Minggu, 03 November 2013

Saatnya Pemimpin Alternatif

Saatnya Pemimpin Alternatif
Benny Susetyo  ;  Budayawan dan Pemerhati Sosial
SINAR HARAPAN, 01 November 2013


Kesadaran  rakyat  akan  pemimpin alternatif yang melayani kepentingan publik  menjadi  habitus bangsa ini. Rakyat bosan dengan  wacana dan retorika.

Kita membutuhkan pemimpin alternatif yang berjiwa marhaenis guna menyelamatkan nasib bangsa ini. Mereka adalah pemimpin yang bukan saja dekat dengan rakyat, melainkan juga melindungi dan selalu bersama-sama dengan rakyat.

Mereka tidak berperilaku dan bergaya feodal, tidak berkomunikasi dengan gaya doktrinal, serta menjadi pemimpin yang bijaksana dan punya keberanian melawan kenyataan yang selama ini menindas kaum kecil.

Indonesia memiliki karakter pemimpin seperti ini. Beberapa di antaranya sudah mulai muncul. Model kepemimpinan mereka mendapatkan apresiasi sangat tinggi di tengah masyarakat.

Itulah sebabnya ruang terbuka agar mereka bisa berkiprah lebih luas dan berkontribusi lebih nyata pada bangsa ini layak dipertimbangkan. Kehadirannya akan memberikan pembanding atas pemimpin-pemimpin yang selama ini hanya memperjuangkan kaum kaya dan pengusaha hitam.

Harkat dan Martabat Bangsa

Dalam spirit Marhaenisme, pemimpin menjadi sosok yang mudah berkomunikasi dengan rakyat kecil. Mereka sungguh-sungguh ingin memperjuangkan rakyat kecil agar harkat dan martabat kehidupannya terangkat.

Tujuan lebih luas adalah tentang harkat dan martabat bangsa ini yang telah terkikis perlahan tapi pasti. Kita membutuhkan pemimpin yang bisa memberikan kesegaran baru berbangsa di tengah kehidupan yang semakin sulit.

Sebagai bangsa, kemandirian diri kita sering tidak bisa kita tunjukkan. Apa yang menjadi prinsip-prinsip kehidupan berbangsa kita bahkan, disadari atau tidak, lebih banyak ditentukan bukan oleh diri kita sendiri.

Kendati merdeka sudah berpuluh tahun, kita hanya merdeka dalam pengertian upacara. Sebagai bangsa merdeka, kita justru lebih banyak melahirkan manusia dengan jiwa terpenjara. Manusia yang terbelenggu oleh penjajahan gaya baru, baik oleh elite bangsa sendiri maupun bangsa lain.

Faktanya adalah sebagian besar rakyat kecil masih sering berada di alam pemerasan dan kekerasan oleh elite politik, penguasa, dan pemodal. Alam yang seharusnya diolah demi kemakmuran rakyat, nyatanya hanya digunakan untuk kemakmuran sebagian kecil orang.

Sebagian kecil orang itu mungkin sudah merasa merdeka, tetapi sebagian sangat besar masyarakat belum merasakan kemerdekaan dalam arti demikian. Ini karena sumber alam bukan untuk kepentingan mereka, melainkan demi kepentingan para pemilik modal.

Kehilangan Orientasi

Bangsa ini semakin lama semakin kehilangan orientasi dasar menjadi bangsa yang memiliki kemandirian dalam menentukan hari depannya. Hari depan kita semakin suram karena rakyat miskin semakin miskin.
Realitas ini tidak membuat kita sebagai bangsa tergugah. Reformasi yang selama ini diharapkan memberi ruang bagi ekspresi kebebasan rakyat dari eksploitasi penjajahan –secara politik, sosial maupun ekonomi– realitasnya belum sepenuhnya demikian. Realitasnya selama ini kita merdeka masih dalam keadaan dibelenggu oleh elite-elite kita sendiri maupun kekuatan modal.

Kenyataan ini yang membuat bangsa ini semakin tak berdaya menghadapi tata dunia yang tidak lagi mengenal belas kasih terhadap manusia-miskin. Jumlah kaum miskin di negeri kita terus meningkat karena proses pemiskinan itu terjadi melalui pola-pola yang halus dan sistematis. Salah satu cara utamanya adalah dengan menciptakan ketergantungan kepada sistem ekonomi global.

Kita tak beranjak menunjukkan diri sebagai bangsa berkarakter. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berani mengambil risiko terhadap pilihan alternatif dalam mengembangkan jati diri kebangsaannya. Jati diri kita memang telah dirumuskan dengan baik dalam tujuan kemerdekaan, yakni untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan kebodohan. Namun, kenyataannya, justru sebaliknya yang terjadi.

Pemimpin Alternatif

Masa reformasi Indonesia belum menghasilkan pemimpin autentik dan berkeutamaan yang mampu membawa menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup empati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya. Indonesia membutuhkan pemimpin yang sungguh-sungguh berperan sebagai leader, bukan dealer. Pemimpin yang memiliki karakter transformasional daripada melulu transaksional.

Masih terlalu sedikit contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini. Justru yang banyak adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan dealer layaknya seorang pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi justru sering kali melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan. Ini karena tak jarang di dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan daripada kepentingan kemakmuran rakyat semesta.

Pola bekerja para pemimpin kita lebih cenderung pada upaya pengamanan kursi kekuasaan, daripada menggunakan kekuasaan sebagai alat untuk memajukan negeri. Para pemimpin tidak menegakkan harga diri bangsa dalam tindakan-tindakan kepemimpinannya.

Justru kita semakin kehilangan kepercayaan diri sebagai bangsa. Bila ini terjadi terus-menerus, hantaman krisis sekecil apa pun akan membuat bangsa ini goyah dan panik. Menjadi bangsa yang memilih fondasi ekonomi kokoh pun hanya mimpi.

Atas itu semualah, kita membutuhkan terobosan baru dalam kepemimpinan negeri ini. Pemimpin yang tegas dan visioner, mereka yang berani melawan intimidasi dan bersungguh-sungguh dari hati nurani untuk memperjuangkan rakyat Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar