HIDUP bertetangga memang tidak
selamanya berlangsung damai dan hangat.
Ketegangan dan perselisihan
kadang muncul mewarnai hubungan antara dua negara yang bertetangga. Namun,
satu hal yang harus diterima: kita tak bisa memilih tetangga kita
sendiri. Suka tidak suka, sebagai negara berdaulat, Indonesia harus
membangun kombinasi antara sikap yang ramah tetapi juga tegas.
Terbongkarnya penyadapan oleh
Pemerintah Australia terhadap beberapa petinggi Indonesia, tahun 2009,
memancing respons publik yang kuat. Dalam relasi kehidupan bertetangga
antara Indonesia dan Australia, dialektika kerja sama dan ketegangan memang
kerap terjadi.
Bukan saja hubungan kerja sama
pendidikan, perdagangan dan keamanan dua negara, melainkan juga ketegangan
seperti saat tekanan politik Pemerintah Australia terhadap kebijakan
Indonesia terkait dengan penyikapan atas Timor Timur (saat Timor Leste
menjadi provinsi Indonesia) atau yang terbaru, tuduhan Indonesia menjadi
transit para imigran, merupakan contoh penanda ketegangan di antara kedua
negara.
Jangan gegabah
Sehubungan dengan persoalan
penyadapan dan respons Pemerintahan Australia saat kejadian itu terbongkar,
opini publik Australia tidak satu suara, tetapi beragam. Sesaat setelah
Perdana Menteri Tony Abbott menyatakan penolakannya meminta maaf kepada
Indonesia, sebagian besar kalangan terdidik—bahkan beberapa
politisi—menyatakan kekecewaan dan kritik atas tindakan arogansi tersebut.
Profesor Tim Lindsey, pakar
hukum Asia dari Melbourne University, di ABC News, menyatakan, semestinya
sikap Abbott tak memancing ketegangan terkait dengan kasus ini. Semestinya
ia memberikan penanganan yang lebih arif, seperti halnya ketika Presiden
Barack Obama meminta maaf kepada PM Jerman Angela Merkel atas kasus serupa.
Komentar senada juga diutarakan Senator Scott Ludlam dari Partai Hijau
Australia.
Keberagaman sikap dari khalayak
publik Australia perlu kita renungkan. Hal ini agar khalayak publik di
Indonesia tidak pula terpancing dan merespons secara gegabah kasus ini
dengan menganggap sikap Pemerintah Australia setali tiga uang dengan sikap
masyarakat Australia. Persepsi-persepsi seperti itu hanya akan membawa pada
suasana tidak produktif dan memancing sikap chauvinistic seperti
terlontar pada slogan Ganyang Australia dan membutakan kita atas
opini-opini di masyarakat Australia atas sikap pemerintahnya.
Sejauh ini sikap yang diambil
Pemerintah Indonesia cukup baik dengan memulangkan Duta Besar RI di
Australia, tetapi belum cukup. Seperti yang kita lihat, Abbott ternyata
menolak meminta maaf kepada Pemerintah Indonesia atas kejadian ini.
Tindakan lebih tegas seperti keberanian Pemerintah Indonesia memulangkan
diplomat Australia di Indonesia bisa menjadi salah satu pilihan kebijakan.
Terkait dengan pilihan kebijakan
untuk merespons kekerasan sikap Pemerintah Australia, kita perlu
mengalkulasi kepentingan nasional kita. Pertanyaan yang menarik untuk
didiskusikan adalah apakah kepentingan nasional lebih rugi atau tidak
ketika kebijakan penurunan hubungan diplomatik yang lebih jauh diambil.
Setidaknya ada beberapa hal yang secara strategis dapat kita kalkulasi.
Pertama, kita dapat
memperhitungkan konsekuensi dari pilihan diplomatik yang lebih tegas secara
geoekonomi. Posisi geopolitis dari Australia di bagian selatan wilayah
Indonesia dan kepentingan Australia atas negara-negara Asia Tenggara dan
raksasa ekonomi China dalam hubungan perdagangan ataupun kerja sama
internasional sebenarnya lebih menempatkan Indonesia pada posisi strategis
sebagai mediator Australia.
Dalam konteks relasi dengan Asia
Tenggara, industri pengolahan makanan Australia, misalnya, menjadikan
negara-negara Asia Tenggara sebagai konsumen utama. Dalam kurun 2012-2013,
perekonomian Asia Tenggara tumbuh stabil, dengan Asia Tenggara menjadi
target prioritas ketiga dalam perdagangan dengan raksasa ekonomi China
setelah Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Indonesia secara perekonomian
menyumbang 50 persen ekonomi Asia Tenggara. Dengan posisi seperti ini,
Australia sangat membutuhkan Indonesia untuk membangun kerja sama, baik
dengan Asia Tenggara maupun untuk menjangkau pasar yang lebih besar, yaitu
China. Penurunan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Australia hanya
akan merugikan Australia dalam konteks geoekonomi.
Kedua, Pemerintah Australia juga
lebih membutuhkan Indonesia dalam rangka membuat kebijakannya—seperti
kebijakan imigrasi terkait dengan kedatangan pendatang ke
Australia—berjalan lebih efektif. Di sini sebenarnya salah satu contoh
kecerobohan Tony Abbott, alih-alih melakukan pendekatan yang halus,
Pemerintah Australia kembali secara arogan menyatakan Indonesia sebagai
negara transit para pencari suaka.
Apabila penurunan hubungan
Australia dan Indonesia diteruskan berlarut-larut, Pemerintah Australia
yang akan mengalami kerugian terkait dengan implementasi kebijakan imigrasi
yang mengundang banyak kontroversi di internal Australia. Secara tidak
langsung, Pemerintah Indonesia melalui tekanan politiknya dapat mendesak
Pemerintah Australia untuk mengubah kebijakan Australia yang mulai menutup
diri terhadap pencari suaka. Jaminan terhadap hal itu telah disepakati
dalam Konvensi PBB tahun 1951 mengenai status pengungsi.
Posisi tawar
Dua contoh di atas menunjukkan
sebenarnya Indonesia memiliki nilai tawar lebih tinggi dalam hubungan
diplomatik dengan Australia. Pemerintah Indonesia harus bersikap lebih
cerdik dalam mengantisipasi insiden penyadapan. Ketika Pemerintah Australia
bergeming terhadap langkah Indonesia memulangkan duta besarnya, perlu
kiranya pemerintah mengambil langkah yang lebih tegas untuk menjinakkan
Negeri Kanguru.
Terkadang gertakan yang lebih
kuat dapat mencairkan suasana seperti dilakukan Soekarno pada kurun waktu
awal 1960-an. Presiden Soekarno sempat membangun hubungan yang lebih hangat
dan memajukan kepentingan nasional kita dengan pemerintahan AS di bawah
Kennedy setelah ada ketegangan menyusul tertangkapnya mata-mata Pemerintah
AS, perwira Allan Pope.
Terkadang tekanan politik dan diplomasi dapat lebih
efektif membuat tetangga kita seperti Australia menghormati negara kita
dalam pergaulan yang terbuka dalam hubungan bangsa-bangsa yang beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar