Eko-Artivisme Idi Subandy Ibrahim ; Pengajar di Magister Ilmu Komunikasi (MIK)
Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung; Pengajar Luar Biasa di Program
Doktor Agama dan Media/Studi Agama-Agama Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Gunung Djati (SGD) Bandung; dan Pengajar Luar Biasa di MIK Pascasarjana FISIP
Universitas Brawijaya (UB) Malang |
KOMPAS, 17 Juli 2021
Kritikus sastra, H.B.
Jassin, pernah mengatakan, seniman-seniman adalah kumpulan tenaga batin suatu
bangsa. Pada mereka (penyair, pengarang, pelukis, pemahat, komponis, dan
lain-lain pencipta) terkumpul dan terbentuk kekayaan atau kemiskinan batin
suatu bangsa. Seniman merupakan pemancar tenaga batin melalui karya-karya
mereka berupa sajak, cerita, drama, lukisan, pahatan, lagu, dan sebagainya. Pernyataan lebih tujuh
dekade tersebut masih terasa aktual. Dengan ketajaman indera dan kepekaan
batin, memungkinkan seniman memberikan kesaksian atas problema kehidupan yang
dirasakannya. Kesaksian dan penghayatan akan kenyataan untuk sebagian
membentuk ekspresi diri dan kemampuan kreativitas yang mendorong solidaritas
dan keterlibatan sosial. Kita menyaksikan dalam
tiga dekade terakhir terjadi peningkatan kerusakan lingkungan hidup yang luar
biasa. Baik dari Walhi maupun Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),
kita mendapatkan data mengenai masih meluasnya kerusakan daerah aliran
sungai, laju kerusakan hutan, lahan kritis, dan berbagai kerusakan lingkungan
hidup. Krisis ekologis terus mengancam keselamatan hidup manusia dan
keanekaragaman hayati di Indonesia. Menyaksikan bencana
ekologis di pelupuk mata, mendorong sebagian seniman melibatkan diri secara
langsung dengan isu-isu lingkungan bahkan melakukan perlawanan terhadap
berbagai praktik ekosida (ecocide, pemusnahan habitat atau lingkungan hidup)
lewat karya-karyanya. Artivisme (perpaduan
art/seni dan aktivisme) muncul spontan dalam kosakata gerakan sosial
kontemporer. Artivisme sebagai kerja kolektif-kolaboratif didasarkan pada
pemulihan aktivitas artistik untuk tujuan intervensi sosial langsung dan
melibatkan komunitas. Meski sebagian menganggap akan menyurutkan otonomi
kreatif seniman, sebagian lagi melihat sebagai peluang bagi seni untuk
terlibat langsung dalam proses perubahan sosial. Dengan eko-artivisme, seni
sebagai aktivisme dan aktivisme lewat seni untuk pemulihan lingkungan hidup,
seniman menjadi saksi dan pelaku budaya dalam komunitasnya. Kepedulian
seniman terhadap alam menunjukkan betapa ruang kebersamaan dan masa depan
kita sedang terancam. Perasaan yang tertuang dalam karya seni tak hanya
menggemakan suara alam yang terluka, tetapi juga gugatan profetis sang
seniman atas dekadensi kehidupan dan degradasi lingkungan hidup. Sebutlah, misalnya, proyek
seni lingkungan seperti digagas seniman Bandung, Tisna Sanjaya, bernama Imah
Budaya Cigondewah adalah jawaban atas pembangunan wilayah yang tak
memedulikan kelestarian alam yang diyakini sang seniman sebagai ”proses
penghancuran lingkungan hidup dan nilai-nilai kemanusiaan dan budaya lokal
yang menyangganya”. Gagasan tersebut muncul
dari keprihatinan sang seniman menyaksikan air sungai yang semula mengalir
”penuh cinta” berubah menjadi ”penuh limbah” beracun. Tanggapan atas alih
lahan desa pertanian menjadi hutan beton kawasan industri. Kapitalisasi dan
komodifikasi ruang hidup yang meminggirkan komunitas lokal dari alam
lingkungan hidupnya. Hal serupa dilakukan oleh
seniman multimedia Yogyakarta, Setu Legi, dengan kelompok seni radikal Taring
Padi yang melakukan ’konfrontasi artistik’ terhadap akar penyebab bencana
lingkungan hidup. Legi menggunakan media lukisan, patung, mural, stensil,
cetak saring, foto, dan suara serta instalasi-instalasi lain yang di
antaranya dibuat dari bahan alami seperti tanah. Karya Legi menyoroti
faktor-faktor politik-ekonomi di balik marjinalisasi dan penghancuran budaya
dan lingkungan disebabkan perkebunan dan pertambangan berskala besar yang
melibatkan perusahaan multinasional dan kekuatan lokal/nasional. Bagi Legi, media digital yang
bisa memperluas khalayak seni dan keintiman publik ternyata bagian dari
krisis lingkungan. Ia menimbulkan sampah elektronik (e-sampah) selain dampak
material dari infrastruktur fisik untuk penyimpanan data digital seperti
kabel, perangkat keras, outlet-outlet listrik, dan gedung-gedung. Legi
menyebut masalah lingkungan lain dari abad digital, yaitu melimpahnya suara
dan citra media, yang menimbulkan polusi budaya dan mental (Jurriëns, 2018). Penggunaan seni untuk
gerakan lingkungan mengingatkan ketika pada Juni 2016, Greenpeace membujuk
komposer dan pianis terkemuka, Ludovico Einaudi, untuk bermain di ’gunung es’
yang dibangun khusus dalam jarak 100 meter dari gletser yang runtuh sebagai
bagian dari kampanye menyelamatkan Arktik. Einaudi telah mengubah delapan
juta suara menjadi musik, The Elegy for Arctic, yang digubah khusus untuk
membantu menyuarakan perlindungan bagian dunia yang kita cintai. Hal yang sudah lama
dilakukan oleh rohaniwan-arsitek-humanis YB Mangunwijaya (alm). Ia memilih
tinggal dan menata Kali Code karena dilandasi kepedulian mendalam atas
kenyataan kehidupan yang dialami oleh kaum pinggiran. Karya-karya Romo
Mangun, seperti juga kepribadiannya, melukiskan pengabdian kemanusiaan yang
luas bagi lingkungan dan kehidupan. Menghadapi perang
ekologis, ’senjata’ satu-satunya seniman adalah bahasa simbolik, baik visual
maupun tekstual. Sampai tingkat tertentu, dari karya seni, kita melihat
hubungan dan juga ketegangan sosio-kultural, politik, dan ekologis yang
terjalin secara kompleks menurut kesaksian dan penghayatan seniman. Nuansa
batin dan perasaan seniman yang tertuang dalam bahasa ekspresinya
menggambarkan keprihatinan personal berubah menjadi kepedulian sosial. Dengan kekayaan bahasa
ungkapnya, seniman memungkinkan lingkungan benda berbicara. Di mata mereka,
hutan, pohon, laut, ombak, angin, air, ataupun gunung mungkin menjerit atau
bersuara lirih. Rendra sendiri bersajak, Aku mendengar suara/ Jerit hewan
yang terluka/ Ada orang memanah rembulan/ Ada anak burung terjatuh dari
sarangnya/ Orang-orang harus dibangunkan/ Kesaksian harus diberikan/ Agar
kehidupan bisa terjaga. Bagi Rendra, penyair
adalah penjaga kewajaran, imbangan spiritual bagi beroperasinya
lembaga-lembaga sekuler. Seniman menghadapi orang-orang yang terlibat dalam
kehidupan dan karena itu tak bisa lepas dari problema kehidupan itu. Mungkin hal ini berlaku
juga bagi sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Bukankah penciptaan cerpen
Macan-nya juga terilhami dari kisah jeritan hewan yang terluka oleh
perampokan ternak yang di luar batas kewarasan akal sehat? Di sini pengarang
mewakili suara yang tak bisa bersuara. Bukankah penyair juga memancarkan
pekikan sukma masyarakat yang diabaikan? ”Seniman yang sesungguhnya
merasakan lebih dalam dan lebih halus kemurnian nilai-nilai kehidupan dan
dengan sendirinya menjadi musuh dari kelaliman, ketidakadilan, kepalsuan, dan
ketidaksewajaran. Hal ini terbayang dalam ciptaan-ciptaan mereka, meskipun
hanya berupa ratapan dan tangisan, sehingga mereka lebih luas bisa disebut
pahlawan-pahlawan untuk keadilan, kebenaran, dan kejujuran,” demikianlah HB
Jassin menggambarkannya lebih tujuh dekade silam dalam Pengarang Indonesia
dan Dunianya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar