Sabtu, 10 Juli 2021

 

Demokrasi Berkelanjutan

Azyumardi Azra ;  Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin Khalifa University, Qatar

KOMPAS, 8 Juli 2021

 

 

                                                           

“What makes democracy sustainable? Normatively desirable and politically desired effects such as economic growth, material security, freedom from arbitrary violence and other factors conducive for full development of individual … and society" (Sustainable Democracy, 1995/2004).

 

Kenapa kini perlu bicara tentang demokrasi berkelanjutan (sustainable democracy)? Apakah demokrasi dewasa ini terancam tidak berkelanjutan? Apa alasan dan nalar di balik tema ini?

 

Istilah dan konsep sustainable democracy menemukan popularitas lebih dari seperempat abad lalu (1995), ketika 21 ilmuwan sosial dalam empat disiplin ilmu akademis dari 11 negara menerbitkan laporan bersama. Meski laporan yang ditulis Adam Przeworski et al berjudul "Sustainable Democracy" kini sudah klasik, berbagai argumennya tentang demokrasi berkelanjutan tetap relevan dewasa ini dan ke depan.

 

Laporan ini mengkaji tentang apa dan bagaimana langkah membangun demokrasi berkelanjutan di negara-negara demokrasi baru di Amerika Latin dan Eropa Timur. Selanjutnya, demokrasi juga diadopsi kian banyak negara lain seperti Indonesia. Tetapi kini masa depan demokrasi berkelanjutan menjadi tanya besar.

 

Secara substantif, laporan tersebut jelas masih relevan dengan negara-negara demokrasi relatif baru termasuk Indonesia. Juga relevan dengan negara-negara yang gagal membangun demokrasi—apalagi berkelanjutan—seperti negara-negara Arab yang mengalami ‘Arab Spring’, transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi.

 

Laporan Sustainable Democracy menyatakan, ada beberapa prasyarat agar demokrasi dapat berkelanjutan. Di antara prasyarat itu adalah kondisi politik dan sosial yang bebas, dan ekonomi yang bertumbuh baik. Hanya dengan kondisi kondusif dalam politik, sosial dan ekonomi dapat terbina demokrasi berkelanjutan.

 

Prasyarat lain, pemerintahan demokrasi harus senantiasa mengembangkan iklim dan suasana kewargaan demokratis yang membuat masyarakat sipil dinamis. Hanya dengan kewargaan demokratis, demokrasi bisa menguat dan berkelanjutan.

 

Hanya demokrasi berkelanjutan dapat menjamin partisipasi kontinu warga dalam pembangunan ekonomi yang pada gilirannya juga berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demokrasi tidak bisa berkelanjutan jika warga tidak sejahtera alias terbenam dalam kemiskinan dan ketidakadilan sosial-ekonomi.

 

Perkembangan di banyak negara menyangkut demokrasi beberapa tahun terakhir mencemaskan dapat terbentuknya demokrasi berkelanjutan. Banyak lembaga advokasi demokrasi di tingkat global, regional dan nasional serta aktivis demokrasi cemas dengan gejala yang membuat demokrasi genuine terancam kehilangan relevansi dan masa depan.

 

Oleh karena itu, perlu peningkatan pencermatan dan kewaspadaan terhadap berbagai gejala dan kecenderungan yang mengancam demokrasi berkelanjutan. Dari situ selanjutnya bisa dilakukan gerakan dan program aksi untuk rejuvenasi dan revitalisasi demokrasi agar dapat tumbuh dan menguat berkelanjutan.

 

Meminjam kerangka argumen Sustainable Democracy, dengan prihatin harus dinyatakan, masa depan demokrasi berkelanjutan kini tidak seindah yang pernah dibayangkan banyak kalangan. Sejumlah perkembangan yang terjadi, menghadirkan keadaan tidak kondusif bagi demokrasi berkelanjutan.

 

Lihatlah wabah Covid-19 yang masih merajalela menjelang dua tahun—belum bisa diprediksi entah sampai kapan—terlihat mengancam demokrasi berkelanjutan. Wabah Covid-19 ternyata memberi peluang besar peningkatan otoritarianisme di banyak negara.

 

Banyak pemerintah di negara-negara demokrasi atas nama ‘perang’ melawan Covid-19 mengambil keputusan dan kebijakan dengan mengabaikan prosedur demokrasi—juga termasuk Indonesia. Banyak kebijakan tidak hanya gagal menerapkan demokrasi prosedural, juga melanggar demokrasi substantif dan hak asasi manusia (HAM).

 

Selain itu, atas nama melawan Covid-19, pemerintah juga tidak menjalankan kepatutan dalam hubungan dengan rakyat. Suara dan komplain rakyat memprotes ketidakadilan akibat kebijakan pemerintah terkait Covid-19 juga tidak dipedulikan.

 

Mengambil langkah dan kebijakan non-demokratis, pemerintah Indonesia tidak terlalu berhasil atau malah sering terlihat kedodoran. Apalagi dengan sumber daya keuangan kian menipis walau hutang makin menggunung, pemerintah patut menghentikan pendekatan dan cara yang melanggar demokrasi.

 

Kembali pada demokrasi genuine, pemerintah dapat menggalang kekuatan masyarakat sipil untuk membantu dalam mitigasi wabah Covid-19. Tetapi pemerintah gagal berkomunikasi politik yang baik dengan masyarakat sipil.

 

Padahal, dengan kemampuan menggalang dana filantropi, masyarakat sipil dapat membantu penanggulangan kemiskinan dan pengangguran yang meningkat drastis akibat wabah korona.

 

Lembaga-lembaga filantropi masyarakat sipil berjasa besar membawa Indonesia ke peringkat pertama negara dengan warga paling dermawan secara global. Sayang sekali potensi mereka tidak diapresiasi pemerintah.

 

Namun, sangat disayangkan di Indonesia justru terjadi peningkatan oligarki despotik-nepotistik. Berbagai kebijakan menyangkut kehidupan publik hampir sepenuhnya ditentukan segelintir pejabat puncak pemerintah dan elit politik partai.

 

Pemerintah Indonesia yang berhasil membentuk koalisi besar dengan partai-partai di parlemen, hampir sepenuhnya memproses dan menetapkan undang-undang dan ketentuan lain tanpa melibatkan publik dan masyarakat sipil. Meski ada suara kritis dari kalangan publik dan masyarakat sipil, elite pemerintahan dan politik oligarkis-nepotistik tidak peduli.

 

Demokrasi tidak bisa berkelanjutan jika pemerintah dan DPR tidak mau ikhlas dan lapang dada mendengar suara kritis. Atau kalau pun seolah mau mendengar, tapi disertai berbagai catatan yang ujung-ujungnya seolah tidak membenarkan kritik.

 

Padahal masih adanya suara kritis dari masyarakat merupakan modal tersisa untuk demokrasi berkelanjutan. Suara kritis muncul menghadapi segala resiko yang berusaha menghalangi kebebasan beraspirasi dan berekspresi yang kian menyempit. Padahal ini adalah salah satu prasyarat utama bagi demokrasi bisa berkelanjutan.

 

Kembali menciptakan keadaan dan iklim kondusif bagi tumbuhnya demokrasi berkelanjutan kini juga merupakan salah satu tantangan utama pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

 

Dalam waktu tidak terlalu lama, sebelum berakhir masa jabatan mereka, kepemimpinan nasional ini patut mengerahkan segala daya membangun kembali demokrasi berkelanjutan. Ini kelak bisa menjadi legacy penting mereka dalam sejarah. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar