Minggu, 14 Maret 2021

 

Problematika Musik Indonesia Mutakhir

 Aris Setiawan  ; Etnomusikolog

                                                        KOMPAS, 13 Maret 2021

 

 

                                                           

Jauh sebelum pandemi, sebenarnya kondisi musik kita, terutama di kancah industrial, sedang tidak baik-baik saja. Harus diakui, media sosial—terutama YouTube—berperan besar dalam hal ini.

 

Siapa pun, tanpa harus melalui proses yang panjang, dapat menjadi musisi atau artis musik dengan seketika. Yang dibutuhkan kemudian adalah viral, atau mampu menggaet animo penonton dalam jumlah besar. Tidak peduli karya yang ditampilkan berbobot atau sekadar konfliktual.

 

Lebih dari itu, media sosial adalah aktor utama yang menumbangkan bangunan kokoh industri musik Tanah Air, ditandai dengan bangkrutnya label-label—perusahaan rekaman—besar di Ibu Kota.

 

Musisi Tanah Air takut membuat karya baru. Karena begitu karya baru dibuat, beberapa menit kemudian karya itu sudah terbajak dengan masif. Dinyanyikan ulang—cover—di media sosial oleh penyanyi atau artis lain, tentunya dengan kualitas dan gaya yang lebih baru dan segar. Akibatnya, musisi merugi, hasil karyanya terus dibajak dan menguntungkan pihak lain, tetapi ia tak mendapat kompensasi apa pun (A Setiawan, 2020).

 

Oleh karena itu, hari ini kita tidak lagi melihat karya-karya baru yang dikemas secara serius, seperti pembuatan videoklip dengan menggandeng sutradara film, misalnya. Hal itu dipandang percuma, biaya mahal yang dikeluarkan tak berbanding dengan keuntungan yang didapat. Undang-Undang Hak Cipta hanya galak di wacana, tetapi lembek dalam implementasi praktiknya.

 

Kondisi yang demikian sebenarnya cukup berbahaya, terutama bagi ekosistem perkembangan musik ke depan. Tak ada lagi laku kreatif dalam menciptakan karya bermutu. Hal ini semakin diperparah dengan pandemi.

 

Apabila selama ini musisi mengandalkan pementasan langsung di hadapan penonton sebagai penopang hidupnya, kini hal itu tak lagi dapat dilakukan.

 

Posisi mereka kian problematis. Pada satu sisi, hendak berkarya lewat jejaring media sosial, tetapi risiko dibajak. Di sisi lain, jika tidak berkarya, nama mereka akan segera tenggelam atau tak lagi dikenal publik. Akibatnya, job manggung kian sepi dan tergantikan musisi lain.

 

Sementara di kanal-kanal media sosial terus muncul artis-artis musik baru yang lebih populer, padahal semata hanya mengandalkan karya cover dari lagu yang sudah ada.

 

Otomatis dibutuhkan gerakan frontal dalam upaya mengembalikan ekosistem kehidupan musik Tanah Air. Gerakan itu tidak semata kebijakan berupa peraturan perundang-undangan, tetapi lebih pada strategi kebudayaan.

 

Pelibatan seluruh episentrum di selingkar kehidupan musik menjadi mutlak diperlukan, baik pelaku, stakeholders, publik, maupun pemerintah. Musisi tidak akan mampu bergerak sendiri dalam upaya melawan pembajakan, tetapi butuh kerja sama dari semua pihak.

 

Publik, misalnya, selama ini termanjakan dengan pelbagai suguhan menarik di kanal media sosialnya secara gratis, tetapi tanpa diimbangi pengetahuan memadai tentang pentingnya menghargai karya musik dari pencipta aslinya.

 

Tidak ada kesadaran bahwa perilaku yang demikian akan mematikan sisi kreatif musisi, hingga tidak lahirnya karya musik bermutu, berujung pada rusaknya ekosistem musik di negeri ini. Jauh sebelumnya, gejala yang sama juga terjadi dalam bingkai musik tradisi, hanya saja penyikapannya dilakukan secara berbeda.

 

Musik tradisi

 

Sebelum media sosial memorakporandakan bangunan industri musik Tanah Air, kehidupan musik tradisi kita telah terlebih dahulu mengalami masifnya pembajakan lewat VCD-DVD tak orisinal.

 

Oleh karena kesenian tradisi dianggap tidak memiliki pilar corak industri yang kokoh, pembajakan menjadi hal yang sangat biasa. Di pasar-pasar pojok kampung, dengan mudah kita jumpai penjual yang memajang kaset VCD-DVD bajakan, berisi musik campursari, klenengan gamelan, bahkan orkes dangdut di hajatan pernikahan.

 

Namun, seniman tradisi menyikapinya dengan realistis, bahwa ketika musisi pop Ibu Kota memiliki label rekaman besar dalam memublikasikan karyanya, VCD-DVD bajakan itu bagi musisi desa adalah sarana publikasi yang paling efektif. Semakin banyak dibeli, ditonton, dan didengarkan, kemungkinan besar job pentas mereka akan semakin banyak.

 

Hajatan-hajatan di kampung pun tak lengkap jika tidak menghadirkan mereka. Bahkan, tidak sedikit artis Ibu Kota yang dibesarkan dari VCD-DVD bajakan, sebutlah Inul Daratista, Via Vallen, dan Ayu Ting-ting misalnya.

 

Dalam konteks musik tradisi, ada kesadaran bahwa mendengarkan tanpa menghadirkan adalah sebuah laku kerja yang tak lengkap. Di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur mulai kembali bergeliat ritus nggantung gong, yakni menggelar konser—klenengan—gamelan dalam pelbagai peristiwa kebudayaan.

 

Tingginya angka pembajakan karya musik berbanding lurus dengan tingginya permintaan pentas. Persoalannya kemudian adalah, ruang-ruang pementasan itu kini tidak lagi ada karena pandemi. Musisi tradisi mengalami gejolak hidup yang paling memprihatinkan.

 

Tidak sedikit dari mereka yang berusaha membawa gerbong pertunjukan dari luring menjadi daring, dengan memanfaatkan media sosial, sebagaimana yang terjadi pada musik-musik pop. Tetapi, harus diakui bahwa ada kegagapan atau ketidaksiapan.

 

Apabila musik pop telah menemukan bentuk dan formatnya untuk tampil di kanal-kanal media sosial, tidak demikian bagi musik tradisi. Kodrat media sosial yang lebih mengandalkan kuasa visual tidak berbanding dengan entitas musik tradisi yang lebih mengandalkan kualitas auditif.

 

Bayangkan, konser karawitan tampil di Youtube, dengan posisi tubuh musisi yang terlihat diam dan khusyuk bermain gamelan. Bahkan sesekali terlihat mengantuk. Membosankan bukan?

 

Lalu, bagaimana menyiasati capaian kualitas bunyi musik tradisi dalam media sosial, saat harus mengubah bunyi instrumen, atau suara vokalis musik tradisi, menjadi getaran elektrikal. Kemudian masih pentingkah kita menata instrumen gamelan seperti di pendopo, misalnya, saat bunyi instrumen itu saling campur, bertabrakan secara digital?

 

Persoalan musik kemudian tidaklah sesederhana seperti yang kita pikirkan. Atau pertanyaan yang paling sederhana, hingga kini kita belum memiliki prosedur standar operasi (SOP) dalam upaya mendigitalisasi bunyi gamelan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar