Data
untuk Vaksinasi Agus Pramono ; Statistisi Badan Pusat Statistik RI |
KOMPAS,
02 Maret
2021
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin akan
menggunakan data pemilih di Komisi Pemilihan Umum sebagai acuan program
vaksinasi Covid-19. Data ini disebut paling terbarukan, lebih lagi belum lama
digunakan untuk Pilkada 2020. Tantangan besar dari sebuah program massal
memang akurasi data sehingga ini perlu dikawal bersama. Secara regulasi, data pemilih hanya
diperkenankan untuk kepentingan pemilu atau pilkada. Oleh karena itu,
alih-alih menyerahkan data pemilih, anggota KPU, Hasyim Asy’ari, 29 Januari
2021, menyebutkan, mekanisme yang akan dilakukan bersama Kementerian
Kesehatan hanya berupa pencocokan data atau sinkronisasi. Sejauh ini belum disampaikan data mana yang
akan disinkronkan dengan data KPU, tetapi dengan tenggat yang direncanakan
selama 15 bulan dan skala vaksinasi yang menarget 181,5 juta orang jelas ini
bukan tantangan mudah. Kita berharap kedua lembaga bisa mematangkan
operasionalisasi teknisnya sesegera mungkin. Tiga
catatan Di luar itu, paling tidak ada tiga hal yang
perlu diantisipasi Kemenkes saat menggunakan data pemilih KPU sebagai
validator. Situasi ini tak lepas dari peruntukan data pemilih KPU yang
disusun dengan tujuan khusus (pemilu) sehingga memiliki filter tertentu dari
data penduduk secara umum yang jadi target vaksinasi. Pertama, cakupan data pemilih KPU lebih
sedikit dari penduduk secara umum. Data pemilih KPU tak memuat data TNI/Polri
yang tak memiliki hak pilih sehingga pembaruan data di kedua instansi perlu
disiapkan secara beriringan. Data KPU juga tak termasuk penduduk WNA yang
secara riil tinggal di Indonesia. Secara hak, tentu WNI harus didahulukan,
tetapi sumber penyebaran virus tidak memandang kewarganegaraan. Sembari menyiapkan kebijakan vaksinasi
untuk WNA, pembaruan data untuk kelompok ini perlu disiapkan bersama instansi
terkait, seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan. Kelompok lain adalah warga negara yang tak
memiliki identitas kependudukan, seperti gelandangan atau tunawisma. Kelompok
ini hak atas identitasnya belum terpenuhi. Jika kondisi itu menyebabkan
hilangnya hak atas kesehatan (vaksinasi), maka ibaratnya sudah jatuh tertimpa
tangga pula. Kedua, perbedaan data administrasi dengan
domisili. Data pemilih KPU berasal dari daftar penduduk potensial pemilih
pemilu (DP4) yang disusun Kementerian Dalam Negeri. Basis data ini adalah
administrasi kependudukan, salah satunya alamat yang tercantum di KTP/kartu
keluarga (KK). Sejauh tak mengurus surat pindah, penduduk
yang berdomisili di tempat lain masih tercatat sebagai pemilih di alamat
KTP/KK-nya. Memang ada sebagian yang mengurus pindah memilih ke TPS sesuai
domisili (tetap atau sementara) sehingga namanya masuk daftar pemilih tetap
tambahan (DPTb). Pada Pemilu 2019, menurut anggota KPU,
Viryan Aziz, 21 Maret 2019, jumlah yang masuk dalam daftar ini 569.451
pemilih. Padahal, berdasarkan hasil sensus penduduk September 2020, jumlah
penduduk yang domisilinya tak sesuai alamat KK sebanyak 23,47 juta orang atau
8,68 persen dari total populasi. Jika tidak menghitung penduduk usia di
bawah 17 tahun dari jumlah tersebut sekalipun, jumlahnya masih amat besar.
Upaya pemetaan domisili riil penduduk dapat memudahkan distribusi dan alokasi
vaksin dengan lebih tepat. Mekanisme pendaftaran pindah memilih yang
digunakan KPU bisa diadopsi untuk pendaftaran pindah lokasi vaksinasi. Ketiga, ketidaksempurnaan data pemilih KPU.
Perbaikan data kependudukan Indonesia secara komprehensif ditandai dengan
peluncuran program nomor induk kependudukan (NIK) nasional dan KTP elektronik
oleh Kemendagri tahun 2010. Dalam kurun satu dasawarsa, menurut Dirjen
Dukcapil, 3 November 2020, tinggal 2,7 juta masyarakat Indonesia yang belum
memiliki KTP elektronik. Ketidaksempurnaan seperti ini juga terjadi
pada data pemilih KPU. Baik pada Pemilu 2019 maupun Pilkada 2020, masih
ditemukan pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT sehingga harus memilih
menggunakan KTP elektronik atau yang disebut masuk di daftar pemilih khusus
(DPK). Jika data DPK ini sudah diperbaiki dan
masuk DPT, maka pembaruan telah dilakukan. Namun, jika belum, proses
integrasi perlu dilakukan terlebih dahulu di data KPU. Pada dua hajatan
politik ini juga masih ditemukan adanya pemilih ganda, sudah meninggal, atau
masih di bawah umur. Untuk melakukan pembaruan dengan pengecekan
lapangan rasanya sudah tak tersedia cukup waktu. Oleh karena itu,
rekomendasi/temuan Bawaslu yang sudah disampaikan ke KPU saat Pemilu 2019 dan
Pilkada 2020 dapat digunakan untuk memperbaiki kekurangan seperti ini. Kualitas
data Perhatian pada ketiga hal ini akan membantu
meningkatkan kualitas data untuk vaksinasi di Indonesia. Lebih lagi belum
lama ini muncul riset dari John Hopkins University yang memprediksi vaksinasi
Indonesia baru bisa tuntas dalam waktu sepuluh tahun. Prediksi ini berpatokan
pada laju vaksinasi yang hanya 60.433 dosis per hari. Kondisi ini tentu merisaukan,karena dalam
kurun waktu tersebut tak terbayang berapa banyak nyawa yang mungkin jadi
korban. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes dr Siti Nadia Tarmidzi, 7
Februari 2021, tak setuju dengan prediksi ini dan menegaskan target vaksinasi
Covid-19 di Indonesia masih on track, yakni 12 bulan. Sanggahan ini perlu dibuktikan dengan data
yang akurat dan pelaksanaan yang lebih cepat sekaligus tepat. Upaya ini bukan
semata-mata untuk membuktikan kita bisa, melainkan memastikan perlindungan
pada segenap tumpah darah Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar