Jumat, 22 November 2013

Membuka Mata Menangkap Makna



Membuka Mata Menangkap Makna
Komaruddin Hidayat  ;  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO,  22 November 2013



Kehidupan sekeliling sungguh merupakan buku terbuka yang menyampaikan pelajaran serta pesan hidup yang amat jelas dan nyata. Masalahnya, apakah kita membuka mata, telinga, dan pikiran ataukah tidak?

Untuk membaca lingkungan sosial bahkan kita tak perlu keluar rumah. Surat kabar dan televisi selalu setia mendatangi kita dengan beraneka ragam cerita dan pelajaran hidup. Misalnya saja, di balik berita korupsi yang dilakukan para pejabat pemerintah yang kadang membuat lelah emosi terpampang sangat jelas pesan kehidupan yang pantas sekali kita renungkan.

 Saya memiliki beberapa kenalan, baik yang dekat maupun yang jauh, sekarang lagi berurusan dengan KPK dengan sangkaan korupsi. Dari sumber pemberitaan, mereka itu sudah kaya raya. Depositonya miliaran. Rumah dan kendaraan berlebih. Allah telah memberi karunia keluarga dan anakanak yang sehat. Pendeknya, terlalu banyak yang mestinya disyukuri dengan memperbanyak amal kebajikan, setia membayar pajak, zakat, dan sedekah, serta kebajikan lain.

Berbahagialah bagi mereka yang melimpah harta dan memiliki jabatan tinggi karena semakin terbuka lebar peluang untuk membantu dan melayani masyarakat sebagai tabungan amal saleh bekal kehidupan pada masa depan. Dalam kajian psikologi, salah satu sumber kebahagiaan tertinggi bagi seseorang adalah ketika bisa membahagiakan orang lain sebanyak mungkin.

Peluang itu paling dekat diraih oleh mereka yang berilmu, memiliki harta berlimpah, dan kekuasaan untuk membuat kebijakan publik. Membaca panggung kehidupan di sekeliling, saya sering tercenung dan sangat menyayangkan, mengapa mereka yang telah memperoleh anugerah yang sedemikian mewah dengan kekayaan dan jabatan serta keluarga tidak mampu mensyukuri hidup dan menjaga amanat yang diemban.

Mensyukuri itu memanfaatkan anugerah Allah di jalan yang benar dan baik sesuai sifat anugerah itu. Mensyukuri ilmu ialah mengajarkan pada orang lain dan memanfaatkannya untuk kemaslahatan hidup. Mensyukuri jabatan ialah menolong dan menyejahterakan masyarakat dengan kewenangan yang dipegang. Betapa lama dan berat perjuangan kita untuk menjadi seorang sarjana.

Lalu setelahnya mesti berjuang lebih keras lagi di bidang ekonomi agar mandiri, lepas dari belas kasih orang tua. Belum lagi agenda perjuangan hidup lain seperti membina keluarga, sosial, dan jenjang karier birokrasi. Ketika sudah berhasil meraih strata sosial, ekonomi, dan jabatan tinggi, yang mesti selalu diingat dan direnungkan adalah; apakah keberhasilan dan produktivitas hidup saya itu meaningful ataukah tidak?

Apakah prestasi saya secara kualitatif dan sosial bermaknabagi dirisendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa? Tentu saja masing-masing memiliki jawaban sesuai referensi nilai-nilai hidup yang mereka pegang dan yakini. Bagi orang beragama mestinya sangat sadar, semua ini amanah dan anugerah. Sebagai amanah mesti dipertanggungjawabkan kepada pemberi amanah.

Sebagai anugerah mesti disyukuri dengan cara saling berbagi dan menolong. Tak ada ruang sedikit pun untuk sombong karena tidak mungkin kita hidup tanpa bantuan orang lain, terutama orang-orang terdekat, apa pun jenis pekerjaannya. Banyak sekali agenda dan permasalahan hidup yang tidak selesai hari ini, kita selalu mengharapkan masih ada esok hari, dan masih ada orang lain bersama kita.

Begitu pun keyakinan tentang akhirat? Mengapa kita yakin dan mengharap ada akhirat? Karena banyak persoalan hidup yang belum dan tidak terselesaikan di dunia. Banyak orang baik dan tulus hidupnya, tetapi malah sengsara dan terpinggirkan. Sebaliknya, banyak orang yang membuat orang lain susah, menjarah uang rakyat dan negara, tetapi mereka merasa menang dan hebat.

Ingat, drama hidup belum berakhir di sini. Mesti ada hari esok untuk menyelesaikan secara fair, adil. Maka itu, semua agama besar mengajarkan dua doktrin yang sangat fundamental: ada hari perhitungan berdasarkan hukum sebab-akibat yang berada di tangan Sang Maha Hakim yang keadilannya absolut. Jangan lelah membuka mata, menangkap makna, agar hidup kita lebih produktif dan bermakna.

Kita kesal dan marah pada sekelompok orang yang sibuk hanya mengejar jabatan dan kekayaan untuk kepuasan pribadi dengan merampas hak milik orang lain. Namun, kita juga berterima kasih pada mereka karena telah berperan mengajarkan hidup bahwa apa yang mereka lakukan tak ubahnya anak-anak kecil yang asyik membuat istana pasir di pantai, yang tiba-tiba buyar tanpa bekas ketika diempas ombak.

Salah satu ombak paling dahsyat yang tak mungkin ditahan adalah ketika kematian tiba. Lalu, apa yang tersisa? Silakan masing-masing menjawab untuk dirinya sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar