Sabtu, 23 November 2013

Ada Apa Australia?

Ada Apa Australia?
Indra J Piliang  ;   Ketua Balitbang DPP Partai Golkar
SUARA KARYA,  21 November 2013



Indonesia patut bersyukur atas bantuan yang diberikan pelaut-pelaut Australia ketika Indonesia masih menjadi negara baru. Dukungan para pelaut itu yang melakukan pemogokan terhadap angkatan perang Sekutu telah memberikan dukungan moral bagi kemerdekaan Indonesia. Sebagai satu "negara" di benua paling selatan, Australia pada 1945 tentulah kesepian. Sebab, di sebelah utaranya, yang ada adalah negara yang diduduki oleh Belanda sebelum 1942, lalu kemudian diduduki Jepang. Isolasi itu memicu sikap yang mendukung kemerdekaan Indonesia.

Hal itu juga yang membuat Australia bersikap kooperatif ketika tentara Indonesia memasuki wilayah Timor Timur pada tahun 1975. Australia tentu tidak ingin ada negara komunis di wilayah yang berbatasan langsung dengannya. Walau kemudian, Australia juga yang berpihak pada kemerdekaan Timor Timur pada masa Presiden BJ Habibie.

Kasus penyadapan telepon yang dilakukan pihak intelijen Australia terhadap beberapa pejabat negara RI, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, tentu mengurangi makna hubungan baik selama ini. Padahal, dari sisi apa pun, hubungan Indonesia dengan Australia tidak pernah benar-benar buruk.

Kedua negara bertetangga itu selalu menjalin hubungan baik. Kalaupun muncul masalah, hal itu terkait dengan Timor Timur, pelanggaran HAM, lalu belakangan terorisme. Kedua negara selalu bahu-membahu dalam mengatasi masalah bersama. Kerja sama di bidang ekonomi juga berlangsung terus.

Ada apa, Australia? Apakah memang begitu sulitnya mendapatkan informasi kenegaraan dari kalangan yang disadap oleh Australia? Ataukah, ada misi lain di luar hubungan kedua negara? Bagaimanapun, Indonesia selama ini sangat bersahabat dan hangat dengan Australia. Selain diikat oleh hubungan historis, kedua negara juga bertetangga.

Jadi, dapat dimengerti reaksi Pemerintah Indonesia mengenai penyadapan itu. Apalagi pernyataan dari PM Australia Tony Abbott dari Partai Liberal terasa datar, tanpa nada penyesalan, apalagi permintaan maaf. Memang, pemerintahan Partai Liberal di Australia dikenal kurang menjadikan Indonesia dan Asia sebagai fokus utama dibandingkan dengan pemerintahan Partai Buruh. Namun, idealnya, perubahan pucuk pimpinan politik dan pemerintahan di Australia tidak mengubah banyak hal dalam hubungan kedua negara.

Reaksi negatif terhadap Australia selalu muncul dari pelbagai kalangan, apabila dianggap melecehkan wibawa Indonesia di forum internasional.
Inilah karakter asli nasionalisme Indonesia. Karakter ini datang dengan sendirinya akibat pengaruh masa lalu yang kelam di bawah kaki kolonialisme. Hanya saja, nasionalisme rakyat Indonesia ini tentu tidak dengan sendirinya berubah menjadi sikap antiasing. Kalaupun ada nada yang keras, biasanya berupa imbauan pemutusan hubungan diplomatik atau boikot terhadap barang-barang yang berasal dari negara asing.

Kita tentu tidak berharap hubungan kedua negara menjadi bertambah buruk. Permintaan Indonesia sederhana, yakni permintaan maaf secara resmi dan janji untuk tidak mengulangi lagi. Hubungan baik Indonesia dengan Australia tentu perlu diperbaiki kembali. Dari sini, norma-norma bertetanggalah yang dikemukakan ketimbang melihat Indonesia sebagai musuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar