmat Sepak Bola |
KOMPAS, 14 Juli 2021
Benar apa yang dikatakan
Karl Marx, sejarah selalu mengulang dirinya sendiri, baik itu sebagai tragedi
maupun lelucon. Kekalahan Inggris dari Italia pada adu penalti, Senin
(12/7/2021) dini hari WIB adalah pengulangan tragedi bersejarah di Stadion
Wembley, London, Inggris. Di Wembley, 55 tahun
silam, Inggris memenangi Piala Dunia 1966 dengan mengalahkan Jerman. Sejak
saat itu, Inggris berusaha keras untuk mengulangi sejarah gemilang di
Wembley. Kesempatan itu terjadi pada final Piala Eropa 2020. Namun, seperti
kata Marx, sejarah itu berulang sebagai tragedi. Inggris lagi-lagi kalah
lewat adu penalti. Hal itu mengulangi semifinal Piala Eropa 1996 di Wembley.
Saat itu, Inggris kalah dalam adu penalti melawan Jerman. Sejarah itu berulang tidak
hanya sebagai tragedi, tetapi juga lelucon. Semboyan dan nyanyian mereka,
”It's Coming Home” dan ”Football’s Coming Home”, yang merujuk pada sejarah
awal sepak bola, yakni di Inggris, pun diplesetkan Leonardo Bonucci. Di depan
kamera televisi, bek tengah Italia itu berteriak, ”It's coming to Rome! It's
coming to Rome!". Bahkan, koran Jerman, Süddeutsche Zeitung, mengamplifikasi
pernyataan Bonucci itu. Sejarah memang selalu
bertindak sesuai logikanya sendiri : tidak mau diatur-atur. Meski demikian,
historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan. Sejarah jadi guru
kehidupan bagi Bukayo Saka (19), penyerang Inggris yang menangis setelah bola
tendangan penaltinya ditepis kiper Italia, Gianluigi Donnarumma (22).
Padahal, penalti itu semestinya menjadi penyelamat Inggris. Sejarah juga menjadi
pelajaran bagi Jadon Sancho (21) dan Marcus Rashford (23) yang juga gagal
mengeksekusi penalti dengan sempurna. Mereka pun dihibur Gareth Southgate,
pelatih Inggris yang tahu betul rasanya kekecewaan gagal menendang penalti
pada Piala Eropa 1996 silam. Pelita
dari kegelapan Sebaliknya, bagi rakyat
Italia, kemenangan itu bagaikan pelita yang membawa negerinya keluar dari
kegelapan malam setelah selama 18 bulan dikuasai pandemi Covid-19. Mereka
seperti melihat cahaya yang begitu indah, cermerlang, meskipun pandemi belum
sepenuhnya berlalu. Sejak awal 2020 lalu hingga Selasa (13/7), total kasus
positif Covid-19 di Italia mencapai 4,27 juta jiwa. Mengacu Worldometers,
jumlah yang tewas mencapai 127.788 jiwa. Mereka merasa kemenangan
di Piala Eropa 2020 lebih dari sekadar kejayaan tim sepak bola. Kemenangan
itu adalah mimpi yang menjadi kenyataan, setelah tahun mimpi buruk dan
penantian panjang, 53 tahun, akan trofi Piala Eropa kedua mereka. Roberto Mancini, pelatih
kesebelasan Italia, disebut-sebut sebagai pembawa pelita di tengah kegelapan
dunia sepak bola Italia di tataran internasional. Ia telah membawa sepak bola
Italia memasuki zaman renaisans. Mancini lah yang telah melahirkan kembali
sepak bola Italia. Negara yang sudah
memenangi empat trofi Piala Dunia itu tersingkir di fase grup Piala Dunia
2010 dan 2014. Di antara dua kegagalan itu, Italia juga kalah dalam final
Piala Eropa 2012. Dan, titik nadir persepakbolaan Italia terjadi pada
November 2017, yaitu pada playoff kualifikasi Piala Dunia 2018. Karena dikalahkan Swedia
saat itu, ”Gli Azzurri” tidak ikut merasakan pesta Piala Dunia di Rusia 2018.
Kegagalan itu kali pertama terjadi sejak 1958. Karena itu, keberhasilan
mereka memboyong Piala Eropa benar-benar dirasakan sebagai kemenangan yang
luar biasa. Mancini lah yang
”mengangkat” tim Italia dari lembah penderitaan. Ia dengan cepat memulihkan
reputasi Azzurri. Perjalanan ke Wembley, puncak Piala Eropa, lancar. Dari
laga awal, mereka tak pernah kalah. Bahkan, mereka tidak terkalahkan di 34
laga beruntun sejak 2018. Lantas, ketika akhirnya
anak asuhan Mancini membawa Piala Eropa kembali ke Roma, koran olah raga
terkemuka di Italia, Corriere dello Sport, mengirim pesan khusus lewat
Twitter kepada tim Italia. ”Non tutte le stelle vengono dal cielo. Grazie
Azzurri! (Tidak semua bintang datang dari langit. Terima kasih Azzurri),”
bunyi pesan itu. La Repubblica, harian
terkemuka lainnya di Italia, menggambarkan Mancini sebagai orang yang
menghidupkan kembali Azzurri. Ia disebut sebagai ”pemenang sesungguhnya” dan
arsitek ”cerita dongeng” Italia. Koran ini juga menyebut tim Italia
”ditakdirkan dan ditebus” Mancini serta keterampilan dan keberanian Gianluigi
Donnarumma, sang kiper Italia. Tak heran, ada yang
menyandingkan Mancini dengan nama-nama besar dalam dunia filsafat dan sastra
pada abad Renaisans, seperti Petrarch (1304-1374), Lorenzo Valla (1407-1457),
dan Giordano Bruno (1548-1600). Benar yang pernah
dikatakan legenda Belanda, Johan Cruyff, ”Italia tidak bisa mengalahkan Anda,
tetapi Anda pasti bisa kalah dari mereka.” Inggris kali ini menjadi korban
Italia. Seperti dikatakan Mancini, bermain sepak bola luar biasa sama sekali
tidak berarti apa-apa jika tidak berhasil merebut piala. Bersama Mancini dan
kehebatan Donnarumma, kesebelasan Italia telah menjadi ”seekor serigala” yang
mampu mengalahkan ”Tiga Singa.” Bahkan, menurut La Gazzetta dello Sport,
Italia mengubah Tiga Singa jadi puppies alias anak-anak anjing nan jinak. Namun, Silvio Berlusconi,
mantan Perdana Menteri Italia dan pemilik AC Milan, pernah mengatakan, sepak
bola itu seperti politik, yaitu bisa berubah setiap saat. Ketika Luke Saw menjebol
gawang Italia pada menit ke-2, Inggris seakan mengulang sejarah manis 1966 di
Wembley. Realitasnya, takdir berbalik arah, seolah-olah ”semua jalan menuju
Roma.” ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar